Trenggalek Kota Pensiunan (?)

Kata pensiun jika merujuk KBBI, berarti seseorang yang tidak lagi bekerja karena masa tugasnya sudah selesai. Sedang jika merujuk wikipedia, diartikan agak lebih luas: seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan, ataupun atas permintaan sendiri (pensiun muda). Menariknya, meski saling menguatkan, jika merujuk dari kedua sumber, sumber yang terakhir (wikipedia) menyebutkan kata “usia dan pemberhentian”.

Orang yang bekerja, dalam pengertian sempit bisa disebut sebagai pegawai, pekerja atau buruh. Jika pembaca tidak menyukai penyebutan tersebut (misalnya bagi guru PNS yang lebih menyukai disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa) silakan protes ke wikipedia yang dengan sengaja memasukan kata “diberhentikan”.

Pegawai memang tidak memiliki daya untuk tidak diberhentikan ketika usianya sudah tidak lagi produktif. Maka dasar ini menjadikan boleh jika disebut seperti itu, kendati, aktivitas bekerja ini tidak mesti diartikan sebagai pegawai, namun dalam konteks lebih luas, bekerja bisa saja dipahami sebagai aktivitas apapun.

Nah sekarang mari kita telusuri lebih jauh tentang penyebutan pensiun, dalam hal ini saya ingin mengajak pembaca menyamakan presepsi bahwa sebutan pensiun hanya untuk pegawai, dan yang disebut sebagai pegawai di antaranya adalah PNS pada umumnya, ahli peneliti dan peneliti, guru besar/profesor, dosen, guru, Polri, TNI, dan pekerja/buruh. Dari masing-masing kategori jenis pekerjaan, memiliki aturan jelas yang mengikat batasan usia sehingga layak dipecat  dipensiunkan. Supaya lebih mudah, silakan pahami tabel di bawah ini:

usia pensiunan
Sumber: https://gajimu.com/tips-karir/kiat-pekerja/batas-usia-pensiun-pns

Pembaca yang budiman, batas usia produktif yang kita miliki ternyata telah digeneralisir oleh berbagai aturan. Secara tersirat disebutkan bahwa orang sudah tidak lagi produkti jika sudah memasuki usia 60 (usia rata-rata dari tabel di atas). Jadi, ini adalah sesuatu yang telah umum bahwa, ketika manusia telah berada pada usia tersebut, perusahaan atau instansi atau lembaga tertentu tidak lagi menganggap orang tersebut layak untuk dipertahankan dan diberi gaji karena telah masuk masa lemah dan layak diberhentikan (dipensiunkan). Mungkin gambaran secara kasar bisa dipahami seperti itu, terlepas apakah Anda suka atau tidak.

Lalu jika dikaitkan dengan konteks Trenggalek, mungkin ada hubungannya ketika merujuk pada banyaknya sebutan yang diberikan kepada Trenggalek sendiri, di antaranya Trenggalek adalah Kota Pensiunan. Dari ungkapan tersebut, jika dilihat dari alasan kenapa disebut begitu, lebih ditujukan dari banyaknya anggapan bahwa potensi Sumber Daya Manusia Trenggalek yang ketika masih produktif memilih untuk tidak tinggal di Trenggalek dan baru kembali ketika mereka sudah tidak produktif lagi.

Tentu alasan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menggeneralisir atas kenyataan sebenarnya, karena masih banyak sumber daya manusia yang tetap memilih bertahan di Trenggalek, baik ketika ia produktif maupun ketika tidak lagi produktif. BPS menyebutkan bahwa usia produktif manusia adalah antara 15 s/d 65 tahun, di bawah dan di atas angka tersebut disebutkan sudah tidak lagi produktif. Namun untuk melegitimasi nafsu penulis dalam persoalan penyebutan usia tidak produktif, berdasarkan prasangka penulis bahwa usia dibawah 15 tahun dan usia 60 tahun ke atas bisa disebut sebagai usia tak produktif.

BPS Trenggalek pada tahun 2017 telah merilis data “Trenggalek dalam Angka” yang di antaranya menyebutkan jumlah penduduk Trenggalek yang diklasifikasikan berdasarkan usia. Dari data tersebut, bisa dijelaskan bahwa usia penduduk Trenggalek di tahun 2016 sejumlah  773.926. Usia antara 0-14 tahun sejumlah  144.474 jiwa. Usia 15-59 sejumlah  507.151  dan usia antara 59-75 tahun sejumlah  122.301 jiwa. Dan mari hitung, berapa jumlah manusia yang dianggap tidak produktif lagi. Total dari usia tak produktif (antara 0-14 dan usia antara 59-75) adalah  266.775; dan usia produktif sejumlah  507.151. Supaya lebih paham tentang perbandingan ini, silakan melihat kue chart di bawah ini:

Perbandingan usia produktif dan usia tidak produktif di Kabupaten Trenggalek Tahun 2016 | Sumber: BPS Trenggalek: Trenggalek Dalam Angka 2017
Perbandingan usia produktif dan usia tidak produktif di Kabupaten Trenggalek Tahun 2016 | Sumber: BPS Trenggalek: Trenggalek Dalam Angka 2017

Jangan langsung menyimpulkan bahwa besarnya jumlah manusia produktif di Trenggalek yang biasa disebut sebagai bonus demografi lantas berimbas pada tingkat ekonomi. Jangan menyimpulkan ke sana, karena saya sedang tidak membicarakan hal itu.

