Gamelan Kiai Amoh Banget

Di dekat rumah orangtua saya ada sebuah bangunan setengah jadi, sudah beratap, tetapi lantai dan dindingnya belum selesai dikerjakan, mandeg, menunggu terbelinya material. Di dalam bangunan setengah mangkrak itu ada gamelan, daripada tidak ada namanya kita namai saja Gamelan Kiai Amoh Banget.

Gamelan Kiai Amoh Banget dibeli tahun 80-an dengan uang urunan warga Dusun Nglaran. Itu urunan. Besarnya urunan tidak sama, dan tidak semua warga Dusun Nglaran ikut urunan. Hanya yang mampu. Dan mau. Maka, ada bebarapa warga yang seharusnya tidak usah urunan menilik kemampuan finansialnya, tetapi karena demikian cintanya terhadap seni karawitan, ora ketang direwangi utang ya ikut urunan.

Semua warga Dusun Nglaran boleh meminjam Kiai Amoh Banget, misalnya untuk uyon-uyon, tayuban, atau wayangan ketika punya hajat. Tidak ada perlakuan berbeda antara mereka yang dulu ikut urunan untuk membeli Kiai Amoh Banget atau tidak. Itu dulu. Sekarang, karena kondisinya sudah sangat menyedihkan karena tergerus usia. Tak ada lagi orang berminat meminjamnya. Mereka memilih keluar uang sewa untuk gamelan yang kondisinya masih bagus.

Kiai Amoh Banget hingga kini masih mengumandang setidaknya sekali dalam sepekan. Paguyuban karawitan Tumuju Laras pimpinan Pak Damin yang menabuhnya. Anggotanya laki-laki dan perempuan yang rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun. Mereka adalah para manusia langka, bahkan di sebuah dusun yang sangat jauh dari kota seperti Nglaran. Anak-anak muda sudah tidak lagi terarik dengan karawitan.

Paguyuban Karawitan Tumuju Laras beranggotakan orang-orang yang berkesenian sebagai cara melengkapi laku hidup keseharian. Mereka tidak pernah bercita-cita menjadikan laku berkesenian mereka sebagai bisnis. Maka, kalau ada warga yang mengundang mereka untuk menyemarakkan acara hajatan dengan uyon-uyon atau tayuban, mereka akan selalu senang hati berangkat dengan semangat sambatan.

Itulah sebabnya, sehingga ketika kondisi Kiai Amoh Banget semakin mengenaskan mereka kesulitan untuk membeli gamelan yang baru. Urunan lagi? Oh, sekarang keadaannya sudah jauh berbeda dengan tahun 80-an. Pada waktu itu, cengkih sedang mekar di Dusun Nglaran. Sedang kebutuhan sehari-hari masih memungkinkan untuk lebih berhemat. Termasuk, anak-anak disekolahkan sampai tamat SMP pun sudah terbilang bagus.

Sekarang, pohon cengkih nyaris punah dimangsa penyakit. Ada yang menanamnya lagi, mati, tanam lagi, mati lagi, dan tak bosan-bosannya menanam. Banyak pula yang berputus asa. Sedang pengeluaran wajib semakin membengkak: beli gas, iuran listrik, dan anak sekolah apes-apese kudu tamat SMA.

Proposal meminta sokongan dana dari pemerintah sudah dibuat, dikirim ke alamat 3 atau 4 tahun lalu. Hasilnya nihil. Lalu ada bupati yang dalam sebuah acara kunjungan ke desa sempat memergoki penampilan Paguyuban Karawitan Tumuju Laras lengkap dengan Kiai Amoh Banget-nya, lalu terlontarlah untaian kata mengundang harap: “Buatlah proposal …!” Maka, dikirimkan lagi proposal. Dan mungkin ketika proposal itu sedang dalam perjalanan, Sang Bupati sudah mengakhiri masa jabatannya, diganti bupati baru, yang, bisa jadi lebih buruk pemahamannya mengenai arti sebuah gamelan bagi masyarakat Dusun Nglaran.

Wista, lah, ora usah njagakke disumbang pemerentah. Dipakai saja yang ada ini.

Lah, kalau bisa dapat yang lebih baik rak ora ngisin-isini. Karawitan itu rak kesenian. Kanggo nglelipur lan nyenyeneng ati. Rak ya aneh yen lagi nyawang gamelane malah kudu mbrebes mili?

Iya, tetapi, pemerintah sekarang ini kan semboyannya saja, “Kerja, kerja, kerja!Lha, kowe kuwi malah ngajak wong padha leren nyambutgawe, seneng-seneng karawitan, ngono kok isih ngarep-arep bantuan saka pamarentah!

Ya, ora ngono. Gene kae yen pas hari jadi ngebongi mercon atusan yuta repis, ngko eneng dhayoh saka provinsi sing arep macung malah teka ngajak dhalang saka njaban rangkah sing taripe atusan yuta, kuwi ming kanggo sewengi. Glundhung kendhang, esuk gur kari larahan ngebaki alun-alun. Wong-wong kuwi dha pinter-pinter pikirane landhep njara langit, ming emane kok cendhak. Mung melihat jarak dekat. Macung, gek dadi, gek lali. Wis, mung kuwi. Tur kok kiaine sing mbaureksa kesenian neng Jawa Timur kuwi thik sing diemban cindhe mung wayang kulit dhalang kondhang. Pendhak teka mrene oleh-olehe ya dhalang kondhang. Kesenian kuwi rak akeh jinise. Eneng jaranan, terbang, hadrah, kothekan lesung, ludruk, kethoprak, tari, musik, teater, sastra …

Kok, kamu malah arep pidhato kebudayaan?

Iki ngono curhat, Kang! Ngesok uneg-uneg. Tinimbang dadi entut.

Wis, ta. Begini saja. Pakailah terus Kiai Amoh Banget. Sampai titik darah penghabisan. Eh, maksud saya, sampai ketika ditabuh hilang bunyinya. Itu nanti akan melalui proses laras rusak. Ketika titinadanya meleset. Ikutilah saja. Nanti pada titik tertentu, ketika slendro bukan, pelog bukan, makin giatlah berlatih. Syukur bisa menciptakan gending-gending baru. Itu nanti akan jadi aliran baru, warna baru dalam musik gamelan, dan tentu saja itulah sumbangan terbesar Paguyuban Karawitan Tumuju Laras terhadap upaya pengembangan musik karawitan di tanahair. Semoga dunia akan menyambutnya dengan gembira.

Weh, apa ngono, ya?

Kandhani, kok. Bukankah kesenian adalah piranti untuk merawat jiwa manusia? Kalau atimu ngenes merga ngarep-arep bantuan pemerintah, apa ora malah nggeliske mati nglayung?

Dlang, tung, tak!

Nglaran, 9 Februari 2018

Artikel Baru

Artikel Terkait