Mendengar dan melihat orang bekerja di laut selalu menarik untuk saya kisahkan. Sebenarnya sudah banyak cerita tentang nelayan pesisir Prigi yang saya tulis di nggalekdotco ini. Namun cerita itu hanya sepenggal-penggal saja dari aktivitas yang berada di Dermaga Prigi. Banyak kisah-kisah yang belum terekam dan terabadikan lewat tulisan. Untuk itu, saya memiliki keinginan besar untuk menulis kisah-kisah tentang laut dan barangkali para nelayan tak perlu tahu tentang kisah ini.
Salah satu profesi sebagai nelayan yang posisinya vital demi keberlangsungan nelayan yang lain dengan perahunya sebagai transportasi untuk mengais rezeki di tengah laut adalah ABK (Anak Buah Kapal). Namun untuk sebutan lokal Prigi adalah tenaga dan penguras. Namun kali ini saya hanya fokus pada para penguras saja. Jika Anda tahu, seseorang yang bekerja sebagai penguras maka mereka berpenampilan dan berkulit beda dengan ABK yang lain seperti tenaga (baca: tenogo).
Penguras merupakan salah satu kerjaan nelayan yang tidak memiliki kewajiban ikut serta dalam pencarian dan perjuangan menangkap ikan saat di laut. Mereka jadi ‘tukang repot’ terkait ubo rampe perahu dan bersih-bersih (nguras) serta jadi mekaniknya.
Saya memiliki banyak kenalan yang berprofesi sebagai nelayan dan berposisi sebagai penguras. Setiap harinya mereka bekerja di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Prigi. Pekerjaan yang bisa dibilang lumayan berat dibanding ABK yang lain (tenaga). Sebab pada saat sedang tidak musim ikan, penguras tetap bekerja dan bertanggung jawab dengan segala kondisi. Mulai dari dandan perahu sampai nguras, ketika hujan datang. Lebih berat lagi ketika hujan turun dan ikan sedang tak musim, dan hujannya di malam hari. Ia harus bangun malam dan berangkat ke laut. Sementara nelayan yang lain tengah terlelap dalam buaian nyanyian malam.
Untuk menjadi seorang penguras dibutuhkan keterampilan seperti pengetahuan permesinan dan ubo rampe lainnya yang ada di darat serta stamina yang lebih. Tidak harus jadi chief engineer untuk jadi seorang mekanik penguras. Mereka juga harus memiliki etos kerja yang tak kenal waktu dan pantang mundur dengan sengatan terik Matahari. Juga tak jijik dengan bau anyir dan air yang bercampur darah ikan dan ikan busuk serta bercampur oli. Yang penting lagi adalah harus siap dan tahan dengan omelan dari teguran dan gunjingan dari rekan seprofesinya.
Ia adalah Rizal Setiawan. Ia lahir 29 tahun yang lalu. Sejak kecil hingga dewasa, ia tumbuh dan besar di Pulau Dewata dan tanah Raas. Kini, ia kembali di tanah kelahirannya, di Tasikmadu. Rumahnya yang berada di dekat pantai dan lingkungannya sebagaian besar berprofesi sebagai nelayan, memungkinkan untuk jadi seorang nelayan yang banyak menampung informasi tentang keluh kesah nelayan. Ia cepat sekali mendapatkan tawaran dari melobi beberapa kenalannya.
Kemudian ia ditawari jadi seorang penguras di salah satu Kapal Motor (KM). Sebelum mengawali kariernya sebagai penguras, ia pernah ngadim di beberapa perahu. Curriculum vitae sebagai tukang ngadim di perahu-perahu sudah tak bisa ia hitung. Kariernya sebagai seorang penguras diawali dari ikut perahu KM. Artomoro (saat itu tulisan ini belum selesai ditulis).
Saat musim ikan di petengan malam, ia biasanya mulai pukul 4 pagi bahkan cangkruk semalam suntuk di dermaga pelabuhan bersama teman-teamannya. Sebelum perahu yang diharapkan membawa sejuta ikan yang ada di perahu jonson, ia biasa menunggu di tempat yang nyaman. Saat itu ia berada di bawah pohon waru. Namun kini tempat itu sudah tidak dipakai lagi. Dulu tempat ini merupakan tempat favorit para penguras sebelum mendapat kabar dari juragan laut maupun mantho dari tengah laut perihal hasil tangkapan. Tempat ini berada di sisi paling barat dari bebatuan dermaga.
Tidak hanya para penguras saja yang menunggu kedatangan perahu nelayan dari tengah laut, pengurus keranjang, mbok bakul serta para istri ABK pun turut meramaikan tempat pelelangan ikan. Para istri itu mengamini perahu yang ditumpangi para suaminya itu membawa ikan dengan jumlah banyak, berpuluh-puluh keranjang.
***
“Kae kang! Perahuku wes ketara saka kadohan,” ujar Rizal dengan logat Raas campur Bali dengan nada terbata-bata memakai Bahasa Jawa kepada penguras lain.
“Kayak e perahumu oleh, Kang. Sida mangan sate di warung Markaban tenan iki,” sahut penguras perahu lain bernama Agung.
“Koclop perahumu, cat meni-meni-ne nggak ketara tulisan papan nama perahu. Jenenge Artomoro ilang,” kata penguras Sagita bernama Pak Ato.
Beberapa penguras itu sedang menunggu perahu Artomoro. Sebagaian besar dari penguras itu merupakan penguras di KM. AMOR (Artamoro). Selain Rizal, yang bekerja di Kapal Motor Artamoro itu ada Pak No dan Mas Nanang. Mereka saling bahu membahu mengurus perahu, yang jadi sandaran dari mata pencahariannya sehari-harinya.
