Berperan dan baperan, adalah cerminan psikologis pemuda jaman now. Setidaknya saya yang lahir di tahun 90-an merasa lebih “bersih” daripada generasi sebelumnya. Bersih dari apa? Bersih dari konflik kepentingan rezim, baik Orla maupun Orba. Bagaimana tidak bersih, kita masih baru belajar membaca di saat reformasi digulirkan. Tapi apa efeknya? Efeknya ketika kita tumbuh dan menyadari ada kurangnya di sana-sini, kita akhirnya gampang menuding bahwa generasi tua adalah biang dari segala masalah, dan kita akhirnya merasa layak untuk berperan dan di sisi lain, sembari baperan, karena bingung memulainya dari mana.
Dari 1908 ke 2018
Boedi Oetomo bukan sekadar nama, di sana terselip doa bahwa Budi Pekerti yang Mulia adalah senjata awal yang harus ditancapkan sebelum akhirnya Dr. Wahidin mengutus Suratmo untuk masuk volksraad sepuluh tahun kemudian. Pemuda-pemuda itu berproses dan sadar peran, yang intelektual tidak pula jadi kolonial dengan hanya melahap kepintaran untuk keuntungannya sendiri. Sejak 1920 sampai 1935, seluruh lapisan rakyat bergabung dengan Boedi Oetomo.
Sering saya menyampaikan, betapa malunya jika menjadi anak muda tapi meminta-meminta dari pemerintah. Bukankah dulu anak muda ini yang menuntut, yang mendobrak dan yang melahirkan Republik ini, dari rahimnya revolusi fisik, ketubannya imperialisme, dan ari-arinya adalah persatuan. Mengingat semua getir itu, malu rasanya kalau sekarang dengan dalih kebangkitan pemuda itu kita hanya minta disusui. Minta diayun dalam kenyamanan, ditimang-timang. Pantas saja sedikit-sedikit merengek.
Top-Down Revolution
Di tengah kebaperan dengan pertanyaan di mana peran saya sekarang sebagai pemuda? Ada yang nekat dan berani masuk ke dalam sistem dengan cita-cita social betterment, nampaknya gagah diucapkan tapi tidak sedikit yang terbawa arus. Ada yang baru masuk ditangkap karena narkoba sampai korupsi.
Memang revolusi itu juga bisa diperjuangkan dari atas ke bawah, dengan kebijakan dan kebijaksanaan yang bertautan dengan rakyat, kursi yang kita dapatkan dari elektoral itu layaknya bak sajadah yang menjadi tempat persujudan. Tetapi sebaliknya, dari kursi itu pula bisa terjadi penghisapan yang maha dahsyat.
Migrasi Politik Anak Muda
Berbondong-bondonglah maju kegelanggang anak-anak muda ini, tantangannya adalah apakah konsisten menjadi anti-virus atau apakah bagian dari replikasi virus yang semakin kuat.
Maka, wajar saja banyak pelajar dan mahasiswa yang akhirnya mencari modes-modes baru, mulai dari membangunkan lagi diskursus Negara Islam Indonesia dengan Khilafah-nya, berhimpun di organisasi-organisasi kepemudaan dan menekan kebijakan-kebijakan yang lebih pro-rakyat, membangun partainya anak muda, semua ini adalah bentuk ijtihad memanifestokan kembali peran pemuda.
Masalahnya bukan niatnya, tetapi masalahnya adalah semakin banyak modes dan semakin banyak diskursus baru, semakin runcing jurang perpecahan yang kita timbulkan. Lucunya, semuanya saling menuding bahwa pihak yang berlainan adalah biang kerusakan. Yang menuding biang rusak dituding yang lain biang rusak. Akhirnya semuanya rusak.
Taman Sari Indonesia Merdeka
Kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas kata Bung Karno, dan di ujung jembatan emas itulah Taman Sarinya Indonesia Merdeka harus kita sempurnakan. Maka, jangan ada perasaan zwaarwichtig kata Bung Karno meyakinkan bahwa Indonesia harus merdeka dan melandaskan diri pada kesepakatan bersama yang saat itu dibahas dan disebutlah dia Pancasila.
