Hidup Segan, Mati Tak Mau

Saya agak lupa persisnya kapan pertama kali menghibahkan tulisan untuk portal nggalek.co. Kemungkinan tulisan pertama saya yang nangkring di nggalek.co adalah reportase buah durian yang dilombakan di Desa Sawahan. Sebuah desa di Kecamatan Watulimo yang menjadi salah satu desa penghasil durian. Desa ini menempati wilayah dalam bentang alam pegunungan dan perbukitan. Di selatan sana, laut kelihatan luar biasa indah. Durian adalah salah satu buah dari pertanian dan perkebunan di Trenggalek, buah dengan rasa legit dan bau yang khas.

Nggalek.co merupakan salah satu situs alternatif, yang menyampaikan informasi dari sudut yang tidak biasa. Seperti yang sudah kita tahu, meski nggalek.co pada web-nya mendiskripsikan diri sebagai media penghibur, yang memberikan wadah menulis bagi para anak muda Trenggalek. Nyatanya nggalek.co jauh sekali dari sekadar media yang berisi tulisan menghibur. Ia malah media yang berisi tulisan-tulisan serius dan berbagai persoalan yang sungguh serius untuk dijadikan perhatian kita bersama, sebagai bagian dari masyarakat Trenggalek. Penulisnya juga ada beberapa yang berasal dari luar Trenggalek.

Sebelum saya ajeg menulis di nggalek.co, sebenarnya saya sudah menulis di beberapa portal online. Sebut saja salah satunya Fandom.id. Kenapa saya menyebut Fandom.id? Karena saya mengawali menulis soal topik ke-Trenggalek-an di situs itu, membahas sesuatu di lapangan sepak bola. Saya sudah lama gandrung dengan bola sepak di Trenggalek, dan menurut pandangan pribadi saya, (saat itu) ia sedang mengalami krisis identitas. Dan—barangkali–lewat euforia sepak bola seperti di kota-kota besar itu, tanah kelahiran ini bisa mengatasi krisis identitas.

Dari tulisan itu pernah timbul perdebatan murahan dengan salah satu kontributor nggalek.co. Bagaimana tidak murahan, yang diperdebatkan oleh salah satu blogger kondang dari Trenggalek juga penjaga portal nggalek.co, Trigus Dodik Susilo–bukan nama samaran— itu adalah permasalahan yang terjadi di Trenggalek, dari jumlah klub sepak bola di Jawa Timur.

Lantaran saya tipikal laki-laki baper dan mudah reaktif—seperti tereja dalam biodata di situs nggalek.co—maka saya juga reaktif terhadap perdebatan itu.

Diskusi ini hangat di Facebook, sampai menjalar ke dunia nyata. Hingga kami bersepakat untuk berdamai di barat Pantai Tiluh, dua tahun lalu, dan bersepakat untuk menulis bersama di nggalek.co.

Mungkin pembaca nggalek.co tidak tahu bagaimana suasana yang nggaplek-i, dan beratnya tekanan saat di detik-detik di akhir bulan. Bagi saya, nggalek.co sering membangun suasana yang bersahabat, tetapi sering juga nggaplek-i di setiap akhir bulan.

Nggalek.co itu seperti hidup di antara dua pilihan: bertahan atau bubar? Menulis atau membayar donasi. Itu saja harga tawar di nggalek.co kepada beberapa orang yang ada di dalamnya. Artinya, para pengelola nggalek.co diwajibkan untuk mendonasikan tulisan, tapi kalau tidak ya siapkan Rp. 50.000,–sebagai pengganti urunan ide/tulisan itu. Yang wagu lagi adalah sebagian besar yang berkecimpung di nggalek.co itu bukan berlatar penulis atau jurnalis, tapi dengan profesi macam-macam. Ada yang petani, pengusaha dll 😀

Itu bagi saya seperti cara hidup ngeyel. Saya kok jadi menaruh tesis bahwa suatu saat para donatur itu sudah menulis semua, maka nggalek.co akan ramai, tapi tak ada yang bisa membayar domain dan hosting, akhirnya bubar seperti yang dituliskan oleh Misbahus Surur tempo hari.

Tapi nggalek.co bagi saya adalah satu dari sekian situs yang memberikan ruang untuk belajar dan mengajegkan menulis. Di sisi lain, nggalek.co juga memberikan arti dari sebuah proses yang nyata. Bayangkan selama dua tahun mengudara, kita ditantang untuk menulis di tiap bulannya.

***

Sedikit flashback ke belakang, awal-awal setor tulisan reportase buah durian itu misalnya, sudah membuat saya tak enak makan. Bukannya berterima kasih atau menolak, tapi si editor malah nggremeng sana-sini, karena susunan kalimat saya ngawur. Editor nggalek.co adalah Misbahus Surur, penulis Trenggalek yang kini diikat absensi di kota Malang sana. Tapi ia tetap semangat untuk menguri-nguri, agar kontributor nggalek.co tetap semangat menulis.

Lanjut lagi, tidak berhenti di-gremengi tapi saya sering diadili di ruang maya dan mempertanggungjawabkan atas apa yang ditulis? Dan itu dirasakan oleh sebagian besar kontributornya.

Kala kali pertama menyetor tulisan di nggalek.co, sering menulis se-enak udel saya. Intinya saya menulis sesuai di lapangan, tanpa peduli struktur bahasa penulisan. Perkara segala kekurangan di penulisan itu urusan editor, saya hanya menulis saja. Akibatnya, saya digremeng berulang kali agar penulis juga mengedit tulisan-tulisannya sendiri. Sebab mengedit, katanya, juga bagian dari kerja (akhir) penulisan. Dari situlah saya mulai terjerumus dalam kubangan nggalek.co yang me-nganyel-kan dan menjengkelkan, karena tatanan kalimat saya banyak yang amburadul.

Bukan itu saja, sebagai editor, Misbahus Surur juga terus bergentayangan tiap hari. Ia men-japri tulisan kepada beberapa penulisnya. Chat-nya adalah teror yang hadir hampir tiap minggu dan tak mengenal situasi. Setiap chat masuk sudah pasti adalah sebuah kabar tagihan. Hal ini kan jelas mengganggu waktu istirahat dan mengubah mood chat bersama sang pacar. Oups…

Namun itu adalah cara simpel yang diajarkan oleh editor kepada sebagian besar penulis. Menulis yang berfokus pada hal-hal sekitar (lokal) memiliki tantangan tersendiri bagi anak pedesaan seperti saya. Sebab, mau tidak mau, pikiran dan perasaan harus tertuju dan terkuras dengan hal sekitar, tanpa sempat menengok keseruan politik dan hingar-bingar negara yang katanya mau bubar ini. Wong saya ini belum jadi orang kaya, juga belum nikah, kok sudah mau bubar. Lha ini nggalek.co sepertinya juga mau ikutan bubar. Kan, saya belum nerbitin buku buat calon istri, seperti karya editor.

Mungkin kalau nggalek.co bubar, seperti kata Trigus, bunyinya adalah begini: kami yang mengawali, dan kami pula yang mengakhiri. Tapi tenang, nggalek.co masih akan hidup. Ia hanya hidup segan, mati tak mau.

Artikel Baru

Artikel Terkait