“Hahaha… wes gampang engko, Kang. Sekeranjang wes cukup gawe nyanyi nang kafe,” pungkasnya sambil tersenyum kegirangan.
***
Rizal, Pak No dan Nanang, bergegas menuju dermaga pelabuhan. Mereka memastikan parkir perahu sebelum para tenaga itu mendarat di dermaga dengan baik. Sesampainya di bibir dermaga, biasanya para tenaga menangkap jaring yang dimodifikasi sedemikian rupa dari para pemikul. Para penguras itu bersiap-siap selama bongkar muat ikan. Salah satu dari mereka, Pak No, mendekati perahu dan menangkap tali jangkar yang dilempar oleh salah satu ABK perahu. Ia menalikan tali jangkar di salah satu beton jangkar sebelum perahu benar-benar berhenti di dermaga.

Namun sebelum ikan itu diangkat dan dipikul di pelabuhan, para nelayan yang berada di perahu jonson sudah menaruh ikan di atas keranjang di tengah laut. Selesai ‘adah-adah’, perahu tersebut sepertinya menuju dermaga TPI (Tempat Pelelangan Ikan).
Sebelum ada alat komunikasi seperti sekarang, dulu para nelayan harap-harap cemas dan menunggu di dermaga tentang kabar yang berada di tengah laut. Mereka tidak berani ke mana-mana selama kabar dari perahu itu belum mereka dapat. Mereka menunggu tidak hanya sendirian, mereka biasa bercengkerama bersama pengurus keranjang, mbok bakul nasi, bakul kacang rebus, bakul rombeng bahkan para anak kecil yang biasa seliweran di antara perahu-perahu itu. Tidak hanya itu, istri dan anak dari para ABK tadi juga ikut menunggu di pelelangan.
Di sini transaksi jual-beli harga ikan dimulai. Sering harga ikan tak sesuai dengan harapan para pencari asa yang harus meninggalkan anak dan istri, menghadang besarnya gelombang laut selatan. Sudah menjadi hukum alam, di saat stok begitu banyak, di situlah harga sangat murah. Di saat lagi murah ikan, harga satu kantong besar dihargai 50 ribu sampai 75 ribu. Belum lagi menggunakan tenaga jasa pemikul ikan yang dihargai 5-20 ribu rupiah saat musim ikan banyak.
***
“Daripada kayak gitu, mending bantu-bantu sini! Pegang-pegang pompa, biar dapat keringat! Nanti kalau dapat ikan dapat bagian!” kata seorang pemuda berkulit sawo matang kepada saya.
Setelah itu, salah satu penguras bernama No bertanya kepada Juragan Laut perihal mesin perahu tersebut.
“Piye, Kang? Apa seng rusak mambengi?” tanya pak No yang sudah lama bekerja jadi penguras di perahu ini.
“Presnelenge (gigi transisi) iku rewel!” jawab juragan laut.
“Laine apane seng rewel, kang?” kata Rizal.
“Manukku!” seng rewel, Zal. Sewengi kademen!” celetuk juragan laut dengan nada guyonan sedikit porno dan suasana sedikit cair.
“Wes. Ngko bengi nyanyi nang Kafe, Kang!” sambung penguras lain, bernama Nanang.
“Hahahaha…
Senyum pun pecah setelah selama transaksi jual-beli tadi sang juragan laut marah-marah ketika terjadi keanehan dengan harga jual ikan yang sangat murah.
***
Di sini defisit nelayan sering terjadi. Antara sangu me-layar (jajan dan bekal di tengah laut) dan pendapatan tidak seimbang. Setelah habis dibongkar untuk upah para ABK (tenaga) dan juragan darat, sisanya untuk para penguras yang bekerja membersihkan perahu tersebut dan dibagi para penguras, antara 8-10 keranjang saat musim ikan. Setelah ikan bersih dari atas perahu. Tibalah saatnya untuk bersih-bersih kotoran ikan yang busuk, bercampur darah ikan yang amis dan bercampur air laut dan oli yang sudah mengendal. Tanpa takut terik sinar matahari, mereka bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan perahu serta memastikan stok BBM aman untuk kebutuhan perahu tersebut.
Satu dari penguras tersebut ada yang ditugaskan wira-wiri membeli onderdil-onderdil perangkat mesin yang rusak. Dengan tubuh dan pakaian compang-camping dan berlumuran oli, nampak sekali di antara mereka tidak ada rasa sedih, berat hati maupun marah. Mereka melakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan ikhlas.
Tidak cukup di situ saja, pekerjaan yang dilakukan oleh para penguras itu, mereka juga memastikan stok BBM untuk keperluan bahan bakar perahu. Kita bisa bayangkan, saat stok BBM langka, mereka harus mencari ke luar kabupaten. Itu soal langkanya, beda lagi saat harga BBM mahal, mereka juga ikut memutar otak supaya pengeluaran bisa ditekan. Ketika harga BBM mahal dan harga ikan anjlok, tentu hal ini sangat tidak menguntungkan bagi para nelayan, khususnya nelayan yang hanya mengandalkan tenaga manusia dari hasil tangkap ikan tersebut.
Senja pun mulai tak tampak. Para ABK (tenaga) kini sudah berdatangan lagi ke dermaga. Para tenaga itu pun sudah siap untuk melaut dengan membawa ambisi yang kuat. Para nelayan sudah siap di atas perahunya masing-masing. Perahu pun meninggalkan dermaga dengan lambaian tangan para pengantar; istri dan anak berteriak dalam hati semoga besok dapat ikan yang banyak, ya! []