Rabu, 30 Januari 2019 lalu, saya mendapat undangan mengikuti seminar dan bedah buku Integrasi Antar-Lembaga dalam Percepatan Pengembangan Kawasan Ekonomi Pedesaan, di UGM, Yogyakarta. Undangan via email itu dikirim oleh rekan saya, Putut Indroyono, seorang peneliti ekonomi kerakyatan di PUSTEK (Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan) UGM.
Saya memenuhi undangan itu dengan gembira. Tidak saja karena materinya menarik dan relevan bagi tugas saya sehari-hari, khususnya pengembangan kawasan ekonomi perdesaan, lebih dari itu juga ada 5 pembicara yang akan tampil: 4 orang profesor ditambah Bupati Kulon Progo, dr Hasto Wardoyo.
Tulisan ini hanyalah catatan kecil yang juga menjadi perhatian saya selama mengikuti seminar dan bedah buku di MEP (Magister Ekonomi Pembangunan) UGM, yaitu catatan tentang sosok Hasto Wardoyo, salah satu dari sedikit kepala daerah sukses, yang –menurut saya—menjadi bintang dalam acara tersebut.
Memenuhi undangan itu, saya datang di tempat acara lebih awal. Saya ingin menyempatkan diri bertemu dengan kolega-kolega saya di PUSTEK sebelum acara dimulai, sebab saya lama tidak “ngobrol” dengan mereka. Peneliti-peneliti PUSTEK telah banyak membantu tugas saya sebelumnya, memahami konsep ekonomi kerakyatan dan kemudian menjabarkannya dalam beberapa bidang tugas.
Memasuki tempat acara yakni di Auditorium Mubyarto, suasana akademis sangat terasa. Peserta yang telah hadir umumnya langsung asyik dengan buku yang telah dibagikan cuma-cuma (meski terbatas) atau sibuk dengan gawainya. Tak ada obrolan dan senda gurau umumnya suasana menunggu rapat yang sering terjadi di tempat lain. Tampaknya semua peserta sangat siap dan antusias mengikuti acara.
Benar. Suasana seminar berlangsung serius, meski sesekali diselingi joke dari para pembicara. Seremoni pembukaan diselipi dengan penyerahan lebih dari 1.800 buku koleksi Alm. Prof Mubyarto kepada MEP UGM. Setelah itu penyajian materi buku hasil penelitian oleh ketua Tim Peneliti/Penulis, Prof Dr. Catur Sugiyanto, diteruskan pembahasan oleh Tim Pembahas, antara lain Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika, staf khusus presiden. Pembicara terakhir adalah dr. Hasto Wardoyo, Bupati Kulon Progo. Kulon Progo menjadi lokus penelitian, karena itu diperlukan tanggapan oleh bupati setempat.
Penelitian yang kemudian hasilnya dituangkan dalam buku itu didanai dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan dilakukan oleh PUSTEK UGM pada 6 desa di dua kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Pertimbangan teknis penetapan lokasi penelitian tentu kewenangan kementerian, tetapi dalam hemat saya, hal itu tidak lepas dari keberhasilan Kulon Progo dalam membangun integrasi hubungan antar-lembaga ekonomi masyarakat, baik di tingkat desa maupun kawasan. Dan merupakan best practices yang dapat dijadikan rujukan bagi daerah lain.
Penyajian dan pembahasan tentu sangat menarik karena ditampilkan oleh para ahli di bidangnya, dengan substansi meramu pendekatan teori tentang collaborative governance dan evaluasi atas program-program pembangunan kawasan perdesaan yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah.
Menurut hemat saya, dari semua pembicara yang ada, penampilan dr. Hasto Wardoyo-lah yang memikat, tidak saja cerita atas berbagai keberhasilan pembangunan Kulon Progo, tetapi yang lebih penting juga adalah peran kepemimpinan seorang Hasto Wardoyo di balik keberhasilan tersebut. Karena itu karakter kepemimpinannya patut disimak.
Karakter Kepimpinan Hasto Wardoyo
Di awal paparannya, dr Hasto Wardoyo sudah “menohok” dengan pengalaman memimpin Kulon Progo yang menginjak periode kedua, dengan mengatakan bahwa “sepanjang kepala daerah tidak dihinggapi oleh 2 sindrom yang umum menyerang seorang pemimpin, maka keberhasilan akan datang menjelang. Sindrom itu adalah sindrom yang dinamakannya “i know and you don’t know” dan sindrom “what my position is”. Hadirin langsung applause mendengarnya. Saya bahkan berkaca-kaca, karena ini adalah sesuatu yang langka yang bisa dijumpai pada kebanyakan pemimpin.
