Secara geografis wilayah Trenggalek adalah wilayah agraris. Penduduknya mayoritas berprofesi sebagai petani. Bahkan nelayan di pesisir juga nyambi jadi petani. Mereka bercocok tanam di pelosok desa, di gunung-gunung, atau di pinggiran kota yang lahannya makin digusur demi membangun gedung-gedung belanja atau infrastuktur lain.
Tiap menjelang bulan November, jika hujan pertama membasahi tanah, petani-petani kecil berlomba-lomba menyiapkan ladang dan sawahnya. Tapi sebelum itu, mereka harus menyiapkan pupuk dan bibit. Di desa saya, Masaran, Kecamatan Bendungan, pupuk menjadi perkara yang njilmet.
Persoalannya adalah pupuk bersubsidi tidak merata. Banyak petani yang tidak kebagian pupuk. Padahal regulasi pupuk bersubsidi kini pembeliannya harus lewat Kelompok Tani. Saya mendengar slentingan ada beberapa spekulasi soal ketidakmerataan ini: pertama, pengurus Kelompok Tani takut rugi sehingga jika ada beberapa oknum yang ingin membeli pupuk bersubsidi dengan jumlah yang banyak dilayani oleh pengurus Kelompok Tani (dengan mengabaikan anggota lain). Kedua, pengurus kelompok tani menyelewengkan pupuk bersubdi ke toko-toko untuk dijual secara pribadi. Akibatnya, ketika petani kecil butuh pupuk bersubsidi ternyata digudang sudah tidak tersedia.
Selain itu, di desa saya, jumlah Kelompok Tani tak lebih dari sepuluh dengan masing-masing anggota mencangkup beberapa RT. Aneh, pengelolaannya tidak seperti mengelola organisasi yang demokratis dengan melibatkan seluruh anggota. Pengurusnya adalah ketua kelompok itu sendiri. Sehingga anggota dalam Kelompok Tani menjadi anggota yang pasif. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh pengurus tanpa melibatkan persetujuan anggota. Maka, banyak anggota yang tidak tahu soal bagaimana Kelompok Tani ini diurus, para anggota tinggal terima jadi saja.
Sejak sekira dua tahun yang lalu Kelompok Tani yang ada di RT saya tidak lagi mendapat jatah pupuk bersubsidi. Dari slentingan yang muncul, ada indikasi bahwa pengurus menyelewengkan stok pupuk bersubsidi ke toko. Lalu ketika pengurus meminta KTP (mungkin KTP diperlukan untuk mendapat jatah pupuk bersubsidi) banyak di antara mereka yang tidak menyerahkan. Yang jelas, bulan November 2017 yang lalu, karena Kelompok Tani yang menaungi mereka tidak mendapat stok pupuk bersubsidi, banyak petani yang mengeluh soal tidak kebagian pupuk bersubsidi.
Pupuk bersubsidi memang rawan ditimbun oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya di tahun 2015 lalu, Pak Paerah kedapatan menimbun pupuk bersubsidi:
“…dari gudang milik pelaku di antaranya 112 sak pupuk phonska, 63 sak pupuk ZA, 17 sak pupuk urea, 16 sak pupuk petro organik, 10 sak pupuk SP36, jadi totalnya yang kami amankan sebanyak 218 sak.”
(http://regional.kompas.com/read/2015/01/22/21012091/Polres.Jember.Bongkar.Penimbunan.Pupuk.Bersubsidi)
Untuk mengungkap kasus seperti ini dibutuhkan petani yang kritis. Seperti halnya kasus Paerah yang bisa terungkap atas laporan petani di wilayahnya yang mengaku kekurangan pupuk bersubsidi.
Jika menengok ke belakang, ketergantungan petani atas pupuk kimia bermula ketika Revolusi Hijau. Sony Keraf menulis di dalam bukunya, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sistem Kehidupan:
“… Revolusi Hijau yang memaksa secara halus maupun terang-terangan petani di seluruh dunia untuk beralih dari pertanian organik ke pertanian kimiawi dengan menggunakan pupuk kimia buatan pabrik. Rusaknya tanah karena input pupuk yang semakin lama semakin tinggi telah menimbulkan dampak lingkungan yang tak terkendali dan sulit direhabilitasi hingga sekarang. Ketergantungan petani akan pupuk kimia menjadi persoalan serius yang tidak boleh dilupakan.”
Petani dalam soal ini bisa dikatakan sebagai korban. Korban dari industri pupuk yang kian hari membikin mereka makin tergantung pada pupuk kimia. Ketergantungan ini menimbulkan persoalan-persoalan lain. Misalnya, kini mereka juga tergantung dengan subsidi pupuk dari pemerintah. Padahal pupuk adalah kebutuhan primer dalam aktivitas pertanian. Saya membayangkan kelak, subsidi untuk pupuk dicabut oleh pemerintah, seperti ketika pemerintah mencabut subsidi untuk minyak tanah. Betapa petani sangat rentan untuk dieksploitasi.
Selain persoalan pupuk, soal lain seperti kesejahteraan petani kecil juga perlu diperhatikan. Di Trenggalek, rata-rata ladang petani tak sampai 1 hektar. Menurut pakar angronomi IPB, Rudi Purwanto, rata-rata petani Indoneisa lahan pertaniannya 0.3 hektar. Berbeda dengan Australia yang rata-rata petani memeliki luas lahan 25 hektar, atau Amerika yang mencapai 300 hektar (http://www.bcc.com/Indonesia/laporan-khusus/2009/11/091126_rice_three).
Entang Permana, petani asal Jawa Barat, mengatakan bahwa untuk menggarap lahan per hektar membutuhkan modal 4 juta. Sementara hasil panen per hektar 4 ton. Uang yang diperoleh dari hasli panen itu 10 juta, dipotong biaya produksi 6 juta. Maka untung bersih yang diperoleh adalah 5.000 per hari (lihat http://www.bcc.com/Indonesia/laporan-khusus/2009/11/091126_rice_three). Dari kalkulasi ini bisa dibayangkan berapa rata-rata pendapatan per hari petani kecil yang lahannya kurang dari 1 hektar? Belum lagi persoalan njlimet lainnya. Akibatnya, semakin banyak petani yang tidak mau lagi mengolah lahan pertaniannya dan lantas berurbanisasi ke kota dengan membawa serta segala permasalahan peliknya ke sana.