Tulisan ini sekadar catatan perjalanan ringan. Memakan waktu 2 hari saja, sejak keberangkatan dari Trenggalek ke Sumenep hingga pulang lagi ke Trenggalek. Di sana, selain melihat-lihat, saya berdiskusi dan melakukan wawancara dengan orang-orang kompeten yang dilakukan secara terbatas. Rasanya sudah cukup memberi gambaran tentang geliat pariwisata di Sumenep yang menurut saya mengesankan.
Kamis pagi, 23 Agustus 2018, kami meluncur ke Sumenep dengan perjalanan darat. Ini kunjungan pertama saya ke kabupaten di ujung timur Pulau Madura tersebut. Tapi bukan karena ‘pandangan pertama’ itu pada akhirnya yang membuat saya terpesona dengan Sumenep–yang menasbihkan diri sebagai Soul of Madura ini. Sering kunjungan pertama ke suatu daerah tujuan wisata berakhir dengan kekecewaan tiada tara. Bahkan dibarengi sumpah serapah untuk tidak berkunjung lagi ke sana. Ada pula yang lebih runyam, kemudian menyampaikan ke yang lain untuk tidak perlu ke sana daripada kecewa.
Kunjungan pertama saya ke Sumenep dapat saya simpulkan dalam satu frasa klise: “kesan pertama yang menggoda”. Dan memang setelah itu terserah saya: saya berjanji untuk berkunjung kembali, untuk melihat destinasi wisata dengan lebih saksama sambil menikmatinya: melihat sudut-sudut yang tercecer dari kunjungan pertama.
Saya juga akan mengajak sanak famili, teman-teman atau orang lain untuk menyempatkan diri berkunjung ke sana. Syukur bisa menyesuaikan dengan kalender wisata yang membentang sejak awal sampai akhir tahun, dengan event-event yang disiapkan secara rapi, tidak serampangan dan “tidak mbonek” (khususnya urusan pembiayaan).
Karena perjalanan begitu santai, kami tiba di Sumenep pukul 21.00, dan karena itu langsung mencari sentra kuliner di seputaran kota sebelum check in hotel karena lapar. Saya mendapati suasana kota yang bersih dan nyaman. Pedagang kaki lima (yang di banyak tempat sering dianggap sebagai biang kerok kesemrawutan, kekumuhan dan sering diposisikan berhadap-hadapan dengan petugas Satpol PP) di sini tertata dengan rapi dan tertib.
Bahkan di beberapa titik terdapat sentra PK 5 yang teratur. Kami menuju sentra kuliner di dekat alun-alun kota dan menikmati ikan bakar. Suasana kota di malam hari tertib dan nyaman. Ruas jalan lebar dilengkapi pedestrian yang memanjakan pejalan kaki. Sampah visual berupa baliho, spanduk dan sejenisnya yang sedikit, merupakan kesan mempesona saya yang pertama.
Saya menginap di Muszdalifah Hotel, sebuah hotel di pinggiran kota pada ruas jalan utama Sumenep. Chek in hampir tengah malam. Oleh petugas kami diterima dengan pelayanan yang ramah dan bugar. Hotelnya sendiri bersih, penuh pepohonan dengan area parkir di dalam yang luas. Hal yang sama juga saya dapatkan sepintas pada banyak hotel lain di dalam kota. Nampaknya dari sisi akomodasi wisata, Sumenep sudah sangat siap menjadikan dirinya sebagai daerah tujuan wisata yang kompetitif.
Bukan itu saja, para petugas hotel juga memiliki komunikasi yang baik dengan pemerintah daerah. Hampir semua petugas hotel “ngeh” dengan agenda wisata pemerintah daerah. Termasuk menyampaikan informasi bahwa banyak biro perjalanan wisata yang siap memanjakan kita menyusun peket dan perjalanan wisata yang berkesan. Fakta di lapangan ini saya catat sebagai kesan mempesona saya yang kedua.
