Sepulang dari tempat mburuh, telepon genggam saya bergetar. Ia sengaja saya silent karena saking banyak chat di group Whatsapp. Kolom pesan tak langsung saya buka, bukan karena saya tak mau membalas. Namun karena saya ingin memberi kesempatan pada otak untuk relaksasi sejenak dan memanjakan tubuh di atas kasur.
Setelah kondisi badan dirasa fresh, saya pergi ambil air wudhu dan mendirikan salat. Sebelum salat, saya meraih smartphone yang berada di kasur. Dari layar terlihat banyak sekali chat masuk. Salah satunya adalah chat ajakan ngopi di angkringan depan Hotel Prigi. Tanpa pikir panjang, saya iyakan dengan balasan: sik tak salat.
Dengan tenaga yang tersisa, saya meluncur dengan baju yang sama dengan yang saya pakai tadi siang. Di sana sudah banyak anak muda dan teman saya yang ngajak ngopi. Tanpa rencana, kami menggelar tikar di atas trotoar. Di sebelah ada beberapa anak muda melingkar, duduk di atas trotoar beralaskan sandal. Lalu, seorang anak muda menghampiri kami dan menawari minuman yang akan kami pesan. Saya pesan susu jahe panas dan teman pesan secangkir kopi.
Katanya, ngopi kok yang dipesan bukan kopi? Itu pertanyaan yang sering keluar saat sedang ngopi. Secara tidak langsung, kita perlu merendahkan amarah kita tentang peng-istilah-an ngopi. Dewasa ini, ngopi merupakan sebuah ‘aktivitas’ yang mengarah pada proses dialektika yang hangat ditemani segelas minuman kopi. Lalu, apakah yang ndak suka kopi berarti tidak bisa ikut ngopi? Sebuah aktivitas dengan penuh kesederhanaan tanpa harus membeda-bedakan apapun sandingan dan unjuk-an (minumannya). Aktivitas ngopi tak pernah membatasi apapun kudapan dalam situasi ngopi tadi.
Selain saya sendiri tidak pesan kopi, di kanan kiri saya lirik ada beraneka pilihan menu minuman yang dipesan oleh anak muda itu. Meski tidak banyak yang pesan kopi, mereka masih tetap gayeng, bersahabat, guyonan dan malah terlihat cair. Ditemani dengan suasana malam yang penuh bintang. Desain warung kopi angkringan yang futuristik, dengan hiasan di dinding-dinding menambah suasana semakin syahdu. Tentu dengan harga yang bersahabat, dengan cemilan dan nasi bungkus bantingan yang pas di kantong mengantarkan pada penghujung malam.
Pernah suatu ketika, saya dan beberapa kawan berkunjung ke warung kopi. Kami menjumpai banyak meja penuh guyonan dan keceriaan dengan variasi suguhan mereka. Boleh kopi hitam, teh hangat, minuman sachetan maupun minuman mineral. Semua tidak akan membeda-bedakan.
Namun, sebuah aktivitas ngopi dan ngumpul bareng biasanya tak bisa dipisahkan dengan aktivitas ngudud. Dua senyawa ini merupakan senyawa yang saling melengkapi bagi para penikmatnya. Meski saya bukan perokok, saya tetap menghargai mereka yang ngopi sambil merokok. Ya, tidak akan ngedumel atau pindah tempat karena asap rokok tersebut. Lebih dari itu, gayengnya aktivitas ngopi dan kepulan asap rokok membumbung tinggi menjalin relasi satu sama yang lain.
Ngopi sejatinya tak sekadar minum kopi. Penyederhanaannya istilah ‘minum kopi’ menjadi ‘ngopi’ justru menunjukkan kompleksitas kegiatan tersebut. Di mana ngopi merupakan media ‘pemersatu’. Sepertinya ungkapan, orang-orang yang suka membuat onar itu kok kurang ngopi bareng ya?
Ngopi juga mampu mencairkan suasana, mendudukan perkara, meredam kesalahpahaman. Minimal menyatukan mereka yang betah melek dan ngobrol di meja yang sama. Ngopi melambangkan tingginya nilai-nilai persahabatan. Dialek ngopi sepertinya adalah dialek membongkar kerawanan-kerawanan diskusi, kebuntuan berpikir, kesalahpahaman dengan lawan bicara, bahkan kekeliruan mengambil keputusan.
Secara mental, ngopi mengondisikan kita untuk rileks. Ini sangat berbeda jika kita berada di ruang rapat atau tempat lain yang bersifat formal. Di kedai atau warung kopi, atribut pekerjaan tak begitu berarti. Kita adalah apa yang kita bicarakan. Tanpa embel-embel pangkat atau jabatan. dari berbagai latar belakang sosial, pendidikan dan pekerjaan.
Bahkan seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah mengolok-olok bangsa Jerman. Bahwa sebuah minuman mampu mempengaruhi ketjekatan dan dan ketjerdasan. Di mana orang-orang Jerman tidak mampu mengimbangi ketjekatan orang Prancis, peminum anggur.
Barangkali saja, kalau pada jaman dahulu sudah semasif sekarang budaya ngopinya, Nietzsche akan mengolok-olok bangsanya karena tidak minum kopi dan tidak memiliki budaya ngopi segayeng orang Indonesia ini.
Kita patut berbangga memiliki ragam kebhinekaan, yang masing-masing punya satu kesamaan, yakni ngumpul. Adanya ngumpul bareng, teman, saudara, kawan maupun lawan, jika tak ada unjuk-an terasa kurang? Kurang mencairkan suasana. Sehingga di kota, kedai kopi ber-branding menjamur di mana-mana.
Kreativitas yang sama juga muncul di daerah-daerah pedesaan meskipun dalam skala yang lebih kecil dan sederhana. Hal ini saya saksikan ketika sedang melakukan sebuah perjalanan dari Kabupaten Trenggalek atau kota besar menuju pedesaan (kampung halaman).
Yang jelas, sekian banyak bentuk usaha-usaha ekonomi kreatif yang bertumbuh di kalangan masyarakat pedesaan akan membentuk pribadi yang sebenarnya. Peradaban yang egaliter. Adanya tempat-tempat ngobrol yang tak perlu kemewahan. Intinya adalah, bagaimana kita diberi tempat untuk berekspresi, orang bertemu dan bertukar cerita satu sama lain.
Dan tidak dipungkiri, tempat-tempat ngopi maupun kafe mampu menopang intelektual tiap orang. Selain tempat minum, tempat-tempat itu juga memberi ruang ngobrol bagi banyak orang dengan berbagai latar.
Di Jakarta—hampir saja saya ikut NgoJak—, sebuah komunitas menggunakan istilah ngopi untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan turun jalan di sudut-susut Kota Jakarta. Ngopi bagi orang urban Jakarta (setidaknya menurut mereka) bukan sekadar minum kopi. Bagi mereka diartikan sebagai melakukan banyak kegiatan, seperti ngobrol-ngobrol, diskusi, sekadar berseloroh, atau kegiatan ngumpul lainnya. Bahkan mereka NgoJak (Ngopi di Jakarta) untuk menelusuri sudut-sudut Jakarta, mulai dari manusia, sungai dan masih banyak lagi. Lalu, kapan kamu ngajak ngopi saya?