Bias Radikalisme dalam Islam

Menguatnya fenomena radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan dan kekhawatiran bahkan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya untuk menghentikan sikap dan perilaku radikal ini telah banyak menguras energi di berbagai negara. Tetapi mengapa gerakan tersebut masih tetap saja ada dan memiliki kecenderungan siap meletup setiap saat.

Adakah something wrong dalam menangkal dan menyelesaikan hantu terorisme dan radikalisme yang terus mengusik kedamaian dan mencederai kemanusiaan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini bermaksud memberikan kontribusi pemikiran bagaimana melakukan pencegahan dan penyelesaian yang tepat terhadap gerakan yang mengusung ideologi radikalisme dan terorisme.

Eksistensi gerakan radikal sebenarnya tidak hanya berkembang pada sebuah negara dan agama tertentu. Namun sudah berkembang dalam bentuk yang bercorak transnational dan transreligious. Hal ini dapat kita saksiskan akhir-akhir ini hampir seluruh negara dan agama yang berkembang di belahan dunia disibukkan untuk menumpas masalah radikalisme.  Radikalisme dan terorisme sudah menjadi global issues yang membutuhkan sensitivitas negara dan agama sekaligus.

Oleh karena itu, diperlukan rencana dan langkah-langkah yang taktis-strategis untuk mengatasinya demi terciptanya tata kelola kehidupan umat beragama-bernegara yang toleran, tenang, dan damai. Sebab di tengah-tengah kondisi bangsa Indonesia yang kaya akan kebhinekaan, apabila gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam ini dibiarkan terus tumbuh kembang dan tidak diselesaikan secara tepat, maka akan berdampak lebih besar terhadap kerukunan antarumat beragama dan intern umat beragama.

Kekeliruan pemahaman terhadap istilah radikalisme dalam keagamaan akan menimbulkan problem sosiologis bagi kehidupan umat beragama dan negara. Maka sebelum berbicara masalah radikalisme dalam Islam, pemahaman terhadap istilah tersebut harus dijernihkan terlebih dahulu.

Secara etimologi kata radikalisme berasal dari akar kata bahasa Latin “radix” yang berarti akar yang juga sering dimaknai dengan fundamental. Sehingga apabila menyebut radikalisme dalam agama, maka sering kali kita mengidentikkan dengan fundamentalisme agama. Pengertian lain yang memiliki makna dengan radikalisme adalah fanatisme, ekstrimisme, militanisme, liberal, reaksioner, progresif dan revolusioner.

Dalam implementasi teknis operasionalnya sebutan kata radikal tidak selalu memiliki konotasi negatif, tetapi juga bisa bermakna positif tergantung pada konteks kalimatnya. Kata radikal akan memiliki makna positif apabila digunakan dalam konteks kajian filsafat yang memiliki ciri khas berpikir secara radikal untuk menemukan kebenaran secara mendalam sampai akar-akarnya. Sebaliknya, kata radikal justru memiliki konotasi makna negatif apabila dikaitkan dengan upaya-upaya pemaksaan kehendak disertai tindak kekerasan agar pihak lain mau mengikuti pikiran, sikap dan tindakan kita. Di sinilah sebenarnya penggunaan istilah radikalisme secara terminologis harus didudukkan pada proporsi yang sebenarnya.

Agar tidak terjadi bias pemahaman terhadap penggunaan istilah radikalisme, apalagi dikaitkan dengan keagamaan, maka radikalisme yang dimaksud dalam tulisan ini adalah radikalisme  negatif-destruktif yang tidak ada kaitannya samasekali  dengan agama. Agama seringkali hanya dijadikan alat untuk melegitimasi tindak kekerasan yang sejatinya tidak terkait dengan persolan agama. Karena agama memiliki daya dorong yang sangat kuat untuk menggerakkan ruhul jihad, agama terkadang ditarik sebagai api penyulut ambisi umat beragama dalam meraih kepentingannya.

Di sinilah umat beragama seringkali terjebak pada bias yang tidak bisa membedakan antara kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya yang dibungkus agama atau hanya sebatas vested of interest elit-elit tertentu.

Secara historis, mission sacre disyariatkannya sebuah agama adalah untuk menyelesaikan problem kemanusiaan universal dengan menebarkan nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kebenaran. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Moral values yang dibawa dalam misi kerasulan Muhammad inilah yang harus dijadikan pedoman umat Islam dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.