Ini adalah kunjungan resmi, karena itu saya difasilitasi oleh pejabat setempat. Setelah sarapan pagi saya dijemput di hotel. Sebenarnya saya sudah mewanti-wanti untuk langsung saja bertemu di kantor, tapi nampaknya tuan rumah punya pertimbangan sendiri. Tidak tanggung-tanggung 2 orang pejabat (eselon 2) sekaligus datang ke hotel. Bukan itu saja, mereka berdua menyampaikan bahwa Sekretaris Daerah akan menerima kunjungan kami (meski akhirnya tidak terjadi, karena beliau mendadak ada agenda penting). Tidak mengapa, karena niat baik dan care beliau saja sudah merupakan kehormatan yang tinggi bagi kami.
Setelah sarapan, percakapan yang hangat dan mengalir berlangsung di lobi hotel pagi itu. Suasana begitu akrab meski penuh rasa hormat. Di sela-sela obrolan ringan mereka juga menyelipkan informasi penting tentang wisata di Sumenep, termasuk agenda pokok tahun kunjungan wisata kabupaten: Visit Sumenep Year 2018 tahun ini.
Dua pejabat yang beda tugas tersebut bergantian menyampaikan berbagai agenda Visit Sumenep Year 2018 dengan fasih, dimulai sejak Januari sampai akhir tahun ini. Mereka juga menyampaikan round-down kunjungan dinas hari itu, yaitu: ramah tamah Sekretaris Daerah (tidak jadi dan diwakilkan ke Asisten I), Asisten Sekda dan Staf Ahli Bupati, kunjungan ke Dinas Pariwisata sekaligus paparan Kepala Dinas Pariwisata tentang Visit Sumenep Year 2018 dan program pariwisata 2019, diteruskan kunjungan ke beberapa obyek wisata. Dalam buku harian, ini saya catat sebagai kesan mempesona yang ketiga.
Hari masih pagi ketika kami diantar ke kantor bupati dan diterima Asisten Sekda yang hari itu nampaknya menyediakan harinya secara penuh untuk melayani saya sekaligus mengkoordinir kunjungan. Lalu lintas kota mulai ramai, orang pergi ke kantor atau tempat kerja, anak-anak sekolah, ibu-ibu ke pasar. Dalam suasana kota yang ramai tersebut, kami tidak mendapati truk sampah yang hilir mudik di antara kerumunan lalu lintas, seperti sering terlihat di kota lain.
Ketika suasana jalan ramai, maka kondisi sekitar jalan sudah bersih dan truk sampah berikut pasukan kuning sudah selesai bekerja. Tentu ini merupakan buah manajemen kota dan pengelolaan sampah yang berjalan dengan baik. Ini merupakan kesan keempat yang saya catat.
Kami tiba di kantor bupati sekitar pukul tujuh. Sebelum masuk ruangan, saya menyempatkan diri menikmati kenyamanan suasana pagi. Keteduhan pohon-pohon di seputar kantor bupati yang memang lapang dan tertata rapi. Tidak banyak orang di halaman (karena mungkin masih pagi?). Saya juga tidak melihat pos keamanan yang umumnya berisi banyak petugas dengan uniform Satpol PP yang formal. Hanya dua orang berseragam safari yang necis, mengatur mobil saya parkir dengan benar, dan mengantarkan saya ke pintu utama kantor. Di sana Asisten I sudah menyambut.
Secara keseluruhan saya memandang suasana kantor bupati sangatlah efisien dari sisi mobilitas staf dan mekanisme kerja. Tidak ada kesan “sibuk” yang berlebihan dan orang lalu lalang dengan muka ditekuk. Juga, jauh dari kesan “tidak terjangkau”, karena petugas keamanan pun tetap ramah dan tanggap.
