Sepenggal Cerita dari Munjungan

Munjungan pagi itu bagai es krim siap dikudap. Gunung-gunung dan rumah-rumah tampak cemerlang seperti habis dibereskan, entah oleh siapa. Gunung-gunung di sebelah utara sana habis mandi hujan sore hingga malam hari, sehingga di pagi harinya, ia tampak cemerlang. Kebetulan hari-hari itu masih berada di bulan-bulan musim penghujan. Sebagian tebing-tebing di gunung sudah kesorot matahari pagi dan sisa embun membumbung tinggi ke angkasa. Saya memandangi Munjungan di sekitar saya dengan rasa haus.

Anak-anak usia SD dan SMP berjalan menuju lokasi sekolahnya masing-masing. Ada yang berjalan kaki—karena rumah mereka dekat—, naik sepeda onthel, ada pula yang diantar para orangtua. Orang-orang berjalan menuju pasar dari arah timur sungai (Kali Tengah) menuju pusat kecamatan—Pasar Legi (jadwal pasaran di Munjungan) berlokasi tepat di timur kantor kecamatan dan sedang berlangsung pada hari itu. Sebagian yang lain juga berdatangan dari arah barat, yakni dari desa-desa di sebelah barat kantor Kecamatan Munjungan.

Kita akan menemukan hasil sumberdaya alam Munjungan dijajakan di Pasar Legi. Selain hasil lautan seperti ikan, berbagai jenis rumput laut, udang, kerang, juga hasil kebun dan hutan: pisang, kelapa, berbagai jenis sayur-sayuran seperti krombang, kecombrang, dan lain-lain. Ikan-ikan yang dijajakan di pasar Munjungan tentu saja ikan segar yang baru didapat para pelaut dan nelayan. Tampak sedang gurih-gurihnya untuk (langsung) diolah oleh para ibu rumah tangga, dengan berbagai masakan di dapur-dapur mereka.

Para nelayan Teluk Sumbreng (nama teluk di Munjungan) berangkat melaut di pagi hari (sebagian mereka berangkat di sore hari dan baru pulang pagi harinya). Dan yang berangkat pagi itu, pulang sore hari atau bahkan hingga malam harinya. Kadang jadwal mereka pergi dan sekembalinya dari laut lebih banyak tak bisa dipastikan, tidak seperti jam para pekerja kantoran.

Pagi itu saya sedang mengantarkan emak ke pasar, berbelanja kebutuhan dapur seperti sayur, bahan makanan dan belanja untuk toko kecilnya yang diisi bahan-bahan dapur atau kebutuhan sehari-hari tetangga sekitar rumah, seperti sabun, gula, beras, minyak dan lain sebagainya. Ini adalah situasi yang saya rasakan ketika beberapa hari lalu sedang di Munjungan untuk mengurus surat pindah tempat dan memecah Kartu Keluarga (KK) dari Kecamatan Munjungan pindah ke Kecamatan Tugu, mengikuti istri saya,—yang menghabiskan waktu berhari-hari; dari Desa (Munjungan) ke Desa Gondang, (Tugu) hingga berakhir nggendon di kantor Dispenduk, Trenggalek.

Di Munjungan hujan sering turun, baik dengan kapasitas tipis-tipis, sedang maupun hujan deras disertai kilat dan angin. Kalau hujan deras dan bahkan mencapai beberapa jam di Munjungan, kadang banjir cepat datang meski juga akan cepat surut alias tak sampai berhari-hari. Banjir segera menyurut ke laut, jika kebetulan air laut sedang tidak pasang. Tapi yang sering terjadi adalah akses jalan antarkecamatan bisa tiba-tiba ketimbunan tanah karena di sepanjang jalan Kampak-Munjungan memang rawan longsor. Terutama di lokasi-lokasi dengan tebing-tebing yang tanahnya rawan melorot (jenis tanah yang gembur) atau tanah tanpa tulang pohonan dengan akar-akar yang kuat. Longsor dan berbagai bencana lain yang khas bagi daerah pegunungan menuntut masyarakatnya untuk serba cepat tanggap.

Kemampuan swadaya masyarakat Munjungan sudah terasah karena kondisi ini, dan jadi kebiasaan yang turun-temurun. Di sana, budaya bergotong-royong dengan berbagai variannya masih hidup. Dulu mereka secara swadaya—sebagaimana terekam sewaktu saya masih sering di rumah—sanggup mengaspal jalan di desanya masing-masing, juga menjembatani sungai-sungai besar yang merupakan jalur penting transportasi, baik di dalam desa maupun antardesa. Sebelum ada Dana Desa atau pewacanaan konsep desa membangun, terutama akhir-akhir ini, desa-desa di Munjungan telah bi(a)sa berswadaya. Masyarakat Munjungan sudah terlatih berswadaya, entah saat memperbaiki jalan Kampak-Munjungan yang berada di pegunungan atau mengaspal jalan-jalan di dalam desa mereka sendiri.

