Sengon banyak dipilih warga kampung saya untuk mengisi lahan kosong. Batang/kayu-nya biasanya dipanen sekira 3 – 5 tahun setelah ditanam. Setelah pembelian bibit antara Rp 2.000 hingga Rp5.000/batang, tanaman sengon hampir tidak membutuhkan tenaga maupun ongkos perawatan.
Kemudian, pada waktu panen juga tidak perlu repot-repot menebang dan mengangkutnya untuk dijual. Tinggal menelepon calon pembeli yang akan segera datang memeriksa dan melakukan tawar-menawar. Kalau tidak terjadi kesepakatan, teleponlah calon pembeli yang lain. Begitu harga disepakati, pemilik kayu akan segera terima uang. Urusan penebangan, pengangkutan dan lain-lain sudah dibereskan pihak pembeli.
Begitulah. Sengon sangat gampang diuangkan. Jika Anda punya pohon sengon yang kemedol (baca: sudah layak tebang)–sekurang-kurangnya pangkal batangnya bergaris tengah 1 m—butuh uang hari ini akan dapat hari ini juga. Itulah antara lain yang menyebabkan banyak orang memilih menanam sengon.
Bahkan, samar-samar saya mendengar Perhutani hendak mengajak masyarakat pengolah hutan untuk menanam sengon di tanah (hutan) yang masih kosong. Untuk kawasan hutan yang kemiringannya tajam, itu kabar buruk. Mengapa? Efek samping sengon akan menjadi ancaman mengerikan di lahan dengan kemiringan tinggi/tajam.
Ingat bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menelan puluhan korban jiwa di Pacitan beberapa waktu lalu? Ada cerita beredar di masyarakat yang kemudian tersiar pula sampai di desa saya bahwa lokasi longsor di Wawaran, Kecamatan Kebonagung, adalah lahan yang sudah sekian kali panen kayu sengon.
Memang ada beberapa hal dapat memicu terjadinya longsor, seperti: gempa, hujan deras, sanitasi yang buruk, dan kemiringan yang tajam. Lalu, ada apa dengan sengon dan apa yang di sini disebut dengan efek samping (-nya) itu?
Begini. Sengon adalah jenis kayu yang empuk. Gampang lapuk, apalagi bila terkena air. Sekarang mari kita bayangkan, jika di lahan berhektar-hektar miring banget ditanami sengon lalu dipanen/ditebang serentak. Ketika batangnya diangkut oleh pembeli, cabang dan ranting-rantingnya dikumpulkan untuk kayu bakar, daunnya diberikan kepada kambing, yang tersisa adalah tonggak beserta akarnya. Akar adalah bagian dari pohon (sengon) yang berada di dalam tanah.
Konon diperlukan waktu hanya tiga bulan setelah ditebang untuk melenyapkan akar yang menjalar di dalam tanah. Kelembapan, rayap, bakteri pengurai, bersekongkol mengganyangnya. Lalu terciptalah rongga, lorong, pada bekas akar. Ketika hujan turun, air akan memasuki lorong bawah tanah itu. Tingkat kemiringan, luas lahan, deras dan durasi hujan akan berbanding lurus dengan potensi longsor. Masuk akal banget, ta?
Lalu, bagaimana memperkecil peluang timbulnya efek samping itu?
Pertama-tama mesti diperhatikan kondisi lahan yang hendak ditanami sengon. Jika lahan miring, tanamlah pula pohon yang tidak dijual kayunya, tetapi yang dipanen buah atau bunganya: durian, manggis, mangga, jambu, jengkol, alpukat, nangka, sukun, pucung, petai, cengkih, kenanga, dll. Terutama pada bagian lahan di tepian kali dan di dekat bibir jurang. Jika lahan cukup luas, tanaman-tanaman seperti disebut itu tadi tanam-lah pula sebagai sabuk lahan atau terasering.
Jika memungkinkan, janganlah memanen atau melakukan penebangan sengon secara serentak. Penebangan serentak akan berlanjut dengan akar yang melapuk secara serentak pula.
Apakah para petani menanam sengon dengan kesadaran akan adanya efek samping itu? Jika memang dua cara menghindari efek samping seperti diurai di atas cukup efektif, lalu melihat kondisi di lahan sengon milik para petani di desa (saya), jawaban atas pertanyaan tadi jelas: tidak. Bisa karena tidak tahu, bisa pula karena tidak mau tahu. Di sinilah pentingnya penyuluhan bagi mereka.
Bagaimana halnya dengan penanaman sengon di kawasan hutan? Di sini Perhutani adalah pemilik kuasa dan pembuat kebijakan. Tetapi, lagi-lagi jika kita melihat langsung di lokasi, tampak benar bahwa kebijakan ke arah mencegah bahaya longsor itu tidak ada. Di sini tidak diperlukan penyuluhan. Yang diperlukan adalah peraturan atau undang-undang yang berpihak kepada keselamatan bersama serta pejabat dan para pegawai yang amanah. Faktanya sekarang, kawasan hutan digarap dengan cara yang sepertinya tanpa mikir tembe mburine.
Kalau sudah begitu, semestinya kita tidak boleh menyebut banjir bandang dan longsor sebagai musibah, seberapa pun banyaknya korban, sebab yang sesungguhnya terjadi adalah tindakan “pembantaian” terhadap diri sendiri dan/atau orang lain.