Pada hari ketika saya mendapat kabar rencana roman sejarah Bumi Manusia—sekuel pertama Tetralogi Buru—bakal difilmkan, dan hari-hari sesudahnya itu, ruang media sosial dipenuhi komentar dari kaum netizen soal penahbisan Iqbaal “Dilan” Ramadhan oleh Sutradara Hanung Bramantyo sebagai pemeran tokoh utama Minke, saya seperti sesosok makhluk asing yang kesasar di sebuah tempat, jauh dari hiruk-pikuk perbincangan tersebut.
Tidak ada tanda-tanda alam samasekali dari orang-orang di sekitar saya untuk merespon hal itu. Sepi. Sama sepinya dengan saya, yang cuma plonga-plongo baca berita berikut jibunan komentar terkait itu. Hasrat agar saya bisa membawa topik tersebut ke ruang nyata hanya tinggal harapan.
Orang-orang yang saya maksud ini adalah kawan-kawan seperjuangan, yang saban malam kerap menghabiskan waktu di warung kopi langganan, yang belakangan hari lantas membuat akun grup whatsapp, saking ngebetnya pengen terus bersama. Bicara militansi dan loyalitas kepada warung kopi ini, tidak ada yang bisa menandinginya.
Saya kira, jika suatu waktu nanti kami membentuk sebuah wadah, semacam FPI atau FBR begitu, bukan tidak mungkin, kami juga akan punya peluang untuk mengajukan proposal THR kepada perusahaan yang ada di sekitarnya.
Sayangnya, kesamaan idealisme—izinkan saya menyebutnya begitu—hanya berlaku untuk urusan nyruput dan ngudud. Selain itu, kami, dalam hal ini saya dengan kawan-kawan, tidak lebih hanyalah manusia-manusia yang sibuk ber–misuh-misuh ria. Ya, saya jadi pandai misuh akibat diasingkan seorang diri di tengah aktivitas permisuhan mereka dengan game player di perangkat gawainya (gadget). Sungguh, betapa brengsek-nya mereka.
Sebagai manusia yang sejak awal gagal berkompromi dengan permainan berbasis teknologi tersebut, saya betul-betul merasa dialienasikan oleh keadaan. Obrolan-obrolan ringan yang sebelumnya akrab terjadi setiap saya di warung kopi, perlahan namun pasti, mengalami penurunan intensitasnya, seiring munculnya Mobile Legend dan game tembak-tembakan yang entah apa namanya itu.
Kalau tidak salah perkiraan, kawan-kawan ini memperbarui jenis ponselnya menjelang akhir 2017 silam. Game berjamaah ini baru ramai belakangan ini. Warung kopi jadi medan pertempuran, kopi jadi amunisi, dan saya jadi korbannya.
Sejujurnya, saya tidak menghakimi kawan-kawan yang sudah saya daulat sebagai saudara meski tidak sedarah ini. Seperti halnya saya yang menyukai bacaan, mereka tentu bermain game tersebut lantaran suka. Itu pilihan yang menjadi hak masing-masing orang. Tidak ada satu pun alasan untuk melarang kebebasan seseorang selama kebebasan tersebut tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan orang lain. Aseeeeek…..
Namun, walau bagaimanapun juga, kebebasan yang dimiliki itu tetap butuh dikendalikan untuk menghindari terjadinya salah persepsi dan salah paham. Dalam hal ini, bermain game di tempat yang bukan semestinya, secara tidak langsung menimbulkan salah persepsi dan salah paham dari saya, terutama. Sa pung hati ni sakit deng kalian pung cara tu, kawan.
Ngomong-ngomong soal salah, tempo hari, ada yang berencana melakukan aksi demo ke Kedutaan Besar Spanyol, gegara perkara final Liga Champions, Liverpool versus Real Madrid. Meski akhirnya dibatalkan setelah dirisak ramai-ramai oleh netizen, tapi cukup membuat heboh publik. Bukankah itu karena salah? Eh, salah, ya? Salah yang itu, kan, ‘S’ nya pakai huruf besar, merujuk pada sosok Mohamad Salah, pemain Liverpool itu.
Kembali ke topik. Keasyikan bermain game ini, secara tidak langsung, memengaruhi seseorang terjebak dengan dirinya sendiri dan mengabaikan realitas di sekitarnya. Menurunnya suasana keakraban antarsesama terjadi manakala masing-masing dari kita sibuk menekur diri dengan gawai di genggaman, seolah-olah dunia ini hanya tinggal kita seorang.
Bukan bermaksud memaksakan kehendak, sebenarnya. Tak apalah, bermain game. Tapi jangan di warung kopi, dong. Kan, kita datang mau ngopi sambil cerita ngalor-ngidul. Masih banyak hal yang sebaiknya bisa kita lakukan tinimbang ber-hohohihek sendiri dengan gawainya. Kenangan itu mahal, kawan. Masing-masing kita, nantinya akan kembali ke tempat tinggal di mana kita berada. Momentum kebersamaan seperti ini mahal harganya. Kalian mau, pulang ke kalian punya rumah, yang kalian cerita nanti cuma soal game sialan itu? Kan tidak. Jarene kanca seperjuangan. Piye, ta?
Baiklah. Anggap saja, ini sebentuk kegelisahan yang datang dari saya, yang mungkin terlalu over perfeksionis dalam memandang sesuatu. Tapi percayalah. Kalau bukan karena sayang, mustahil saya melakukannya. Serius ini!
Jadi, kawan-kawan, saya bukan ingin membatasi kesenangan kalian dalam bermain game. Kita sudah bersepakat dalam hati, warung kopi yang kita cintai itu punya punya makna penting dalam hidup kita selama ini. Merawat kenangan itu penting. Kita sudah punya modal untuk itu. Saya sendiri, dengan prinsip ndesa yang saya anut, sampai kapan pun, saya akan tetap berlindung kepada bacaan dari godaan-godaan game yang terkutuk. Takbir!