Perihal mengaspal jalan, dulu adalah ide satu desa yang kemudian ditirukan (seolah tersosialisasikan dengan sendirinya) di banyak desa lainnya: bahkan dari desa itu masuk ke dusun hingga tataran RT/RW. Di tingkat RT saya misalnya, masyarakat se-RT ingin jalan-jalan di depan rumahnya di-aspal dengan cara mereka bersama-sama ber-iuran per rumah untuk membeli aspal, dengan dikoordinir oleh RT atau oleh desa.

Untuk membangun jembatan besar yang menjadi akses masyarakat antardesa di kecamatan, tentu dana swadayanya dikumpulkan banyak orang dari berbagai desa yang mengakses jembatan tersebut. Ini juga yang dulu pernah dilakukan saat membangun jembatan  di Kali Tengah: sungai yang memisahkan Desa Munjungan dan desa-desa lain di barat sungai seperti Masaran, Karangturi, Besuki, Craken, Sobo, Ngulung, dengan desa-desa di sebelah timur sungai, seperti Desa Tawing, Bendoroto dan Bangun.

Sebelum ada gagasan pembangunan jembatan di Kali Tengah itu, dulu orang-orang dari Desa Tawing (Dusun Gunung Kembar, dll) sering menyeberangi sungai ini, dan ketika sungai sedang banjir, maka perahu-perahu yang biasanya di lautan dibawa ke sungai menjadi kendaraan untuk menyeberangkan orang-orang yang hendak ke pasar dan atau pulang dari pasar. Atau guru-guru yang hendak mengajar dan sepulangnya dari mengajar di sekolah-sekolah, baik yang berlokasi di barat sungai atau di timur sungai.

Karenanya, jangan sampai membuat janji untuk urusan infrastruktur dengan masyarakat Munjungan. Janji-janji ini akan selalu mereka ingat dan pada waktunya akan ditagih, meski dengan cara demo, ketika ada tanda-tanda bahwa si tukang janji mencederainya. Betapa teramat sering masyarakat Munjungan dijanjikan sesuatu (paling banyak infrastruktut jalan) oleh pejabat, namun tak ditepati. Lantas mereka mendemo pejabat-pejabat daerah, seperti pada peristiwa pengerahan ratusan bahkan mungkin mencapai seribu mobil dari Munjungan ke pendopo kota Trenggalek: dalam rangka demo menagih janji aspal jalan, beberapa tahun lalu.

Beberapa minggu lalu jalan Kampak-Munjungan ditimpa longsor. Longsor yang cukup besar, yang menurut sumber dari banyak berita sepanjang 200-an meter, lebar 7 meter dan tebal mencapai 4 meter. Longsor ini berlokasi di perbatasan Kampak-Munjungan, di sebuah lereng masuk Desa Ngadimulyo, berdekatan dengan Jedeg. Ini adalah gunung gemplah, yang melongsorkan ribuan kubik material dari atas. Beruntung kejadian berlangsung pada dini hari saat tak banyak kendaraan melintas.

Longsor yang cukup tebal ini membuat akses orang Munjungan ke Trenggalek dan kota-kota sebelahnya, lagi-lagi, terputus. Masyarakat mencari jalur-jalur alternatif, di antaranya melalui Dongko: ada celah jalan yang agak sempit, yang kemudian secara bergotong royong mereka bersihkan supaya terlihat agak lebih lebar. Mereka yang terkoordinir dalam beberapa kelompok masyarakat, bersama-sama membersihkan rumput dan alang-alang yang menghalangi jalanan kecil yang tiba-tiba menjadi penting itu: penghubung Dongko-Munjungan (Jajar [Munjungan] menembus Salam Wates [Dongko]; Pandean [Dongko] menembus Gembes [Munjungan]).

Celah jalan ini kecil dan hanya bisa dilewati satu mobil ke satu arah: tidak bisa dibuat simpangan mobil yang datang dari dua arah. Sepeda motor pun harus berhenti terlebih dahulu ketika berpapasan dengan mobil. Tentu jalan ini juga tidak bisa digunakan teknik tutup-buka, karena selain kecil juga berkelok-kelok di lipatan-lipatan bukit. Alhamdulillah, setelah selama sekitar 3 minggu lebih, tampaknya dengan aksi cepat dari bupati dan berbagai komponen juga masyarakat, terutama di dua kacamatan, akses Kampak-Munjungan sudah bisa dilalui kembali.

Artikel Baru

Artikel Terkait