Kami naik di lantai 2, ruangan asisten. Diskusi lebih formal dan substansial pun mengalir, meski tetap dalam suasana hangat dan penuh keakraban. Pertanyaan dan permintaan data serta informasi secara umum dilayani dengan senang. Semua pejabat yang menerima kami di ruangan itu seakan menyediakan waktu pada hari itu untuk saya. Tidak ada kesan bahwa mereka menjalankan agenda rutin yang cukup padat.
Saya memandang mereka sangat pandai mengatur waktu dan menyusun agenda kegiatan dan yang lebih penting semua sistem nampak bergerak dan bekerja dengan baik. Seperti itulah cara kerja birokrasi yang benar. Birokrasi itu dibentuk memang untuk menghasilkan efisiensi kerja dan pembagian kerja secara terstruktur dan sistematis dengan distribusi beban kerja yang proporsional. Tidak ada one man show. Fenomena ini begitu mengesankan ini adalah catatan saya kelima di buku agenda.
Di sela diskusi, kami menikmati hidangan yang tersaji: minuman dan kue-kue. Snack produk lokal yang enak. Ini juga saya dapati pada hidangan di hotel maupun warung-warung yang saya singgahi. Tidak semuanya memang, tetapi ada semangat untuk menjajakan produk lokal. Pembinaan atas pelaku ekonomi kerakyatan ini ternyata bisa menjadi kekuatan dan daya tarik wisata yang besar. Tidak saja produk makanan minuman, tetapi juga industri kreatif yang lain. Batik, keris dan beberapa souvenir wisata merupakan produk andalan industri kecil yang sedang gencar dikembangkan. Kesiapan pelaku usaha kecil ini merupakan kesan mempesona saya yang keenam.
Kami meneruskan kunjungan ke Dinas Pariwisata. Kami diterima langsung oleh Kepala Dinas dan beberapa Kepala Bidang dengan “sambutan yang renyah”. Untuk ukuran umum, sebenarnya kantor Dinas Pariwisata secara fisik tidaklah layak. Kantornya kecil dan bersebelahan dengan garasi truck sampah (menurut informasi memang kantor akan dipindah). Siapa nyana, dari kantor yang sempit dan “kumuh” tersebut ternyata tersembunyi bara semangat yang menyala-nyala untuk menjadikan sektor wisata sebagai sektor andalan dan pengungkit kesejahteraan masyarakat Sumenep.
Di dalamnya duduk banyak pemikir dan pekerja keras dengan sentral ada pada diri kepala dinas. “Sebagian besar tugas saya itu menggelandang dan mengemis”, demikian kepala dinas memulai paparan. Ini merujuk pada upaya beliau untuk bisa menghadap dan beraudiensi dengan banyak pejabat yang sering harus menunggu beberapa hari di luar perkiraan beliau. Seperti halnya untuk program wisata tahun 2019, beliau menunjukkan buku agak tebal yang ada di meja. “Ini adalah proposal kegiatan wisata tahun 2019 yang harus saya tawarkan ke kementerian, pemerintah provinsi dan lain-lain.
Inilah orangnya di balik itu semua, kata saya dalam hati. Beliaulah menjadi motor dan sumber gagasan bagi tim dinas. Dengan dukungan penuh bupati terjalin-lah sinergi antardinas yang erat. Bahkan saya berpikir, sebenarnya kepala dinas pariwisata hanyalah “provokator” atas sinergi ini, sementara kegiatan wisata tersebar pada hampir semua dinas. Beliau juga bercerita bagaimana akrabnya dengan Menteri Pariwisata, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi, Sultan Sepuh Cirebon ketika membujuk beliau agar mendukung Festival Kraton Se Asean di Sumenep, meyakinkan staf kepresidenan untuk kesediaan presiden membuka Festival Keris Nusantara dan lain-lain.