Sebagai orang Islam, saya haqqul yakin bahwa mengamalkan Pancasila adalah ladang pahala, dan berupaya mengingkarinya dan merusaknya bahkan dengan dalih agama paling suci sekalipun adalah ketercelaan yang luar biasa, mengapa? Coba telaah semua fikih, Islam menjunjung tinggi yang namanya akad (kesepakatan/perjanjian), dalam jual-beli, dalam pernikahan, dan segala hubungan sosial lainnya, akad dalam Islam tinggi martabatnya.
Contoh, mengapa dengan wanita yang sama saat masih berpacaran dihukumi dosa, tapi saat sudah berakad dan menikah dihukumi halal? Mengapa sebuah mangga saat diambil diam-diam dihukumi haram tetapi saat dibolehkan oleh si pemiliknya menjadi halal? Semuanya adalah kesepakatan. Pancasila adalah kesepakatan kita, setialah! Amalkanlah!
Pak Dhe Karwo, Pemuda dan Jawa Timur
Sejak menjadi wakil bupati saya menjadi beruntung sering menghadiri acara-acara protokoler kepemerintahan, tidak terkecuali memahami sosok Pak Dhe Karwo. Usia dan kumisnya tidak bisa menutupi jiwa mudanya dan jati dirinya sebagai manusia pergerakan. Sering saya dengar langsung working-ideology itu yang harus dibumikan, bukan lagi sekadar membeo pro-rakyat, bla bla bla.
Tetapi ada penyampaian beliau yang menjadi perhatian terbesar saya, ketika membahas bonus demografi ataukah bencana demografi. Di saat Indonesia diprediksi akan menjadi 5 negara terbesar dunia 2035 ditinjau dari kue ekonominya atau GDP nya, karena dipengaruhi banyaknya penduduk usia produktif yang artinya harusnya nilai produksi dan konsumsinya besar, tetapi di Jawa Timur menurut Pak Dhe Karwo, puncak bonus demografi Jawa Timur terjadi di tahun 2019, apa artinya?
Pemuda Jawa Timur punya waktu yang lebih sempit untuk membuktikan apakah layak disebut pemuda yang mendulang bonus atau bencana. Bisa juga diartikan bahwa pemuda Jawa Timur haruslah menjadi lokomotif dari semua pergerakan keproduktifan anak muda, karena fase awal puncak bonus demografi itu dimulai disini. Wajar saja jika Jawa Timur selalu mendulang pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional, karena bonus demografi di lain negara selalu bisa memacu ekonomi 2-4%.
Ini penghargaan bagi pemuda Jawa Timur tapi juga bukan tugas yang mudah untuk jadi pelopor. Saya bahagia Pak Dhe Karwo punya visi membangun Tri Sakti Institute, agar kelak saat beliau menua, gagasannya akan selalu bisa dilahap oleh sekian generasi. Jawa Timur menjadi kotak pandora. Bukan saya mulai chauvinis tidak! Tetapi saya berharap semua pemuda memang harus sudah merasa bahwa ini mepet, ini krusial, agar tidak berlenggang kangkung.
Kado 100 tahun Indonesia Merdeka
Jika pemuda menjadi demam, over-politics, dan baperan hanya untuk berperan elektoral tapi lupa politik ekonomi kreatif, politik tengok bawah, politik pendidikan dan kesehatan, serta politik-politik kebangsaan dan kerakyatan lainnya, maka saya malu menyerahkan kado 100 tahun Indonesia Merdeka.
Sering saya curhat kepada sesama pemuda. Teman-teman, kasihan rakyat Trenggalek hanya punya wakil bupati lulusan SMA bukan sarjana, maka harusnya kalian yang lain di luar sana apalagi yang bisa bersekolah karena beasiswa negara adalah saya katakan lebih layak! Jangan jadi kolonial dengan memainkan intelektualmu untuk mengambil keuntungan sendiri.
Jadilah gentle, jika ada kurang-kurangnya Indonesia saat ini bersyukurlah, siapa tahu kita sedikit-sedikit punya peran memperbaikinya. Maka, Indonesia yang sedikit-sedikit masih punya awan kelam adalah tempat kita untuk menjadi pahlawan-pahlawan selanjutnya.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional, dan tidak ada kebangkitan tanpa simpul-simpul persatuan, kata Bung Besar.
Salam Pemuda,
Merdeka
MNA