Wajah Kampung Halaman

Ketika mencoba mencari “wajah” tentang kampung, saya terbawa pada beberapa tempat yang pernah saya tinggali. Apakah kampung itu seperti desa saya di dekat pantai (di pesisir Munjungan); atau seperti desa sewaktu saya mondok dulu: Desa Joresan, Ponorogo. Mungkin model pedesaan di pinggiran kota, seperti saat saya kuliah (sekitar Desa Joyosuko dan Merjosari, Kota Malang) atau barangkali seperti tempat di mana saya sering mondar-mandir sejak beberapa tahun lalu (di sekitar Kota Trenggalek).

Desa yang saya sebut pertama dekat perbukitan-pegunungan bersanding pesisiran (kemungkinan komposisi penduduknya sebagian abangan, sebagian santri—lebih jauh lagi harus diteliti). Kedua adalah desa agraris di dataran tapi cukup jauh dari perkotaan, dengan penghuni mayoritas masyarakat santri. Yang disebut ketiga dekat dengan perkotaan (kampung pinggiran kota) yang sebagian besar penghuninya adalah perbauran masyarakat urban dengan penduduk lokal. Sementara yang keempat, perkampungan di dalam kota yang rasanya seperti di desa (tempat hidup masyarakat santri sekaligus priyayi, mungkin juga sebagian abangan). Ini kalau meminjam tipologi—dari trikotomi—yang digunakan Clifford Geertz.

Dalam bahasa Melayu, kata kampung mulanya berarti ”tanah berpagar”. Jika pagar ditarik ke dalam, terdapat halaman, kebun-kebun, pekarangan dan tempat tinggal keluarga. Kerap juga di sana ditambahi mburitan (halaman belakang).

Menyinggung soal kampung, entitas ini, dalam banyak pembicaraan, kini sering dihadapkan dengan kata kota. Jika yang disebut terakhir—dalam sebagian teks-teks antropologi—ditujukan untuk penghuninya yang dianggap “beradab”; yang disebut di awal sering dikonotasikan sebaliknya: ruang yang penghuninya kurang berperadaban (kurang terdidik; kolot). Bahkan, seseorang pernah mengatakan, bahwa ”sekumpulan manusia dianggap memasuki tahap peradaban, sepanjang mereka sudah mengenal kehidupan perkotaan.”

Kendati begitu, kata kampung dan kota ini, tidak harus didudukkan salah satu sebagai lawan dari yang lain. Saat kita menyebut kampung sebagai wilayah tak beradab misalnya, rasa-rasanya, malah terdengar seperti ikut merayakan anggapan kaum kolonial terhadap orang-orang pribumi dulu, bahwa mereka adalah manusia tidak beradab. Dan, orang-orang Eropa-lah sebagai satu-satunya yang beradab.

Realitas Geografis

Sejak dulu, kampung-kampung itu punya cara (model) sendiri mengatur lingkungan, dinamika sosial, dan pergerakan ekonominya berdasarkan kekhasan wilayah dan letak geografisnya. Sebetulnya juga tak ada pembagian yang mutlak paling benar, antara mana yang mewakili dua ranah ini: sebuah perkampungan dan perkotaan, jika dilihat dari segi tata ruang, pemerintahan dan ikatan batin penghuninya. Lagi pula, perihal apa yang sebenarnya menarik dan unik dari kampung-kampung tersebut, sudah banyak kajian berbicara tentangnya.

Lalu—jika merujuk definisi di atas tadi—apakah kampung tak bisa mencapai tahap beradab seperti (per)kota(an)? Apa lagi, saat ini, banyak juga kota yang “tak beradab”, jika misalnya ukuran pemetaan serta ketentuannya diubah ke tahap dan kategori yang berkaitan dengan etika serta lingkungan yang ramah dan nyaman? Betapa pun, Kluckhohn, pernah membatasi sebuah masyarakat yang beradab/berperadaban, hanya pada kriteria (indikator) berikut: tulisan, bangunan monumental dan pemukiman dengan penduduk lebih dari 5.000 ribu jiwa. Kriteria yang, tentu saja, sangat teknis dan Baratsentris.

