Dua program pemerintah yang dalam asumsi saya nunggal-misah yakni: Koperasi Unit Desa (KUD) dan badan usaha milik desa (bumdes) nyaris tak terdengar kiprahnya.
Mengapa hal itu menarik perhatian saya?
Ketika masih di bangku sekolah dasar, saya membaca buku cerita tentang kehidupan di desa yang sangat dinamis dengan adanya koperasi. Sebagai warga desa miskin—yang nyaris semua warga hidup dengan bertani di atas tanah yang relatif kurang subur serta luasan yang sangat minim—diam-diam saya menaruh harapan besar pada koperasi. Lalu, tahun 2009 saya beberapa kali mengikuti ceramah Pakde Karwo—saat itu masih sekdaprov dan sedang macung gubernur (Jatim).
Nah, salah satu topik ceramah yang saya sukai adalah mengenai bumdes (badan usaha milik desa). Berikut ini gambaran yang hingga kini masih terngiang-ngiang di benak saya: “Pemerintah mengadakan program padat karya itu dengan maksud membangun infrastrukrur: jalan, jembatan, saluran air, embung, dll. Sekaligus memberikan pekerjaan kepada warga, terutama yang tergolong kurang mampu. Sebagian jalan dibangun dengan paving. Nah, paving itu sebaiknya dibuat sendiri oleh warga, dikelola melalui bumdes. Kalau warga desa yang bersangkutan belum bisa membuat paving sebagus bikinan pabrik, itu bukan masalah. Di situ ada ongkos belajar. Jadi ini penting: jangan mengimpor paving dari toko atau dari desa lain. Ora pati apik ora apa-apa, sing penting olehe nggawe dhewe.”
Sungguh program yang sangat bagus. Infrastruktur berkembang, warga makin produktif (kualitas SDM meningkat), bumdes-nya pun jalan. Tetapi, faktanya seperti apa kini? Di desa saya, bumdes dan koperasi nyaris hanya papan nama. Kalau pun ada yang disebut koperasi, itu tak lebih dari sekelompok orang yang mengelola dana bersama untuk dipinjam. Tetapi, kalau mau disebut sebagai koperasi simpan pinjam pun masih terasa belum tepat. Koperasi pinjam? Nah, itu lebih kena.
Sementara, gambaran koperasi yang melekat di benak saya sesuai dengan buku bacaan saat di sekolah dasar adalah sekumpulan orang, warga (desa) yang menjalankan usaha bersama dengan memiliki toko/gudang untuk menjual pupuk, benih, alat-alat pertanian, barang-barang kebutuhan rumah tangga, dll.
Toko koperasi itu juga menampung (membeli) hasil pertanian dan semua barang yang diproduksi warga desa. Seharusnya, jika semangat berkoperasi tumbuh subur di kalangan warga desa, dan koperasinya dikelola secara baik seperti di dalam buku bacaan saya, aneka ritel waralaba itu tak akan bisa tumbuh di desa.
Warga desa, petani, akan semakin berdaya; semakin kuat posisi tawarnya. Segala potensi yang ada di desa dapat dioptimalisasi pemanfaatannya. Air, misalnya. Kini, dalm setiap hajatan, dari mitungmbengeni hingga pesta pernikahan selalu digunakan air minum kemasan yang diimpor dari pabrik besar. Padahal, teknologi sudah sangat memungkinkan pemanfaatan sumber air yang ada di desa untuk dikemas menjadi air minum. Jika bisa begitu, warga desa akan mendapat tambahan insentif, lapangan kerja makin luas, dan uang pun akan betah tinggal di desa, tidak terlalu deras mengalir balik ke kota.
Di tingkat kabupaten/kota, kita melihat adanya dinas-dinas yang seharusnya ikut mengawal dan mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan: dinas pertanian/peternakan/perikanan, dinas perindustrian, dinas koperasi/perdagangan. Sebagai pengawal pemerintah terasa banget bahwa mereka tidak hadir apalagi mengawal dan mendorong perekonomian pedesaan.
Yang tak pernah absen adalah perbankan. Ada fasilitas kredit untuk usaha kecil dan mikro untuk petani/pengusaha gurem di pedesaan. Tetapi, apakah cukup dengan diberi kreditan? Di titik ini kita bisa menduga bahwa “para dinas” seperti disebut di atas tadi kreativitasnya patut ditangisi. Para petani, buruh tani, dan warga desa dibiarkan polah karepe dhewe. Bahkan, tak jarang turun bantuan pupuk, benih, dan program-program yang justru mengundang pangudarasa: “Sakjane pemerintah iki arep melindungi rakyat apa (sambil) lebih sebagai agen-e pabrik benih dan pabrik pupuk?”
Soal pupuk, seharusnya dengan potensi yang ada, petani dapat didorong untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, dan menyisakan surplus untuk dijual ke kota. Sampah organik dan kotoran hewan ternak melimpah di desa, dan belum dioptimalisasi pemanfaatannya. Di sini pula, mestinya bumdes bisa ambil peran.
“Bumdes mati itu adalah bukti nyata bahwa pemerintah ora kreatif.”
“Masyarakatnya juga mesti kreatif!”
“Tidak bisa begitu selama sistem yang dibangun justru selalu memojokkan warga. Ada yang penting untuk diketahui bahwa kalau warga (petani dan pengusaha gurem) pedesaan bisa meraih kegemilangan tanpa kehadiran pemerintah, sesungguhnya yang demikian itu bisa disebut subversif—walau dalam pengertian yang boleh dianggap baik!”
Cakul, Februari 2018