Hujan Pertama Bulan November

Tanggal 6 November 2018, rintik hujan pertama kali menyambangi  bumi Trenggalek, setelah selama hampir lebih dari 7 bulan hujan tak jatuh. Seperti yang saya tangkap, hujan kali ini begitu serius, membasahi tanah secara merata. Sebelumnya, hujan memang turun, namun instensitasnya hanya membasahi debu. Dan setelah itu debu makin banyak.

Saat hujan turun bisa dimaknai sebagai sebuah berkah. Kendati di beberapa titik, hujan yang menyebabkan kerugian tertentu, adalah perkara lain. Hujan memang turun untuk memenuhi siklusnya, bukan sebagai penyebab terjadinya musibah. Bukan-kah musibah selalu ada, karena  campur tangan manusia. Ia aktif ketika syarat-syaratnya sebagai musibah terpenuhi.

Musim kemarau menyebabkan debu-debu lembut beterbangan. Tentu debu tidak bisa terbang sendiri tanpa bantuan angin. Kadang angin membawa debu jatuh kembali ke tanah, kadang debu-debu tersebut hinggap di dedaunan, mengotorinya hingga terlihat kusam. Jika tak kunjung disiram air hujan, dedaunan di pinggir-pinggir jalan tampak coklat dan kotor. Saat hujan turun debu-debu menyerah pada air, dibawa hanyut.

November rain, seperti judul lagu Gun Rose’s. Bulan ini adalah cerita mengenai air, meski di bulan-bulan sebelumnya, air menjadi cerita using. Keberadaannya dinanti tapi tak kunjung datang. Sumber-sumber mata air yang biasa diakses warga atau sumur-sumur, kering kerontang. Beberapa desa di Trenggalek mengalami krisis air. Detik News mencatat bahwa selama tahun 2018 ini setidaknya, ada 42 desa dari 13 kecamatan di Trenggalek mengalami bencana kekeringan. Sedangan di tahun 2017, kekeringan terjadi di 75 desa yang tersebar di 13 kecamatan. Ini berarti bahwa bencana kekeringan merata di seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek.

Dan cerita kekeringan ini, setelah tanggal 6 November 2018, menjadi cerita lain meski masih berkutat pada isu-isu air. Dari isu bencana kekeringan menjadi  isu bencana banjir. Tampaknya beberapa kerugian yang menjadi beban warga masih saja dialamatkan pada air (hujan). Cerita pilu itu muncul dari Kecamatan Watulimo, Desa Dukuh, air telah menutup akses jalan satu-satunya warga Dukuh Ketro. Cerita air muncul juga dari Munjungan. Air meluap dari sungai dan menggenangi  jalan-jalan hingga setinggi dengkul orang dewasa. Juga tak ketinggalan dari Kecamatan Panggul, air merangsek menguasai jalan raya.

Sebenarnya, menuliskan cerita perihal kekeringan dan banjir di portal nggalek.co ini, adalah sesuatu yang tak perlu. Ini adalah cerita usang, dan hampir terjadi setiap tahun. Seharusnya, di tahun-tahun yang menggemberikan ini, di tahun yang masih dipimpin oleh dua pemuda milenial, seharusnya Trenggalek sudah bisa mengurangi dampak-dampak dari hadir maupun absennya air (saat musim kemarau). Meski juga tidak menuntut mereka untuk melawan alam, namun alam juga tak pernah menuntut manusia.

Hujan pertama di bulan November telah mengubah skenario cerita air. Namun yang perlu dibanggakan adalah, cerita mengenai pepohonan dan tumbuhan yang mulai bersuka ria karena bisa kembali menikmati berkah hujan. Hujan semalaman telah membersihkan daun dan pohon dari debu-debu kotor. Tengoklah kawan, dedaunan kembali hijau. Pohon-pohon tak tampak layu lagi, mereka kembali minum air berkah dari langit.

Dan seharusnya kita pun bisa menikmati suka cita ini dengan lebih baik. Meski ada kerusakan yang “disebabkan” air, sementara abaikan. Barangkali setimpal dengan kerusakan yang telah kita perbuat pada alam, dan anggap saja karma.

Untuk hari-hari selanjutnya, ketika hujan sudah memasuki musimnya, semoga tidak ada lagi bencana kerusakan. Kendati, kita harusnya lebih biijak lagi memperlakukan sahabat-sahabat alam, merekalah makhluk yang setiap hari bergumul dengan kita. Bahkan, mereka tetap melaksanakan titah Tuhan untuk memproduksi oksigen, sayur mayur, buah-buahan, biji-bijian dan juga segala sesuatu yang bisa manusia nikmati. Bencana bukan apa-apa, asal kita tetap berada pada persepsi positif.

Membuang sampah di sungai sebenarnya adalah kehendak yang “tidak bisa dilarang”. Namun ketika sungai meluapkan sampah kembali kepada manusia, jangan bersedih. Itu adalah ganjaran perbuatan kita. Bukan-kah ketika kita memukul seseorang, balasan setimpalnya adalah dipukul orang yang telah kita pukul. Alam sepertinya juga begitu, ia memiliki hukum alam, ketika manusia merusak alam, kerusakan alam pun mengimbas pada manusia.

Semoga kita menjadi manusia yang bisa berintrokpeksi diri. Mengerti kesalahan yang telah diperbuat, dan tahu bagaimana cara memperbaikinya. Hujan pertama di bulan November, adalah pelajaran bagi kita semua.

Artikel Baru

Artikel Terkait