Meski bangunan monumental (berkaitan dengan urusan infrastruktur, properti kota dan lain sebagainya) menurut sebagian yang lain, tak perlu dijadikan kriteria utama yang menentukan. Pertimbangan-pertimbangan dalam lingkungan fisik (seperti kebersihan dan kenyamanan) serta nilai-nilai budaya, mestinya didahulukan.

Lebih dari semuanya, kampung-kampung itu—dengan sejumlah penghuninya yang berdiam di sana—sejak dulu masing-masing punya pranata dan kecakapan. Penghuninya menjalani urusan kesehariannya dengan segala yang baik dan luhur atau bahkan yang dianggap buruk dan rendah, lalu diturun-temurunkan (untuk ini tentu dipilih hanya yang luhung dan dengan sendirinya tamat-lah yang rendahan) oleh penghuni-penghuninya yang awal (nenek moyang), lalu dipertahankan, terutama karena karakter “arif”-nya.

Kita tahu, di setiap kampung terkandung local genius. Local genius secara kultural bisa menjadi bahan—selain membentuk identitas dan karakter kedaerahan, juga—untuk menyerap serta mengolah berbagai kekayaan budaya luar, yang datang memenetrasikan diri. Terlepas dari maksud dan kepentingan menyerapnya di awal, di masa lalu. Kita tahu bahwa asal-usul RT dan RW misalnya, bukan dari budaya desa-desa di Nusantara (kearifan lokal), melainkan aturan yang diperkenalkan oleh kolonialis (zaman Jepang), ketika memasuki Indonesia. Lama-kelamaan, konsep ini pun beralih-rupa dan terdarah-dagingkan ke dalam sistem administratif di Indonesia.

Ada pula pola kekerabatan di desa (atau kampung) yang dijalin secara, baik halus maupun kasar. Antara lain, dalam hal komunikasi yang digunakan sesama penghuni kampung dan atau antarkeluarga di sebuah kampung. Dalam satu keluarga misalnya, biasa terdapat seorang anak yang cara berkomunikasinya dengan ibu maupun pihak bapak, di mata orang yang biasa menggunakan bahasa halus, terlihat kasar dan kurang sopan. Tapi bagi mereka yang menjalaninya, tampak wajar belaka.

Pun ada dimensi-dimensi dari ikatan emosional dan moral, bahkan sentimental, yang berbeda antara orang serumah dengan lain rumah dalam lingkup tetangga. Begitu pula, terdapat nilai-nilai berbeda yang dibangun dari modal dan model kekerabatan dan keluarga yang menerapkan tradisi berbeda. Bahkan nyaris berseberangan: misalnya dalam hal bagaimana menghormati dan cara berkomunikasi dengan orangtua tadi; bagaimana memandang dan mengajak mereka bicara, dengan ikatan batin antarpenghuni rumah yang kelihatan harmonis maupun kurang harmonis.

Meski, pada akhirnya, sering terdapat ikatan emosional yang lemah pada mereka yang kehilangan ikatan akan rumah (kampung halaman) beserta segala isinya. Atau tak mampu membangun kenangan dari masa kecil dengan koleksi seabrek keriangan dan kejahilan di masa itu ketika sudah memasuki usia dewasa atau tua. Rasanya, secara pribadi, saya juga tak pernah hidup di kampung halaman dalam waktu lama (sejak kecil hingga gerang), karena di masa kecil saja-lah saya tinggal di kampung halaman, selebihnya banyak dihabiskan di beberapa tempat, yang bukan kampung sendiri.

Lepas dari tulisan selingan yang mampir ini, kampung maupun kota adalah dua entitas, akan tampak berbeda bila ada kebaikan-kebaikan yang senantiasa dapat ditambah kepadanya; atau malah penghuninya mewariskan sesuatu yang baik, untuk keberlangsungan hidup lingkungan dan manusia-manusia yang hidup di sana.

Artikel Baru

Artikel Terkait