Wartawan Budrek

Mas, saya minta tolong boleh? Tanya Pak Lurah saat kami sedang dalam satu mobil.

Napa Pak, bileh saget nggeh kula purun. Jawab saya sambil menoleh ke arah Pak Lurah.

Ngene lho, Mas. Selama 5 tahun menjadi kepala desa, 3 kali dalam seminggu kok selalu ada orang yang datang ke balai desa. Orang tersebut mengaku sebagai wartawan. Biasanya sambil membawa koran (maaf nama korannya tidak saya sebut) juga kalender. Ketika datang, mereka biasanya menanyakan dokumen perencanaan pembangunan, lebih detail lagi menanyakan RAB pembangunan jalan di antaranya.

 Setelah itu, mereka selalu meminta uang bensin. Kalau sedang punya uang dan sedang berbaik hati, saya bisa memberinya, tapi kalau pas lagi emosi, saya pergi meninggalkannya. Entah alasan keluar atau ke mana. Saya sebenarnya ingin tahu, mereka itu sebenarnya wartawan apa? Kok setiap datang minta sangu. Pak Lurah mengisahkan pada saya.

Waktu piantune datang, napa mboten njenengan tangkleti, setidaknya minta menunjukkan ID wartawannya? Tanya balik saya.

Endak, Mas. Lha aku males lek eroh ngono kuwi. Kadang tas teka langsung tak wei duet, ben ndang ngaleh. Jawabnya ketus.

Kami pun melanjutkan obrolan seputaran wartawan, hingga waktu, membuat kami mengganti topik obrolan tanpa sadar.

–0–

Tidak hanya sekali, perihal cerita kedatangan seorang yang mengaku wartawan ke desa-desa, sering saya dengar. Dengan kata lain, tidak hanya dari satu dua kepala desa, melainkan puluhan kepala desa. Dan faktanya, hal ini sedikit banyak telah menimbulkan efek resah bagi pejabat-pejabat di desa, begitu menurut pengakuan mereka.

Terlepas dari apa niat sebenarnya dari orang-orang ini, namun yang menjadi kesimpulan akhir dari beberapa orang yang telah bersinggungan dengan mereka adalah, umumnya mereka yang datang seolah membawa marwah sebagai si pencari warta, namun datang untuk dua tujuan. Pertama, untuk menakut-nakuti perangkat desa dengan temuan-temuan kesalahan yang tak terprediksi. Kedua, mereka datang untuk minta sangu.

Selain wartawan, ada juga oknum yang mengatasnamakan dari LSM. Setali tiga uang, kedua label ini (wartawan dan LSM) hingga saat ini sangat efektif digunakan sebagai alat oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab untuk menakut-nakuti, dan ujung-ujungnya untuk meminta uang.

Oknum wartawan dan LSM dengan kegiatan yang berakhir meminta uang seperti ini, oleh masyarakat lazim disebut dengan kata “bodrek” sebagai label akhir. Jika digabung menjadi wartawan bodrek atau LSM bodrek. Ini adalah sebutan yang kerap dialamatkan kepada mereka. Terlepas apa makna dari predikat “bodrek” sebenarnya, yang jelas di sini bermakna negatif.

Di Trenggalek, keberadaan wartawan dan LSM bodrek ini nyata ada dan bukan fiksi. Itu jika merujuk kepada beberapa pernyataan kepala desa melalui cerita-cerita yang mereka sampaikan. Namun menurut beberapa laporan kawan di luar kabupaten. Mereka ini, yang mencari-cari rejeki dari jalur ngeden-ngedeni, disinyalir sangat banyak, bahkan modus yang dimainkan jauh lebih beragam.

Imbas dari kelakuan seperti ini bukan hanya menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemerintah desa, namun juga merusak harkat dan martabat profesi wartawan serta LSM itu sendiri. Efek paling buruk adalah, banyak orang mengira bahwa LSM dan wartawan adalah profesi buruk. Tentu ini pandangan masyarakat yang tidak tahu menahu cerita sebenarnya.

Di tahun 2018 ini, ada kasus baru menyoal keberadaan Wartawan Bodrek. Menurut salah satu laporan news.detik.com, seorang wartawan gadungan (bodrek) pernah ditangkap, tengah melancarkan aksinya di Polres Trenggalek. Ia (si tersangka) memalsukan ID Card salah satu TV Nasional, serta memalsukan surat plus tanda tangan. Berhubung nasib apes sedang menyambanginya, ia keburu tertangkap sebelum beraksi: dan tentu belum mendapatkan apa-apa. Ini sudah pasti bukan fiksi.

Jika kita searching di google, banyak tulisan yang memberitakan wartawan abal-abal, baik yang berhasil ditangkap atau hanya mengungkapkan keberadaannya. Jelas ini bukan persoalan baru. Karena disinyalir, mereka-mereka yang kerap membuat resah korban pemberitaan ini, sudah sejak lama ada.