Bagi Hasto Wardoyo –ia melanjutkan uraian—pengalaman itu penting didengar dan bahkan dapat memperbaiki konsep dan pemahaman atas suatu program (atau teori) yang dirumuskan. Penyakit “saya lebih tahu dari kamu” dibuang jauh-jauh oleh Hasto. Karena itu dalam perjalanannya membangun Kulon Progo, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendengarkan orang lain—dari berbagai kalangan—untuk mendapatkan masukan dan pandangan. Masukan itu bisa datang dari “masyarakat bawah” sekalipun. Dan ini tidak sekadar basa basi.
Kemudian diceritakan bagaimana ia dibuat malu oleh seorang ibu penjual geplak –makanan khas Kulon Progo—tentang konsep penataan pasar. Sesuai pemahaman Hasto Wardoyo awalnya, pasar harus menerapkan konsep zonasi, yaitu pembagian area pasar berdasar jenis dagangan. Tersebutlah di suatu pasar di Kulon Progo terdapat hanya 2 penjual geplak yang sangat terkenal dan laris.
Masing-masing menjual geplak memiliki pangsa pasar dan konsumen sendiri karena cita rasa geplak yang memang berbeda satu sama lain. Seorang berjulanan di dekat pintu utara sedang lainnya dekat pintu selatan. Sesuai konsep zonasi, mereka kemudian diharuskan berjualan dalam satu area los yang sama, yaitu zonasi makanan kering.
Dalam kunjungan berikutnya selang beberapa bulan, Hasto Wardoyo dibuat kaget karena ternyata omzet penjualan geplak keduanya turun drastis. Gara-gara zonasi, dagangan saya jadi tidak laku, demikian keluh ibu penjual geplak kepada Hasto Wardoyo. Setelah mendengar mereka bersama, pada akhirnya mereka diputuskan kembali berjualan di tempat semula. Usut punya usut ternyata konsumen geplak yang umumnya warga setempat merasa rikuh dan “perasaan tidak enak” ketika membeli geplak di satu penjual sementara penjual lain tahu. Daripada rikuh, akhirnya beli di tempat lain, demikian kata konsumen.
Dan benar, setelah kembali ke tempat jualan semula, omzet penjualan berangsur meningkat. Hasto Wardoyo merasa malu dengan “sikap sok tahu” sebelumnya tentang penataan pasar. Bagi Hasto Wardoyo, pembangunan pasar itu esensinya haruslah menjadikan pedagang makin sejahtera. Kita harus mendengarkan dan memperhatikan local wisdomseperti ini, kata Hasto Wardoyo.
Menurutnya pula, pemimpin juga harus punya idealisme yang tinggi. Salah satunya idealisme mencintai dan memajukan daerahnya secara tulus. Tidak ada istilah “batu loncatan” atau motif lain dalam mengabdi. Selama kepemimpinannya Hasto Wardoyo menolak toko modern berjejaring, kecuali mereka mau bekerja sama dengan koperasi setempat. Meski pelaksanaannya tidak gampang, akhirnya tumbuhlah Tomira (Toko Milik Rakyat) yaitu toko retail yang dikelola oleh waralaba modern dengan pelaku ekonomi lokal/koperasi.
Gerakan Bela Beli Kulon Progo juga sukses mendongkrak produk lokal, khususnya produk UMKM. Ia gigih untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Uang yang digelontor pemerintah ke Kulon Progo, harus “berputar” di Kulon Progo, katanya berapi-api.
Dengan tangan dingin Pak Hasto, lembaga-lembaga ekonomi masyarakat bersinergi dalam mengelola potensi lokal. Dalam perekonomian, sekat-sekat desa diminimalisir menuju integrasi kawasan. Awalnya sulit, karena tiap desa dan lembaga ekonomi ingin jalan sendiri-sendiri dan untung sendiri-sendiri, meski potensi yang dikelola adalah sama. Ini tidak benar dan tidak akan berkembang.
Dalam upaya integrasi antar kawasan ini, mimpi besar Hasto adalah mewujudkan Kawasan Agropolitan Menoreh Terpadu, bekerja sama dengan daerah lain seputaran Menoreh. Salah satunya adalah pendirian Taman Kerajaan Nusantara sebagai destinasi wisata unggulan menyambut beroperasinya bandara internasional di Kulon Progo. Safari untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak adalah suatu yang biasa ia lakukan.
Ia juga tidak mengembangkan gaya kepemimpinan yang otoriter dan arogan. Sindrom “saya ini siapa” bagi Hasto Wardoyo adalah pertanyaan konyol yang harus dihindari pemimpin. Ia begitu memahami bahwa fungsi pimpinan yang utama adalah melipatgandakan kinerja organisasi melalui motivasi dan komunikasi. Ia menyadari peran sentral sumber daya manusia dan fungsi pokok pimpinan dalam manajemen, yaitu mengerahkan, menggerakkan, mengarahkan dan mengendalikan sumber daya pembangunan guna mencapai tujuan pemerintahan secara efisien.
