Pariwisata adalah salah satu sektor primadona, hingga seolah menjadi anak emas bagi pembangunan daerah. Setiap daerah berlomba-lomba menggerakkan sektor ini untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warganya. Bagaimana tidak, sektor pariwisata memiliki multiplier efek yang signifikan terhadap sektor lain. Data menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, pariwisata mengalami peningkatan kontribusi penyumbang devisa negara. Para ahli memprediksi, pada tahun 2020, pariwisata akan menjadi penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Berbicara mengenai kawasan pariwisata, tak elok jika tidak menyebutkan Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten paling timur Pulau Jawa yang dulu terkenal dengan image santet-nya itu berhasil menumbuh-kembangkan pariwisata daerah. Tak pelak berbagai penghargaan telah disandangnya, baik berskala nasional maupun internasional di antaranya UNWTO Awards for Excellence and Innovation Tourism (kategori inovasi kebijakan publik dan tata-kelola pemerintahan di bidang pariwisata terbaik sedunia versi Badan Pariwisata PBB) dan ASEAN tourism standart (kategori clean tourism). Prestasi mendunia tersebut tentunya sangat menarik untuk dicermati. Kok bisa?
Bagaimana mereka bisa melakukannya? Apa bedanya perlakuan pariwisata di sana dengan di Kabupaten Trenggalek? Berdasarkan potensi yang dimiliki, pariwisata di Kabupaten Banyuwangi tidak berbeda signifikan dengan pariwisata di Kabupaten Trenggalek. Jika Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi alam seperti wisata pantai (Merah, G-land, Plengkung, Sukamade dan Teluk Ijo), Kabupaten Trenggalek juga memiliki kekayaan wisata pantai seperti Karanggongso, Prigi, Simbaronce, Pelang, Konang, Mbangko’an, Ngampiran, Taman Kili-Kili dan Ngulungwetan. Jika Kabupaten Banyuwangi memiliki air terjun kembar, Kabupaten Trenggalek memiliki banyak air terjun yang masih perawan.
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Trenggalek juga kaya akan wisata budaya dengan banyak even/festival yang diselenggarakan tiap tahun. Ada satu objek daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Banyuwangi tetapi tidak dimiliki Kabupaten Trenggalek yaitu Kawah Ijen dengan blue fire yang sudah mendunia. Oops, jangan berkecil hati, Kabupaten Trenggalek masih memiliki gua yang konon terpanjang dan terbesar se-Asia Tenggara.
Sejenak kembali pada pertanyaan yang telah saya kemukakan sebelumnya. Bagaimana mereka melakukannya? Berdasarkan pemaparan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Annas, di berbagai kesempatan, setidaknya terdapat empat strategi dalam mengembangkan pariwisata sehingga menjadi ikonnya Jawa Timur. Pertama, menempatkan kabupaten sebagai daerah yang harus dipasarkan. Strategi ini menempatkan birokrat sebagai tenaga marketing pariwisata; kedua, membuat segmentasi wisata dengan sasaran wisatawan perempuan, anak muda dan netizen; ketiga, melakukan inovasi yang berkelanjutan pada setiap Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW); dan keempat, membuat tourism event berbasis festival.
Dalam pelaksanaannya, keempat strategi ini konsisten “dikeroyok” berbagai OPD. Anggaran OPD saling menunjang program OPD lainnya. Di Kabupaten Banyuwangi sudah tertanam budaya “mensukseskan” kinerja OPD lain. Sebagai contoh, ketika dinas yang menangani Pekerjaan Umum menata dan mempercantik sempadan sungai yang sebelumnya kumuh menjadi kawasan wisata baru maka secara otomatis kinerja Dinas Pariwisata akan meningkat dalam menciptakan destinasi wisata baru.
Begitu juga dengan penyelenggaraan Banyuwangi Festival, setiap OPD secara bersama-sama memainkan perannya. Disperindag malakukan pameran UMKM; Diskop menyediakan tenda; bagian Humas memasang baliho dan promosi di media sosial; bagian Perlengkapan menyediakan pagar, umbul-umbul dan banner; desa mencetak promosinya; Dinas Pariwisata menyusun konsep, tim kesenian dan promosi; bagian Protokol menyediakan hotel dan menjamu tamu, DKP menyediakan karpet, bunga, kebersihan, air dan toilet portable; serta Dinas Kesehatan melakukan pelayanan kesehatan di tiap lokasi even.
Penyelenggaraan Banyuwangi Festival yang pada tahun 2012 hanya 12 even meningkat menjadi 77 even pada tahun 2018. Artinya, rata-rata tiap minggu terdapat 2 even. Berbagai even inilah yang menggerakkan perekonomian masyarakat sehingga muncul banyak lapangan pekerjaan baru dalam mendukung pelaksanaannya.
Pengembangan pariwisata juga tidak bisa terlepas dari aspek pemasaran. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sangat gencar melakukan promosi wisata baik di berbagai media cetak dan elektronik (digital marketing). Melalui aplikasi Banyuwangi in Your Hands dan website: banyuwangitourism.com menjadikan pariwisata di Kabupaten Banyuwangi menjadi mudah dijelajahi calon wisatawan. Website menjadi kunci di era millenial di mana informasi pariwisata dapat dijangkau siapa saja di seluruh dunia.
Kabupaten Banyuwangi juga tidak main-main menggelontorkan anggaran pemasaran pariwisata. Total belanja promosi wisata sebesar 17 milyar tetapi menghasilkan total belanja wisatawan di Kabupaten Banyuwangi sebesar 7,7 trilyun pada tahun 2017. Belanja promosi wisata yang dilakukan ternyata berkorelasi positif terhadap jumlah wisatawan. Total kunjungan wisatawan juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu 865.000 wisatawan pada tahun 2012, menjadi 4.931.969 wisatawan pada tahun 2017.