Bukan hanya di lingkungan desa, bagi yang sudah bermental baja, wartawan gadungan ini kerap pula beraksi di lingkungan kantor-kantor pemerintah kabupaten, di sekolah dan tempat lain yang dirasa bisa dibodohi dan berakhir dengan memberikan amplop. Dan janggalnya, bila dirasa si calon korban tidak memiliki kesalahan, lantas kenapa juga diberi?

Menurut salah seorang perangkat desa (maaf tidak bisa saya sebut namanya), mereka memberikan amplop bukan karena takut jika kesalahannya diumbar melalui media yang tidak ternama dan kadang tidak jelas, namun mereka tidak mau ada yang mencari-cari kesalahan, hanya karena si wartawan atau LSM tidak mendapatkan yang diinginkan.

Gini mas, jika kami diberitakan miring, padahal kami tidak melakukannya, kami tidak mau repot mengklarifikasi berita-berita miring tersebut. Karena butuh waktu lama dan menguras energi. Dan lagi, mereka itu jumlahnya banyak, setiap minggu orangnya ganti, kendati ada juga wajah-wajah yang tetap. Terang seorang perangkat.

life for news not life for envelope”  Wartawan hidup untuk berita, sedangkan wartawan bodrek hidup untuk amplop. Siapa pun yang membaca artikel ini dan merasa tersinggung, boleh-lah Anda mencoba berbicara dengan hati nurani, sebenarnya yang Anda lakukan ini untuk tujuan apa? Jika memang tujuannya amplop, maka sudah seharusnya Anda mengubah polarisasi mencari nafkah. Jangan hanya mengandalkan tampang seram berbalut baju wartawan palsu nan mencolok. Produksi-lah berita-berita yang dapat mengedukasi masyarakat.

Saat ini saya anggota salah satu LSM di Trenggalek. Awal mula masuk, kakak ipar memperingatkan saya tentang profesi ini. Maklum, di tempat ia bekerja, ia kerap mendapati beberapa orang LSM yang datang untuk amplop, plus dengan segudang pertanyaan yang butuh klarifikasi dari si bos. Nyata, bahwa LSM dalam kepala kakak ipar saya adalah orang brengsek yang macak intelek.

Namun saya bisa memastikan kepadanya bahwa, LSM tidak seluruhnya seperti yang ia pahami. Jikapun ada beberapa orang yang seperti digambarkannya, murni, mereka adalah orang-orang yang belum sampai pada hari “pengapesan” dan butuh pengapesan.

Jika merujuk dari data yang pernah dikeluarkan oleh Kesbangpolinmas Kabupaten Trenggalek, LSM di Trenggalek yang pernah mendaftarkan diri sejumlah 121. Beberapa dari nama-nama tersebut, di antaranya ada yang masih aktif dan yang lainnya ada yang sudah ditandai tidak hidup alias non-aktif. Jika ada orang yang datang dan mengaku dari LSM, sebenarnya bisa dicek, apakah itu LSM resmi atau LSM yang adanya hanya saat anggotanya beraksi. Bisa dikatakan, jika pas tidak beraksi, LSM tersebut tidak ada.

Berbanding terbalik, saya belum menemukan daftar wartawan resmi yang ada di Trenggalek, namun jika merujuk data dari dewan pers Indonesia, bisa dikenali siapa saja wartawan yang sah beroperasi di wilayah Jawa timur.

–0–

Setelah beberapa waktu obrolan kami teralihkan ke topik lain, akhirnya, salah satu dari kepala desa di antara kepala desa di dalam rombongan, kembali membuka obrolan bertemakan “wartawan bodrek”.

Sik ta, Mas. Jal ta Sampean pikirne, nyapo ya wong-wong model iku kok tatak teka mung kanggo njaluk amplop (duit). Apa pancen wis ketutup mata batine; apa pancen wis ra isa golek kerjaan liya sak liyane iku? Tanyanya sambil menyandarkan bahu di jok mobil.

Ngapunten, Pak. Kulo nggeh mboten sumerep. La wong kulo nggeh heran, kok. Jawab saya sambil membuka kaca jendela mobil dan menyalakan udud.

Lek menurut Sampeyan pripun, Mas. Ngadepi wong-wong ngono iki? Tanyanya seakan tidak puas.

Jan-jane nggeh penak, Mbah. Bileh Panjenengan merasa mboten gadah salah, nggeh tolak mawon. Umpami diperkarakan melalui berita, nggeh perkarakan balik. Lek sampun dalane wani bener, nggeh sekalian wani mawon, hehehe. Niku miturut kulo seng sanes kepala desa lho, Mbah. Tapi ngapunten sak derenge, saestu Panjenengan mboten gadah salah? Tanya saya.

Suasana mejadi hening, si sopir berusaha memecahkan keheningan dengan memutar lagu koplo. Itu terdengar hingga kami sampai di tempat tujuan.

Artikel Baru

Artikel Terkait