“Zaman boleh lebih maju dari apa yang biasa kita sebut sebagai modern, tetapi para petani masih memedomani pranatamangsa untuk dapat memetik panen secara optimal.“
Jika Anda menemukan kalimat seperti itu, ketahuilah, pelontarnya jelas cenderung beranggapan bahwa pranatamangsa adalah sejenis klenik. Bahwa kemudian ada yang menambahkan sejenis klenik, mungkin iya. Tetapi, pranata mangsa sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan empirik. Ia dibangun berdasarkan pengalaman, ilmu titen (Jawa), dan pengamatan terus-menerus terhadap posisi bumi terhadap matahari dan hal-hal lain menyangkut klimatologi.
Sebuah sumber daring menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai pranata mangsa sudah mulai dikembangkan sejak zaman Mataram Kuna dan baru diformalkan, dikodifikasikan, pada Zaman Mataram Islam. Sebagai ilmu pengetahuan pranata mangsa juga bukan monopoli orang Jawa. Ada beberapa suku lain di Nusantara yang memiliki ilmu pranata mangsanya masing-masing, bahkan, masih menurut sumber daring itu, ada bangsa di belahan Eropa sana, yang biasanya kita identifikasi sebagai bangsa yang sangat rasional, juga memiliki ilmu pranata mangsanya.
Apakah ilmu pranata mangsa yang dimiliki oleh berbagai suku dan bangsa itu sama? Secara konsep boleh dibilang sama, masing-masing- masing menurunkan kalender pertanian yang akan dipedomani para petani untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Tetapi, kalender itu akan berbeda-beda seiring dengan perbedaan posisi geografis masing-masing, termasuk posisinya terhadap matahari.
Waduh! Ini terlalu ngelantur. Padahal niat saya mau menceritakan betapa gayengnya diskusi “pranata mangsa” yang digelar oleh Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Trenggalek, dalam rangka Hari Bakti Desa (22 Desember 2018). Tema yang dipilih adalah, “Meningkatkan Produktivitas Pertanian Berbasis Ramah Lingkungan dan Kearifan Lokal.”
Yang diundang sebagai peserta sarasehan ialah para petani, wakil kelompok tani di wilayah Desa Wonocoyo, terutama mereka yang memiliki tanah harapan sendiri (bukan sewaan), jumlahnya sekira 75-an orang. Yang pasti, tak seorang pun beranjak sebelum acara berakhir. Bahkan, sesi diskusi atau tanya jawab dihentikan paksa mengingat waktu sudah di ambang tengah malam.
Berbicara di dalam forum ini Kepala Desa Wonocoyo, Didik Herkunadi dan Camat Panggul, Edif Hayunan Siswanto, S.Sos, Msi., sebagai pejabat pemangku wilayah. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Trenggalek sudah diundang oleh panitia tetapi tidak hadir dan mewakilkan penyuluh pertanian lapangan untuk wilayah Kecamatan Panggul yang tampak hadir tetapi tidak ikut berbicara. Tidak tahu kenapa.
Berkaitan dengan tema sarasehan, seharusnya ada setidaknya dua narasumber, praktisi pertanian organik untuk berbicara mengenai tatacara bertani yang ramah lingkungan dan penulis buku “Pranata Mangsa” menyangkut kearifan lokal-nya. Tetapi, karena waktu perencanaan yang pendek, panitia tidak dapat menghadirkan narasumber dari praktisi/pakar pertanian organik. Untunglah Camat Panggul yang basis pendidikan formalnya jauh dari bidang pertanian itu dapat pula dengan fasih berbicara agak panjang mengenai pentingnya bertani dengan cara-cara yang ramah lingkungan yakni menerapkan sistem pertanian organik.
Penulis buku “Memahami Pranatamangsa”, Hernawan Widyatmiko, SP, SPd,—yang biasa disapa dengan “Pak Henk” berbicara mengenai praktik bertani dengan mempertimbangkan pranata mangsa. Paparannya “jantrik” dan jelas. Para petani peserta sarasehan tampak terpaku di tempat duduk masing-masing dan asyik mengikuti penjelasan Pak Henk.
Giliran tiba waktunya bertanya-jawab pun peserta tampak antusias. Salah seorang peserta mengeluhkan keterbatasan alat/mesin penggarap tanah selama ini menjadi kendala untuk mematuhi pedoman pranatamangsa. Sebab, saat tiba hari yang tepat untuk tanam padi, misalnya, banyak petak sawah yang malahan masih ngantri traktor.
Sedangkan berkaitan dengan ajakan untuk beralih ke sistem organik, persoalan yang muncul selama ini adalah belum adanya kepastian pasar yang akan menerima hasil panen mereka nanti, dengan harga yang lebih tinggi daripada beras dari sawah yang digarap secara an-organik.
Persoalan berikutnya, peralihan dari sistem an-organik ke sistem organik membutuhkan waktu cukup lama bisa setahun atau malah dua tahun (?) untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Banyak petani tidak siap menderita kerugian di masa-masa peralihan itu. Apalagi, fakta di sawah menunjukkan banyaknya penggarap tanah sewaan, bukan milik sendiri. Kalau sewanya cuma setahun-dua tahun? Ndhak ya nyengar?
Dan ada sekian pertanyaan lain yang sebenarnya akan lebih tepat dijawab oleh Kepala Dinas Kabupaten Trenggalek. Lah, tapi yang bersangkutan tidak hadir! Untunglah Kepala Desa Wonocoyo menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan langsung menantang para petani di wilayahnya untuk sering-sering berdiskusi, desa akan selalu siap memfasilitasi. Bahkan, bila para (kelompok) petani memerlukan lahan uji coba untuk pertanian organik, desa juga akan menyiapkannya. Itu dikatakan langsung oleh Didik Herkunadi, Kepala Desa Wonocoyo. Sarasehan yang dimoderatori Eko Margono, Sekdes Wonocoyo itu benar-benar berlangsung sangat gayeng. Bahkan menjelang tengah malam ketika sarasehan dipungkasi, layar tak segera ditutup, sebab karawitan yang dimulai sebelum sarasehan dibuka, dilanjutkan kembali, sampai hari berganti.