Dan di antara sumber daya pembangunan yang penting dan memiliki peran sentral adalah manusia (Sumber Daya Manusia).Sebagai unit totalitas yang unik dan kompleks, manusia dapat dipengaruhi melalui kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan adalah inti manajemen, kata Drs. Soehardjono, mantan Direktur APDN Malang, dalam bukunya Bunga Rampai Kepemimpinan.
Filosofi Kepemimpinan
Kepemimpinan yang ditampilkan dr Hasto Wardoyo sejalan dengan filosofi kepemimpinan yang selama ini dikenal, khususnya kepemimpinan yang berkembang dalam kontinum budaya Jawa. Konstruksi kepemimpinan itu adalah konsep tentang “aji-aji tiwikrama atau bala srewu”, yang artinya seorang pemimpin harus dapat menggerakkan banyak anggota untuk berpikir dan bertindak seperti dirinya. Pemimpin harus tiwikrama untuk melipat-gandakan energi, semangat, pikiran dan anggota badan sehingga hasil yang dicapai menjadi berlipat ganda. Pelipatgandaan itu dilakukan dengan memberi motivasi bawahannya dan menciptakan suasana yang sehat sehingga setiap bawahan secara sadar, sukarela serta bertanggung jawab terangsang untuk berkerja secara maksimal.
Dalam budaya Jawa hubungan antara pemimpin dan pengikut juga digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, yaitu kepahaman yang timbul pada diri pengikut untuk menempatkan diri dalam posisi pemimpin tanpa mengubah struktur otoritas. Ini disebut empati, tepa selira, setia rasa. Jika saya menjadi pemimpin, apa yang saya perbuat? Apa seperti yang dilakukan oleh pimpinan saya dalam menghadapi permasalahan yang serupa? demikian pertanyaan yang harus mengendap pada diri setiap bawahan.
Kepemimpinan Jawa juga mengenal konsep “kadyo ron sedah, ingkang nginggil awarni ijem sepuh, ingkang ngandhap awarni ijem keporo semu jene, nanging menawi dipun geget sami raosipun”artinya pemimpin dan pengikut adalah ibarat daun sirih, yang atas berwarna hijau tua, yang bawah berwarna hijau kekuning-kuningan, namun apabila dikunyah sama rasanya. Ini juga berarti adanya “manunggaling kawulo gusti”yang artinya pemimpin dan pengikut telah menjadi satu “manjing awor ajur ajer”dalam visiyang sama.
Filosofi kepemimpinan Jawa juga menyerap nilai-nilai Islam sebagaimana konsep “ratu adil bala sirullah” artinya pemimpin yang adil akan diikuti sepenuhnya oleh warganya karena kehendak Tuhan. Sikap baik dan berani akan selalu mendapat pertolongan Tuhan.
Konsep kepemimpinan modern pun menyebutkan bahwa separuh dari tugas pekerjaan seorang pemimpin manajerial ialah berusaha terus menerus meningkatkan kemampuan anggotanya. Bagaimana kemampuan pemimpin untuk memengaruhi orang-rang menjadi manusia yang bergerak mencapai tujuan atas kemauan sendiri. Itulah motivasi, yaitu upaya melipatgandakan efektivitas usaha individual.
Faktanya, banyak eksekutif yang kurang memiliki kemampuan untuk memotivasi bawahannya. Rensis Linkert, seorang ahli manajemen, pun menyarankan bahwa gaya kepemimpinan sebaiknya memusatkan perhatian pada pegawai bertitik tolak dari dasar pemikiran bahwa “kepercayaan dan partisipasi akan membuahkan tidak hanya kepuasan yang lebih besar dari para pegawai, tetapi juga meningkatkan efektivitas organisasi”.
Karena itu, tugas pemimpin sebenarnya “hanyalah” :
1) menstimulir tindakan pegawai dengan memprakarsai perubahan kondisi fisik lingkungan kerja dan meredusir struktur organisasi yang hierarkis, mengadakan perubahan dalam proses organisasi yaitu pengembangan iklim organisasi yang apresiatif, meningkatkan komunikasi antarpribadi, menerima ide-ide pegawai dan melibatkan pegawai dalam pengambilan keputusan; dan 2) sebagai fasilitator dalam perencanaan, koordinasi, identifikasi kebutuhan organisasi dalam tingkatan berbeda dan menerjemahkan kebutuhan ini dalam penyelesaian tugas pekerjaan dengan jalan memperoleh komitmen pegawai terhadap tujuan organisasi.
Itulah catatan kecil saya tentang dr Hasto Wardoyo, seorang bupati yang sukses membangun daerahnya. Saya kira siapa pun pemimpin tidak perlu malu menjadikan Pak Hasto sebagai salah satu rujukan. Semoga.