Persoalannya adalah bahwa dari banyaknya usia produktif yang ada di Trenggalek, memunculkan pertanyaan baru bagi saya, apakah benar bahwa orang-orang produktif yang tercatat di Dinas Pencatatan Sipil Trenggalek benar-benar ada di Trenggalek? Atau mereka hanya tercatat namanya saja tapi jasad-nya tidak ada di Trenggalek dan baru kembali setelah mereka tidak lagi produktif.

Pertanyaan ini memotivasi saya untuk mencari data yang mencatat tentang itu. Namun, motivasi itu menjadi pesimisme belaka ketika mendapatkan keterangan dari salah satu kenalan yang ada di BPS Trenggalek, bahwa tidak ada data yang menyebutkan perpindahan manusia Trenggalek tanpa memindah KTP-nya. Ini menjadi misteri dan mengubah saya untuk berpikir sedikit nakal.

Tesis saya sekurangnya ada 4—meski nanti masih bisa ditambah:

  1. Orang-orang Trenggalek usia produktif yang KTPnya tercatat di Trenggalek sebagian besar tidak berdomisili di Trenggalek.
  2. Orang-orang Trenggalek usia produktif yang berada di luar Trenggalek membawa misi pribadi berupa pendidikan (ketersediaan lembaga pendidikan) dan ekonomi (ketersediaan lapangan pekerjaan).
  3. Orang-orang Trenggalek yang berada di luar Trenggalek, akan kembali ke Trenggalek setelah mereka tidak lagi produktif.
  4. Orang-orang Trenggalek yang kembali ke Trenggalek, sebagian karena alasan kepentingan politik.

Faktanya, data legal untuk menjawab tesis tersebut tidak tersedia, dan untuk membuat anti-tesis diperlukan biaya, pemikiran dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga saya memilih untuk menyebutkan contoh-contoh alasan yang saya rasa dapat menguatkan tesis saya tersebut. Misalnya Pulung Nawawijaya, dia adalah orang Trenggalek jika merujuk pada KTP yang ia punya, tapi ia hanya menjadikan Trenggalek sebagai tempat pulang, bukan tempat mengimplementasikan produktivitas-nya, sehingga ia bisa dijadikan sebagai contoh. Karena ia lebih banyak menghabiskan waktu di Surabaya.

Mas Emil Dardak dan Mas Arifin bisa dijadikan sebagai contoh untuk menjawab tesis yang ke empat, meski pada akhirnya Mas Emil pergi lagi dari Trenggalek karena kepentingan di wilayah provinsi lebih menggiurkan ketimbang di Trenggalek. Toh masih ada Mas Ipin yang hingga saat ini masih komitmen untuk menghabiskan masa sumpahnya menjadi wakil bupati.

Prof. Unti Ludikdo, Dr. Naim, Dr Susilo, termasuk Misbahus Surur (editor portal ini), adalah orang-orang Trenggalek yang memilih untuk menjadi pengajar di luar Trenggalek karena tidak adanya ketersediaan kampus yang selevel atau cocok dengan bidang keilmuan mereka di Trenggalek. Khusus untuk Surur, masih sering pulang-pergi Trenggalek-Malang, dan membagi waktunya untuk dua tempat. Begitu pula dengan para migran asal Trenggalek, mereka bekerja di luar Trenggalek karena faktanya tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia di Trenggalek.

Namun yang harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan adalah, janganlah data-data tersebut lantas menjadi alasan berpikir bahwa Trenggalek harus dibangun menjadi kota metropolitan dengan segala program pembangunan yang belum tentu ramah pada (lingkungan) Trenggalek.

Trenggalek Kota Pensiunan  

Ternyata, Trenggalek diminati sebagai tempat menghabiskan masa pensiun, mungkin karena ada sisi historis dari orang-orang yang lahir di Trenggalek yang menjadikan mereka kembali lagi ke tempat di mana ia dilahirkan. Tentu ini harus dihargai. Karena dari sisi tempat, Trenggalek jelas merupakan tempat yang baik untuk menenangkan diri. Itu bisa dinilai dari keadaan yang bukan metropolitan lagi tidak ndesa-ndesa amat. Tidak banyak polusi, tidak terlalu hiruk pikuk dan harga makanan pokok masih relatif murah jika dibandingkan kota-kota besar.

Maka, gagasan untuk menjadikan Trenggalek sebagai Kota Pensiunan sesungguhnya bukan kegilaan berpikir, melainkan lebih dimotivasi dengan keberadaan yang real menyatakan bahwa banyak orang tua yang semula memilih menghabiskan masa produktifnya di kota lain, lantas akhirnya kembali lagi ke kota ini.

Ini harus didukung, karena filosofi pembangunan tidak melulu berpihak pada para pendukung waktu pilkada, tapi harus menyeluruh pada setiap warga negara. Para orang tua yang come back ini sepatutnya disambut (seperti layaknya menyambut IKAT) dengan baik, serta disediakan lingkungan yang baik.

Maka, tidak lagi menjadi penting upaya pembangunan yang dianggap  bakal menaikkan sektor ekonomi masyarakat Trenggalek seperti halnya Pelabuhan Teluk Prigi dan juga Trenggalek Smart City. Karena setelah semua serba metropolitan, tidak ada lagi daya tarik Trenggalek di mata para pensiunan. Dan kebalikan dari itu, Trenggalek akan menarik bagi para investor belaka. Lalu apa bedanya dengan kota lain?

Artikel Baru

Artikel Terkait