Grobokan sebagai Penanda Pergantian Musim

Dalam beberapa pekan terakhir (akhir April-awal Mei) terasa sekali udaranya berbeda. Udara terasa sangat kering dan dingin saat malam hari dan di siang harinya begitu panas. Sebenarnya ini adalah fenomena umum yang selalu terjadi di setiap tahun. Meski tidak semua orang menghafalinya (niteni) siklus tersebut. Orang menganggapnya sebagai musim yang tidak menentu.

Sebetulnya kebudayaan Jawa telah mengenalinya melalui tanda tanda yang selalu berulang tiap tahun yang disebut pranatamangsa. Pranatamangsa sendiri adalah sebuah sistem penanggalan di masyarakat Jawa sebagai penanda di dunia pertanian ataupun pada masyarakat nelayan. Penentuan pranatamangsa ini berawal dari titenan (penandaan) setiap musim dalam rentang waktu yang sangat panjang.

Kalau kita mengambil referensi di internet tentu banyak sekali perbedaan antara satu sumber dengan sumber lain, kenapa demikian? Karena dalam perhitungan pranatamangsa tidak ada pakem (patokan) yang jelas terkait dimulainya mangsa satu dengan mangsa yang lainnya, di bulan apa dan tanggal berapa. Pada masyarakat sendiri penandaanya bukanlah pada bulan, melainkan dari tanda-tanda alam. Misalnya ada singkatan samaliti dan sanem turon. Samaliti maksudnya adalah mangsa lima kali mati (mangsa kelima, air sungai tak lagi mengalir); sanemturon artinya mangsa enem metu laron (mangsa keenam anai-anai sama keluar).

Dalam penandaan ini jelas tidak terlihat tanda-tanda di bulan apa berlangsungnya. Sekadar untuk mempermudah penghafal penanda dua mangsa tersebut, adalah akhir kemarau dan awal penghujan. Selain kondisi alam dan juga hewan, tumbuhan juga bisa menjadi penanda dalam pergantian siklus musim, misalnya berakhirnya musim kemarau adalah saat bunga sengon mulai berguguran dan tumbuhan jalar (uwi, gadung) mulai tumbuh.

Ketika bicara masalah pranatamangsa dengan tanda-tandanya, jelas sangatlah sulit, sebab sering terjadi keterlambatan munculnya tanda-tanda tersebut. Kadang juga penanda lebih cepat kedatangannya. Sebagian besar masyarakat memiliki penanda lain yang lebih akurat saat ada pergantian mangsa, bukan saat mangsa itu berlangsung. Tanda tersebut adalah pergantian arah angin dan juga suhu udara, yang dalam istilah Jawa (khususnya di tempat saya di Kecamatan Pule) disebut grobokan.

Grobokan adalah pergerakan udara yang berbeda dengan hari-hari biasa. Angin terasa lebih kencang dan arahnya belum stabil. Siklus ini tidak berlaku lama. Biasanya berlangsung antara 2 sampai 10 hari. Dan setelah angin kembali stabil, artinya sudah masuk mangsa yang berbeda dengan mangsa sebelum grobokan terjadi, kecepatan angin pun bervariasi di antara pergantian mangsa satu dengan mangsa yang lain.

Yang paling ekstrim adalah grobokan pada pergantian musim kemarau ke penghujan, ataupun sebaliknya. Karena kecepatan angin sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan kerusakan, utamanya saat pergantian musim kemarau ke penghujan dan pada awal penghujan itu sendiri. Selain dari kecepatan angin yang tinggi, grobokan pada pergantian musim durasi waktunya lebih lama dari grobokan pergantian mangsa.

Berangkat dari titenan (penandaan) yang dilakukan masyarakat Jawa di waktu grobokan ini, orang harus lebih berhati-hati dan ekstra menjaga kesehatan dari hari-hari sebelumnya. Angin dan suhu yang tidak menentu akan sangat mudah mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang, dan pada saat grobokan inilah biasanya justru banyak orang mengalami gejala penurunan kesehatan.

Apalagi grobokan di musim kemarau yang bersamaan dengan gerimis di malam hari. Bukan hanya manusia yang akan mudah terserang penyakit, berbagai macam tanaman pertanian pun akan rentan diserang hama tanaman. Ini bukan sekadar mitos, karena gerimis pada malam hari memang akan mempercepat telur hama tanaman, terutama ulat dan belalang, untuk menetas.

Pada akhir bulan April sampai awal bulan Mei tahun 2018 ini, jelas sangat terasa perbedaan udara yang terjadi dengan awal bulan April kemarin. Jika pada awal April suhu udara masih terasa hangat, pada akhir April dan awal Mei ini udara sangat dingin dan terasa kering. Curah hujan pun cenderung menurun drastis, angin yang kencang juga berhembus selama beberapa hari, tanda bahwa terjadi pergantian mangsa (grobokan).

Dari tanda-tanda tersebut, sebagian besar masyarakat petani di pedesaan sudah bisa mengenali bahwa musim penghujan telah berhenti, dan mengalihkan sebagian besar lahan sawah tadah hujan untuk ditanami palawija. Namun ada juga sebagian petani berkeyakinan masih bisa menanam padi di akhir musim penghujan (gadu). Dan rata-rata mereka adalah petani yang memiliki sawah di dekat sungai.

Pada saat pergantian musim, grobokan akan sangat terasa berbeda dengan grobokan yang terjadi pada pergantian mangsa pada umumnya. Grobokan akan dibarengi dengan fenomena lain yang disebut bediding, udara dingin serasa menusuk ke tulang sumsum sejak sore sampai menjelang siang di keesokan harinya, walau matahari sudah muncul. Namun pada siang sampai sore harinya, panas matahari akan terasa sangat menyengat.

Artikel Baru

Artikel Terkait