Mengharapkan Jera dengan Cegatan

Cegatan kendaraan atau tilang merupakan upaya sengaja yang dilakukan pihak berwenang untuk mendisiplinkan para pengguna jalan raya. Wabil khusus, para pengendara kendaraan bermotor.

Tak perlu heran jika banyak sekali berita cetak maupun berita audio visual yang beredar di sekitar kita tentang kejadian-kejadian unik seputar peristiwa cegatan. Mulai dari pelanggar lalu lintas yang kikuk lantaran dicegat polisi, atau pelanggar lalu lintas yang marah-marah ketika dirinya kepergok tidak tertib berkendaraan. Apapun itu, saya mengira jika fenomena tersebut hanya efek dari perasaan nervous serta perasaan tidak merasa bersalah yang terakumulasi saat razia terjadi.

Negara jelas mengaturnya dalam undang-undang tata tertib berkendaraan plus denda bagi para pelanggarnya. Misalnya, jika pengendara kendaraan bermotor tidak memiliki SIM, atau tidak dapat menunjukkan STNK atau tidak tertib mematuhi rambu-rambu lalu lintas, atau tidak memakai helm berstandar SNI saat berkendaraan, hingga kedapatan hanya memasang spion sebelah, negara menetapkan para pelanggar tersebut sebagai terdakwa dan wajib membayar denda yang telah ditentukan.

Namun sesungguhnya, punishment yang diberikan kepada para pelanggar tersebut digembor-gemborkan sebagai upaya dari negara untuk menertibkan para pengendara sesuai standar yang telah ditentukan. Dengan kata lain, negara mengharapkan efek jera terhadap para pelanggar lalu lintas plus mendapatkan pendapatan.

Oh ya, jika selama ini kalian masih mengalamatkan kebencian kepada polisi karena telah melakukan cegatan, itu salah besar,  kawan. Karena polisi  hanyalah alat yang dipakai negara untuk menertibkan ketertiban berkendara. Jadi, jika ingin mengalamatkan kekesalan, silakan alamatkan kepada negara, karena itu lebih fair.

Suatu ketika saya terkena razia dan tidak dapat menunjukkan SIM ter-update, maka pak polisi menetapkan saya sebagai terdakwa melalui surat tilang. Di sisi lain, saya sudah mengakui kesalahan. Di saat para pencegat sedang repot-repotnya menerbitkan surat tilang, saya bertanya kepada salah satu petugas “Pak Polisi, sebagai insan penegak hukum, mohon jawab pertanyaan saya ini, kenapa SIM harus di-update, jika saya telah lulus tes tanpa menyuap kawan-kawan Panjenengan?” “Bukankah saya sudah baligh untuk mengendarai sepeda motor dan dinyatakan bisa berkendara?”

Tidak mau menjawab dengan jelas, saya pun mendesak bapak polisi supaya mau menjawab. Lantas yang terucap dari beliau adalah, “Mas, kalau mau penjelasan dan alasan, silakan tanya kepada pembuat undang-undang di Jakarta sana. Saya di sini hanya wayang, sekali lagi mas, saya hanya wayang,” jawaban yang sesungguhnya menggambarkan perasaannya.

Di Trenggalek, upaya yang dilakukan oleh polisi untuk memberikan efek jera terhadap masyarakat yang bandel ini ternyata cukup masif. Seperti yang dilaporkan oleh Kejaksaan Negeri Trenggalek melalui websites E-Tilang, bahwa di Tahun 2017, terjadi proses hukum pelanggar lalu lintas sebanyak 32 kali. Dan di tahun 2018 (saat artikel ini ditulis) terjadi 8 kali. Itu merupakan proses peradilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Trenggalek.

Lalu duitnya ke mana? Jadi begini lho alurnya, Gais. Negara membuat aturan tentang tata tertib berkendara, lalu negara menunjuk polisi untuk menjadi petugas penertiban (penegak hukum). Bagi yang tidak tertib maka akan terkena denda. Denda tersebut masuk khas negara, kategori pendapatan negara bukan pajak (BNPB). So, karena duit dari tilang ini masuk ke dalam pendapatan negara, jadi negara berhak untuk membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan.