Terdapat beberapan aspek atau variabel yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pariwisata. Aspek-aspek ini adalah prasyarat setiap daerah jika ingin mengembangkan pariwisata. Pertama, daya tarik wisata. Pariwisata yang berhasil adalah pariwisata yang dapat membuat wisatawan selama mungkin tinggal (lenght of stay) untuk menghabiskan uangnya di daerah wisata. Strategi yang harus dilaksanakan adalah membuat keragaman/diversifikasi atraksi dan kegiatan wisata yang berbasis sumber daya alam dan sumber daya buatan. Setiap destinasi (obyek daya tarik) wisata harus memiliki keunikan tersendiri sehingga wisatawan memiliki ragam pilihan, dibuat penasaran untuk menjelajahinya dan tidak dapat dilakukan hanya dalam waktu satu hari. Selain itu, berbagai festival/even/atraksi wisata yang sangat banyak merupakan leverage yang harus ditingkatkan. Jika siklus wisata meningkat, maka belanja wisatawan akan lebih banyak.
Kedua, fasilitas atau sarana wisata. Aspek kedua ini menekankan bagaimana penyediaan penginapan/akomodasi wisata. Kebijakan di Kabupaten Banyuwangi patut kita tiru yaitu hanya mengijinkan penginapan/hotel yang berbintang dan pendirian homestay berstandar internasional yang berbasis masyarakat lokal. Hotel berbintang sangat memungkinkan wisatawan untuk tinggal lebih dari 3 hari sedangkan hotel melati biasanya hanya untuk “short time”. Pemilik dan calon pekerja di homestay harus diberikan beberapa pelatihan contohnya: cara bakar ikan yang baik, cara melipat sprei, kursus bahasa Inggris dan penyediaan toilet berstandar internasional.
Ketiga, penyediaan aksesibilitas. Bandara di Kabupaten Banyuwangi memegang peranan kunci. Dengan adanya bandara persentase kunjungan wisatawan di sana meningkat dengan pesat. Kabupaten Trenggalek juga harus bersiap menyongsong bandara yang akan dibangun di Kabupaten Kediri. Penyediaan angkutan wisata gratis bagi wisatawan juga harus dipersiapkan sebelumnya.
Keempat, penyediaan infrastruktur seperti air bersih, listrik, telekomunikasi, drainase dan air limbah. Kelima, adanya partisipasi masyarakat. Di Kabupaten Banyuwangi, 90% wisata yang berkembang adalah wisata berbasis rakyat (ecotourism). Rakyat berperan sebagai subjek (pelaku) wisata bukan sekadar objek sebagaimana pengembangan pariwisata konvensional. Pengembangan ecotourism juga cocok dengan kondisi Kabupaten Trenggalek daripada wisata yang berbasis pada investasi swasta sebagaimana Kota Batu.
Aspek terakhir yang juga sangat penting adalah potensi pasar. Potensi pasar akan menentukan jumlah wisatawan. Segmentasi potensi pasar di Indonesia sangat beragam di antaranya perempuan sebesar 120 juta, anak muda sebesar 62 juta dan netizen sebesar 82 juta.
Dalam era persaingan antardaerah untuk meningkatkan perekonomian khususnya pengembangan pariwisata maka dibutuhkan inovasi. Potensi dan permasalahan yang ada di Kabupaten Banyuwangi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan yang ada di Kabupaten Trenggalek. Inovasi membutuhkan kepemimpinan. Bahkan Morris (2006) menyatakan dengan jelas bahwa “there is not innovation without leadership”. Lebih lanjut seorang tokoh futurologist, Alfin Toffler (1980) dengan karya agungnya buku “The Third Wave” meramalkan bahwa: “Gelombang ketiga ekonomi di masa depan tidak ditentukan oleh “muscle” tetapi “minds”. Secara akademis, dalam ranah administrasi publik telah mengalami revolusi paradigma mulai dari efisiensi, produktivitas, kualitas, adaptasi dan terakhir adalah knowledge management yang menelurkan inovasi.
Tentunya sudah tidak diragukan lagi bagaimana kapasitas kepala daerah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Trenggalek yang sama-sama progresif dan inovatif. Inovasi harus menjadi sebuah gerakan. Kepemimpinan inovatif harus menjalar sampai ke tingkat bawah. Terdapat 3 peran pemimpin di dalam pengembangan inovasi daerah di antaranya: 1) Gagasan-gagasan inovasi terbanyak berasal dari level menengah. Untuk itu, pemimpin yang inovatif adalah pemimpin yang mampu menggerakkan bawahannya untuk berinovasi; 2) Seorang pemimpin bukan hanya “alat” dalam mendukung inovasi. Ia juga harus mengembangkan kemampuannya untuk berinovasi; dan 3) Inovasi pemerintahan daerah memerlukan mandat dan membangun visi dan misi (Hitt et., al. 2007).
Inovasi yang dilakukan oleh kepala daerah dan birokrat dalam memajukan sektor pariwisata tentunya juga menghadapi serangkaian tantangan. Keberanian para pejabat untuk berinovasi rendah karena insentif yang rendah yang diperoleh dari hasil inovasinya dan pada saat yang sama resiko besar dihadapi jika terjadi kegagalan dalam berinovasi. Tentunya kita masih ingat bahwa beberapa kepala daerah inovatif berujung pada tuntutan hukum seperti Bupati Sragen, Bupati Karanganyar dan Bupati Jembrana yang banyak melakukan inovasi di daerahnya tetapi berujung di penjara.
Lereng Gunung Jaas, 13 Mei 2018