Saat saya diingatkan untuk bersegera menunaikan kewajiban menyelesaikan tugas akhir, saya baru sadar, sadar sesadar-sadarnya jika ternyata sekarang sudah tahun ke tujuh status mahasiswa saya sandang. Sudah empat belas purnama semester, saya berkutat di dunia perkampusan dengan berbagai bentuk tanda tanya yang percuma untuk dipertanyakan.
Waktu yang sangat lebih dari cukup bagi sebuah keluarga memproduksi empat anak, dengan estimasi jarak waktu satu tiga per empat tahun per anak. Tentunya, perhitungan ini mengabaikan konsekuensi dan risiko hidup yang ada.
Seperti diketahui, tujuh tahun merupakan batas maksimal pemakluman yang disediakan lembaga perguruan tinggi melalui Peraturan Kementerian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015, kepada setiap mahasiswa. Lepas itu, status mahasiswa akan terus menempel seumur hidup, dengan embel-embel DO di belakangnya. Menyeramkan, bukan?
Saya tidak sanggup membayangkan apa yang bakal menimpa saya bila itu benar-benar terjadi. Meski ijazah dan gelar sarjana tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menentukan sukses tidaknya seseorang, saya tetap saja khawatir dan was-was, sebab masa depan saya di mata keluarga dan orang di kampung turut terancam seiring dengan wisuda yang gagal.
Orang pertama yang akan meminta pertanggungjawaban saya nanti, tidak lain dan tidak bukan, adalah mama. Beliau selama ini telanjur aktif dan gencar mengabarkan ke sana-sini perihal anaknya yang kuliah. Di depan majelis nginang para mama, biasanya mama-mama di sana suka membicarakan banyak hal. Mulai dari soal ringan seperti mengulas sinetron yang saban Maghrib mereka tonton di televisi, sampai masalah rumah tangga orang dikulik sampai ke akar-akarnya. Soal benar tidaknya urusan belakang. Asal mulut sudah berlumur merahnya nginang, segala topik mengalir tanpa sedikit pun terbendung.
Teman-teman yang budiman, di zaman yang serba maju ini, riwayat pendidikan kerap didudukkan sebagai prasyarat mahapenting untuk memantapkan posisi dan martabat seseorang di mata khalayak. Sukses atau tidaknya seseorang dengan gelar yang disandangnya hanyalah perkara nasib yang tidak perlu diperdebatkan. Toh, rejeki takkan ke mana. Begitu keyakinannya.
Saya tidak bisa memungkiri bahwa realitas sosial tersebut memiliki porsi besar di ruang memori kolektif masyarakat kampung saya dan masyarakat di daerah-daerah lain sejenis. Bagi orang kampung seperti mama saya, yang cara berpikirnya tidak pernah neko-neko; apa adanya. Gelar sarjana merupakan sebaik-baiknya capaian hidup dari sebuah keluarga. Secara pribadi, saya memahami cara berpikir mama demikian sebagai sebentuk kewajaran yang berangkat dari kesederhanaan cara pikir masyarakat pedesaan dalam memandang hidup.
Setidaknya, sebagai orangtua, blio telah mengorbankan banyak hal untuk sampai pada tahap ini: waktu, biaya, perasaan, sampai hal-hal yang tidak penting pun, seperti jatah uang untuk membeli sirih dan pinang terpaksa dikurangi lantaran harus mendahulukan kebutuhan anaknya di tanah orang. Baginya, pusing kepala sebab tidak mengunyah sirih pinang bisa ditahan, tapi mendengar anaknya busung lapar di kos-kosan, ya Tuhan, hati seorang mama bagai diiris-iris pisau lipat.
Atas pengorbanan yang telah dikeluarkan selama bertahun-tahun tersebut, wajar saja bila akhirnya yang diminta kemudian adalah pertanggungjawaban dalam bentuk selembar ijazah dan foto wisuda. Itu cukup dijadikan barang bukti untuk membayar kepercayaannya selama ini. Lantas, bagaimana dengan ilmu yang bermanfaat?
Pada dasarnya ijazah dan ilmu yang bermanfaat itu satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Jika foto wisuda itu nantinya akan dijadikan alat pembuktian buat mama di depan majelis nginang para mama tadi, maka ijazah dan ilmu yang bermanfaat bukan lagi termasuk ke dalam ranahnya. Toh, anaknya sudah sarjana. Foto wisuda sudah tertempel di dinding rumah. Artinya, perkara ijazah itu mau dikemanakan; ilmunya nanti bermanfaat atau tidak, piker keri, kata Via Vallen.
Hal ini belakangan menjadi masalah, terutama di kampung, ketika kebanyakan lulusan-lulusan sarjana mendapati dirinya tidak bisa berbuat banyak setelah pulang kampung. Mereka kehilangan momentum untuk mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat manakala bekal pengalaman yang dibawa dari masa kuliahnya hanya berupa selembar ijazah dan keahlian membuat surat lamaran kerja. Data Badan Pusat Statistik tentang tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus ada peningkatan, baiknya patut ditinjau ulang. Lah, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau yang dikejar cuma gelar thok? Omong kosong itu.
Wah, tuduhan sampean terlalu tendensius. Tidak semuanya seperti itu. Jangan-jangan sampean frustasi gegara diancam mama dari rumah?
Bisa jadi. Mengingat-ingat wajah mama saya saja, saya ngeri, makanya saya ngebut menyelesaikan tugas akhir ini. Tapi terlepas dari masalah pribadi yang saya alami, kasus yang saya paparkan di atas adalah fenomena yang berkembang saat ini.
Tujuh tahun menyandang status mahasiswa, barangkali oleh sebagian orang dianggap sebagai aib. Tapi bagaimana jika tujuh tahun itu, selain kuliah, juga diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya konstruktif. Demonstrasi, misalnya. Lah, mbok piker, demo kuwi ora konstruktif? Minimal, kan wes mengimplementasikan peran mahasiswa sebagai agent of change lan agent of control. Iya ta… buahahahahahahaha.