Sebenarnya, ini hanya perkara sepele saja, negara tidak mau kehilangan pemasukan dari Anda-Anda yang tidak mambayar pajak. Ditambah Kalian yang tidak mau mematuhi tata tertib yang telah ditentukan. Karena negara kita tercinta ini adalah negara hukum, sedang hukum dibuat untuk dipatuhi atau dilanggar(?).

Masalahnya adalah, antara harapan pemerintah untuk bisa membuat efek jera dan bisa mengubah kebandelan masyarakat yang tidak tertib berkendara menjadi tertib berkendara ini tidak banyak cukup membantu alias belum terbukti perubahannya. Jika saya berpikir, maka hal yang paling nyata dari proses tilang-menilang iniadalah, pendapatan negara itu sendiri, bukan perubahan moral masyarakat yang sadar hukum.

Boleh dong kalau saya menyebutnya begini, “negara mau uangmu, persoalan kamu tertib apa tidak itu urusanmu. Toh kebandelanmu tetap menguntungkan negara.”

Jadi, Geis, proses penegakan hukum di jalanan merupakan tugas yang sah dan terlindungi oleh hukum dan secara moral memang benar, penegak hukum memang sudah sepantasnya menegakkan hukum, bukan berlindung dari hukum dan seragam kebesaran mereka.

Jikalau ada cerita bahwa para penegak hukum ini berbuat curang lantaran melakukan pungutan liar dari para pelanggar lalu lintas (secara tidak sopan bisa dikatakan, memungut denda tapi duitnya tidak masuk ke khas negara, tetapi masuk ke kantong sendiri), itu hanyalah oknum semata yang memanfaatkan jabatannya untuk berbuat salah. Yang demikian biarlah malaikat yang mengurusnya.

Oh ya, apa Kalian pernah terkena tilang? Menurut pengalaman saya, Geis, jika Kalian kedapatan menyalahi aturan (misal tidak punya SIM atau membawa STNK) saat terjadi razia, mendingan santai saja, tidak perlu nyolot dan marah (jika mau misuh, ya di dalam hati saja). Cara tersebut lebih aman dilakukan ketimbang marah-marah tidak jelas. Terkecuali jika kamu memang tidak bersalah dan tetap di tilang, silakan melawan dengan tidak menerima surat berwarna merah, sebaiknya minta yang kuning.

Para penegak hukum alias polisi juga manusia. Ia memiliki perasaan yang perlu dijaga oleh seluruh lapisan masyarakat, memarahinya berarti mencari perkara baru,  ia bisa saja  mengeluarkan surat dakwaan melawan petugas. Perlu Kalian ketahui bahwa, para penegak hukum ini sudah memiliki imunitas tingkat dewa, so santai.

Kreatif dalam Menegakkan Hukum di Jalan

Sebenarnya, jika negara memang berniat untuk menertibkan masyarakat sekaligus membuat mereka lebih sadar. Ada cara yang lebih bagus untuk diterapkan. Semisal, jika ada pengendara yang tidak membawa helm,  silakan ditilang dan didenda, namun, uang tersebut dipakai untuk membelikan helm bagi pengendara tersebut.

Jika pengedara tersebut tidak memiliki SIM, silakan di-tilang dan di-denda, tapi uangnya digunakan untuk menerbitkan SIM bagi pengendara tersebut. Atau jika kesalahan pengendara terjadi pada spionnya yang tidak berstandar, silakan ditilang dan didenda, tapi uangnya dipakai untuk membelikan spion bagi pengendara tersebut. Nah, setidaknya, tidak perlu menunggu mereka jera, tapi mengajari mereka untuk rela mengeluarkan uang untuk mematuhi undang-undang.

Sekalian saja negara bekerjasama dengan para produsen penyedia barang standar, semua ini demi kenyamanan bersama dan tidak mengesankan seperti peraturan aji mumpung yang memaksa masyarakat bandel untuk membayar denda dan uangnya dipakai untuk pembangunan dan mengaji para pejabat. Akan terlihat bijaksana jika negara berbuat demikian, ketimbang yang dilakukan secara terus menerus adalah jual beli jabatan di kalangan penegak hukum dan pembuat hukum sendiri. Lantas efek jera bagi mereka apa?

Artikel Baru

Artikel Terkait