Risiko di Tahun Politik bagi Sarjana yang Pulang Kampung

Memutuskan pulang kampung di tengah situasi politik yang sedang ngaceng-ngacengnya seperti sekarang ini, rupanya bukanlah keputusan yang baik. Kampung yang dimaksud di sini, ya kampung dalam pengertian yang sebenarnya, bukan kaleng-kaleng.

Nah, kampung saya ini berjarak sekitar 1.613 km ke arah timur dari kampungnya Mas Rokhim di Watulimo sana, yang kalau ditempuh dengan jalan kaki hanya butuh waktu 11 hari. Ini versi gugelmep, lhoya…

Bagi manusia seperti saya yang agak alergi dengan segala hal berbau politik (praktis), ini tentu bukan sesuatu yang menggembirakan. Alih-alih ingin melepas rindu bersama keluarga sembari menikmati hujan disertai angin kencang—ah,  terbayang lagi masa kecil, saat angin kencang berhasil merobohkan beberapa rumah warga, termasuk rumah saya di awal tahun yang syahdu seperti ini. Sungguh, sangat memacu adrenalin.

Yang terjadi malah sebaliknya. Harapan yang saya himpun sepanjang perjalanan pulang itu sirna begitu saja direnggut paksa oleh para caleg yang mendompleng status hubungan darah untuk kepentingan politiknya. Ya, para politikus lokal ini kerap membidik wilayah genealogis untuk dijadikan “tumbal” di musim pemilu.

Lebih sialnya lagi, orang-orang di kampung menganggap manuver tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Biasa-biasa sa. Toh, jika ada salah seorang anggota keluarga yang berhasil duduk di kursi dewan, praktis itu akan memudahkan jalan bagi anggota keluarga lainnya mendapatkan pekerjaan. Tipe pengangguran seperti saya yang pernah dihujat berkali-kali oleh nyaris seluruh keluarga besar dari Sabang sampai Merauke gegara kuliah tidak lulus-lulus, adalah target empuknya.

Dengan mendaulat saya sebagai salah satu timsesnya dan lantas dikukuhkan melalui titah mamatua (baca: mama saya) yang terkenal garang naujubila, si caleg sialan itu sudah menghemat isi kantongnya. Itu belum termasuk strategi meraup suara yang bakal saya rancang nanti berdasarkan pengalaman selama empat belas semester di kampus.

Jangan salah. Begini-begini, saya pernah mendapat predikat mahasiswa “tukang bikin onar” di kampus, yang oleh beberapa dosen lintas program studi kerap menjadikannya sebagai bahan percontohan yang buruk saat sedang mengampu di kelas. Buat saya, itu prestasi karena dunia akademis tidak semestinya dikotori perilaku sendika dawuh yang ujung-ujungnya mengarah ke nilai.

Jadinya, untung dobel itu caleg. Digaji? Ya, tidaklah! Keluarga sendiri, kok. Kompensasinya jelas. Dia dapat kursi dewan, saya dapat kerjaan. Begitu janjinya di depan mamatua.

Epen deng jalur legal. Selama ada orang dalam, kenapa harus pakai surat lamaran? Keluarga harga mati, pokoknya.

Anda mau bilang, unsur nepotismenya kentara sekali? Hilih kinthil.

Di sebelah mana di negeri ini yang ruang-ruang publiknya tidak ada nepotisme? Kalau kita mau menilik ulang sejarah, penyakit nepotisme ini bahkan sudah lebih dulu ada jauh sebelum Indonesia ada. Dari zaman kerajaan Hindu-Budha sampai kerajaan Islam berkembang biak di Nusantara ini.

Lalu, masuk lagi bangsa kulit putih yang tinggal memolesnya sedikit biar terkesan ada bau baratnya. Hingga hari ini, setelah tiga per empat abad proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, nepotisme masih eksis dengan wujudnya yang lazim.

Kalau boleh ngawur, dalam diri setiap anak bangsa, telah mengalir darah nepotisme. Tinggal menunggu momentum saja baginya untuk menampakkan diri. Posisi dan jabatan bukan ditentukan oleh kecakapan seseorang, melainkan sejauh mana kedekatan kita dengan penguasa.