Atau suatu saat tiba-tiba beliau mendapat kabar dari koleganya di Bali bahwa ada kapal pesiar dari Eropa tiba di Bali dan beliau berusaha sekuat tenaga agar rombongan turis bisa singgah ke Sumenep. Dari segala upaya beliau yang paling mengharukan adalah “perjuangan” beliau ke Mabes Polri untuk mendapatkan rekomendasi agar keris buatan Sumenep bisa dikirim ke luar bahkan ekspor sebagai benda seni dan bukan senjata tajam yang proses perijinannya lebih rumit. Dan berhasil. Sekarang ekspor keris ke luar daerah bahkan ke manca negara menjadi penggerak ekonomi yang signifikan. Saat ini ada sekitar 65 empu di Sumenep dari sebelumnya sekitar 5 empu saja. Sepak terjang beliau sangatlah mempesona. Leadership yang kuat menjadi catatan saya ketujuh.
Memang harus diakui bahwa Sumenep mendapat berkah alam yang mempesona. Selain subur dan elok, Sumenep juga memiliki sejarah peradaban yang lebih lama sebagai pusat kerajaan besar di Pulau Madura. Pertaniannya maju, juga industri. Bahkan industri garam sudah berkembang sejak jaman Belanda atau jauh sebelum itu. Karena itu selain situs-situs peninggalang sejarah kerajaan yang banyak, mulai keraton, masjid, taman sari, makam raja-raja asta tinggi, kota tua Kalianget dengan arsitek bangunan berciri Eropa, China, Timur Tengah dan tradisional, Sumenep juga kaya akan perkembangan seni dan budaya, khususnya batik, keris dan ritual-ritual adat dan keagamaan lokal.
Obyek wisata alam Sumenep juga sangat beragam, mulai pantai, pulau dan kepulauan, terumbu karang serta tentu saja Pulau Gili Iyang yang menyemburkan oksigen murni. Dari sekian banyak obyek wisata yang beragam tersebut, Sumenep berketetapan menjadikan ekowisata dan wisata kesehatan sebagai core destinasi wisata Sumenep dan yang lain sebagai pendukung dan pelengkap. Memang tidak semua obyek wisata harus digarap, karena pembiayaan umumnya menjadi kendala pengembangan wisata. Kecerdikan dan komitmen melakukan identifikasi icon wisata merupakan pemetaan wisata yang patut diapresiasi.
Kinerja pembangunan pariwisata Sumenep saat ini melalui proses yang panjang dan itu patut diapresiasi. Secara formal Sumenep menjadi salah satu Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dari 10 KPPN di Jawa Timur. Itu artinya dukungan penuh pemerintah pusat dan provinsi sudahlah pasti. Sumenep tahun ini juga masuk kalender wisata nasional di Jawa Timur selain Kab. Banyuwangi, Kota Surabaya, Kota Batu dan Kota Malang. Sebagai salah satu pusat KPPN, pembangunan sektor wisata dalam 7 (tujuh) tahun terakhir, yaitu sejak penetapan KPPN Sumenep berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011, mengalami perkembangan yang nyata baik dari aspek pengembangan destinasi wisata, pemasaran wisata dan pengembangan SDM, masyarakat dan industri pariwisata.
Berbeda dari yang lain, Sumenep menjadikan ekowisata dan wisata kesehatan sebagai jagoan, selain wisata sejarah dan religi dan wisata buatan. Melalui event Sehat Bugar di Pulau Gili, Sumenep ingin menjadikan sumber oksigen murni di pulau tersebut menjadi daya tarik yang unik. Pengembangan atraksi wisata tersebut juga dibarengi dengan pembangunan aksesibilitas, baik di darat, laut dan udara, serta amenitas yang lain seperti akomodasi, rest area, sentra cindera mata, area kuliner dan lain-lain.
Komitmen yang kuat dan perencanaan yang memenuhi unsur smart (Specific, Measurable, Achievable, Rasional, Time limited) dan jauh dari “sesuatu yang instan” ini menjadi catatan keterpesonaan terakhir saya atas perjalanan pertama saya di Sumenep.
Siapa mau meniru?