Bertolak dari hadits di atas, melakukan tindak kekerasan berdalih memperjuangkan kepentingan agama berarti menistakan misi kenabian Muhammad. Bagaimana mungkin kita bisa memuliakan Alloh dan kerasulan Muhammad apabila kita tidak bisa mamatuhi nilai-nilai ajaran yang disyariatkannya. Menebarkan ujaran kebencian dan melakukan perilaku kekerasan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah sama halnya dengan membenci Allah sang maha pencipta.

Bagi umat Islam yang konsisten mengikuti jejak kerasulan Muhammad harus yakin bahwa pada dirinya mengemban tugas kenabian. Ada tugas kenabian ulama, tugas kenabian agamawan, tugas kenabian politisi, tugas kenabian birokrat, tugas kenabian petani dan lain sebagainya. Kesemuanya itu mesti merujuk pada moral universal yang disyariatkan Islam yang mengedepankan prinsip toleransi, saling menghormati, menghargai dan tidak saling menistakan harkat-martabat kemanusiaan.

Berkembangnya paham radikalisme yang mengatasnamakan agama di Indonesia, menurut hemat penulis tidak lepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu faktor yang ikut berkontribusi terhadap pemahaman dan aksi radikalisme agama adalah pendidikan. Karena melalui pendidikan inilah pemahaman, sikap dan tindakan seseorang dibentuk dan mendorongnya untuk melakukan segala tindakan sesuai dengan karakter dalam dirinya. Sehingga lembaga pendidikan apa pun jenisnya memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan paham dan tindakan radikal menagatasnamakan agama. Dalam perspektif ini lembaga pendidikan berkewajiban memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa kebhinekaan dalam hal suku, ras, dan agama adalah sunatullah. Kenyataan ini yang harus diterima sebagai realitas sosiologis bukan sebuah kesalahan atau pun dosa asal.

Tugas umat beragama hanyalah menyampaikan risalah tersebut dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan dan tidak memaksakan kehendak. Persoalannya adalah apakah ajakan kita untuk kembali ke jalan yang benar terhadap paham yang kita yakini salah atau menyimpang tersebut diterima atau ditolak, bukan menjadi domain manusia untuk ikut campur di dalamnya. Jika kesadaran ini telah dimiliki seluruh umat beragama tentunya tidak akan terjadi pemaksaan kehendak dan truth claim sepihak disertai aksi-aksi kekerasan yang bisa merusak harmonisasi kehidupan antar umat manusia. Pada giliranya kekerasan akan dibalas dengan kekerasan dan kebencian akan dibalas dengan kebencian.

Untuk mengurai akar persoalan tersebut, strategi pendekatan pemerintah yang cenderung mengunakan pendekatan scurity approach dengan mengandalkan kekuatan senjata sudah saatnya direposisi ulang dengan melibatkan CSO (Civil Siciety Organization) dan mengintensifkan dialog. Aksi terorisme akibat dari radikalisasi pemahaman agama tidak bisa diberantas hingga keakar-akarnya dengan cara pre-emptive action. Cara seperti ini justru memunculkan terorisme baru karena menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Jika cara semacam ini terus dipertahankan berlanjut di Indonesia, maka militansi para teroris akan semakin bertambah. Akibatnya, mereka akan semakin brutal dalam melakukan aksi kekerasan.

Setiap radikalisme yang dilawan dengan radikalisme justru akan menjadi pendulum dari ekstrim satu ke ekstrim lainnya. Radikalisasi hanya dapat diredam dengan moderasi yang melihat radikalisme bukan hanya dari sisi gerakannya saja tetapi juga dari sisi ide dan pikiranya. Solusi yang ditawarkan pemerintah melalui program deradikalisasi dirasa tidak akan bisa menyelesaikan masalah dan mengurangi efek lahirnya radikalisme baru. Akibatnya ekstrimisme baru selalu bermunculan dan masalah radikalisme atas nama agama hingga saat ini tak pernah kunjung usai. Wallohu a’lam bi al-showwab

Catatan: artikel ini pernah dimuat di Kolom Radar Tulungagung (Jawa Pos Group), Jumát,26 Mei 2017.

Artikel Baru

Artikel Terkait