Panjang umur nepotisme! 

Tradisi ini yang masih dipegang teguh oleh siapa saja, termasuk orang di kampung saya, wabilkhusus mamatua. Kenyataan ini menjadi semakin sulit dikendor setelah ditopang oleh pola pikir orang kampung selama ini dalam menciptakan klasifikasi sosial kepada para sarjana.

Di mata mereka, seorang sarjana akan dianggap sukses apabila, pertama, memakai baju PDH yang ada logo pohon beringin di bagian lengannya. Peduli setan mau itu PNS kek, honorer kek, kontrak kek, pokoknya baju dinas. Ini lagu lama yang terus diaransemen ulang, menyesuaikan dengan kondisi zaman.

Atau kalau tidak itu, berarti yang kedua ini: foto Anda memakai baju partai dengan pose sok elegan, berikut nama lengkap dengan gelar akademik di belakangnya nangkring asyik di baliho bertiang bambu di setiap sudut-sudut jalan, pasar, dan tempat yang sekiranya bisa dilihat banyak orang. Di rumah ibadah dan sekolah juga tidak apa-apa. Wong edan kui bebas.

Bikin kalender juga jangan lupa. Itu penting, karena langsung menyasar ruang tamu pemegang hak pilih. Perkara lolos atau tidak dan untung atau rugi, itu urusan nanti. Anggap saja, anda sedang bertaruh di meja judi untuk hidup yang lebih #mahaasyik. Yang penting citra keluarga terangkat di masyarakat.

Kalau dua prasyarat tadi sulit mendapatkan peluang, maka jalan alternatifnya adalah dengan menjadi tim sukses. Bertamu-lah Anda ke rumah-rumah tetangga di sekitar, siapkan bahan untuk promosikan calon yang hendak Anda usung. Untuk menambah bobot bacot Anda, jangan lupa perbanyak-lah perbendaharaan istilah ilmiah—bila perlu ada asingnya juga—semacam rekonstruksi, konstelasi, persepsi, kontrasepsi, dan seterusnya untuk memperdayai mereka. Semakin sulit istilah tersebut dipahami, semakin besar peluang Anda untuk dianggap sarjana hebat.

Nah, poin terakhir ini yang saya curigai sedang mamatua siapkan untuk saya.

Seperti yang sudah saya bilang di awal, politik praktis bukan passion saya, meski kesempatan itu terbuka lebar. Banyak rekan saya sesama sarjana—dengan dalih demi perubahan—menjadi partisan politik. Kontribusi untuk kampung yang patut dihargai sebenarnya. Kalau kemudian fakta di lapangan justru mengakibatkan perpecahan di masyarakat, bukan salah mereka. Namanya juga politik, hari ini makan apa, besok makan siapa. Begitu kata kawan ngopi saya di kampung, seorang eks frater.

Setidaknya, perubahan yang ingin diwujudkan itu sudah menampakkan buktinya. Antar tetangga yang sebelumnya baku bantu kalau ada urusan, baku pinjam kalau ada yang membutuhkan, baku lucu kalau lagi minum kopi, berubah jadi baku musuh, baku fitnah, dan baku cuek.

Begitulah realitas kehidupan di kampung dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan ini. Siapapun berhak menentukan pilihan politiknya dan menilai pilihan politik orang lain. Misalnya, ini misalnya, jangan dianggap tidak serius ya, saya memilih golput sebagai pilihan politik saya, penilaian seperti apa yang bakal saya terima nanti?

Yang jelas, jawabannya sudah pasti bisa dikonfirmasi lewat murkanya mamatua. Kalau blio murka lalu mengutuk saya jadi komodo, insyaallah saya santai sa. Risiko punya anak yang kepala batu, ya begini. Mamatua mungkin lupa, komodo itu binatang langka yang dilindungi negara. Tidak boleh dieksploitasi seperti ini. Bisa kena pasal itu. Hahaha….

Artikel Baru

Artikel Terkait