Beberapa hari lalu, saya ke hutan Tumpak Walang dan menjumpai pohon-pohon di sana mulai bersemi. Nampak hijau dan bisa diharapkan hasilnya oleh petani. Saya tidak sendirian. Bersama bapak, saya mengantar tangga (ondo) untuk persiapan panen cengkih nanti. Medannya cukup sulit. Jarak rumah hingga hutan cukup jauh dan menanjak pula. Kami memikul ondo yang panjangnya 21 gigi itu berdua.
Sebagai anak yang lahir dari kalangan petani partikelir, bertani merupakan salah satu aktivitas yang mampu menghidupi rumah tangga masyarakat desa—di samping berprofesi sebagai nelayan di laut selatan. Bagi saya, musim tandur maupun panen bisa membentuk imaji untuk anak-anak zamannya. Ketika saya kecil bersama adik, hutan di timur rumah menjadi lahan “bermain” di kala libur sekolah. Ladang atau hutan jadi ramai oleh anak-anak maupun orang dewasa. Mereka betah di hutan karena tumbuh-tumbuhannya hijau dan nampak subur.
Selain mengamati orangtua tandur atau nderep pari, menyiangi tanaman liar dan menanam pohon, celoteh, rengekan dan isak tangis anak-anak di parit dan gubug berpadu dengan siulan, sapaan serta bunyi kentongan, yang menggema bersahutan di antara ladang-ladang. Hutan ibarat tempat “bermain” dan bersyukur dengan anugerah alam.
Kali ini saya tak berangkat ke hutan sebagai anak kecil. Saya telah menjadi lelaki dewasa yang telah mengenal dunia luar dengan segala permasalahan dan tuntutan hidup. Di masa kecil, kita menjadi anak yang tak banyak beraktivitas, cukup dengan sekali sentuh, segala kebutuhan seolah ada di hadapan mata. Hingga sampailah, bertani seolah tak lagi menarik di kalangan kawula muda. Dan mereka lebih memilih merantau di kota-kota besar, bekerja di pabrik-pabrik atau mengadu nasib ke negeri orang.
Meski tak seramai dahulu—orang yang pergi ke ladang atau hutan dan jumlahnya tak sebanyak dahulu. Kita patut berbangga, masih ada yang mau dan peduli mengolah tanah dan hutan mereka jadi lahan bertani. Mereka masih mengayunkan arit dan cangkul di hutan miliknya sendiri. Di hutan, di sekitar tempat saya, orang dewasa tak lagi sangu eklek (arit yang wadahnya bertali, dilingkarkan di belakang pinggang) dan cangkul. Juga tak lagi berjalan kaki dan menyapa para tetangga tanpa tergesa-gesa. Mereka lebih memilih menyelempitkan arit di sela-sela motor yang ia naiki ke tempat tujuan.
Mereka naik motor bebek yang dimodif seperti trail—knalpot dibuat keras agar jeritan-nya mengeluarkan suara keras dan tenaga yang kuat—melalui jalan rabat dengan kontur menanjak dan kurang satu meter lebarnya. Karena sebagian besar hutan-hutan di perbukitan Trenggalek, khususnya di perbukitan Watulimo, jalannya telah dirabat semen agar mobilisasi petani pulang pergi dan mengangkut hasil pertanian mudah dan efisien.
Kita sudah tahu bahwa kabupaten yang dikenal dengan Kota Gaplek ini memiliki luas wilayah perbukitan (pegunungannya) lebih dominan tinimbang luas datarannya. Kabupaten Trenggalek dari sisi barat, utara dan timur disabuk-i oleh perbukitan dan pegunungan. Salah satu kecamatan yang menempati perbukitan dan pegunungan adalah Kecamatan Watulimo. Kecamatan di sisi selatan Trenggalek ini memiliki luas 154,44 Km2. Lahan seluas 1.055 Ha-nya merupakan hutan rakyat, yang harus digarap dan diolah oleh petani. Dan lokasinya membentengi lanskap pesisir selatan Prigi (BPS Trenggalek tahun 2017).
Petani di hutan Trenggalek umumnya, dan khususnya petani di hutan Watulimo, sebut saja di Tumpak Walang, Dusun Gares—salah satu dusun di Desa Tasikmadu,—sebagian besar nyambi bekerja sebagai nelayan (atau sebaliknya), juga banyak menaman pohon cengkih sebagai tanaman primadona di alas-nya. Selain varietas cengkih, di hutan Tumpak Walang masih banyak varietas pohon tumbuh; dahulu pohon pinus, jati, pohon nangka, pohon petai, akasia, mahoni, sengon, kopi dan masih banyak lagi.
Karena cengkih mampu menyangga ekonomi masyarakat agraris di Trenggalek, maka hutan Tumpak Walang ini dipenuhi cengkih. Pohon cengkih merupakan tanaman generasi ke sekian yang tumbuh di hutan tersebut. Hal ini bisa dilihat sisa-sisa pohon yang tumbuh di hutan milik bapak saya. Seperti pohon kopi, saya masih ingat dahulu bapak atau ibu biasa mengunduh dan membawa pulang biji kopi, ada pohon jati yang biasanya saya mandi dan sholat di sekitar pohon tersebut, dan sebagai sumber air di hutan, serta pohon pinus yang dicari getahnya.
Meski demikian, sekarang bekerja di hutan memang tak semenarik seperti bekerja di pabrik-pabrik. Hingga akhirnya banyak orang yang jarang pergi ke hutan. Selain karena hutan tinggal menunggu hasil panen, pohon-pohon telah tumbuh besar, dibukanya lahan hutan-hutan di berbagai tempat, misal seperti di sisi timur Dusun Karanggongso, di sekitar Pantai Kuteng, Pantai Genjor dan hutan sisi barat Gunung Kumbokarno, atau di daerah Damas, membuat Tumpak Walang ini jarang dikunjungi petani.
Tumpak Walang berada bersebelahan dengan Tumpak Laban, tepatnya di sisi selatannya. Diapit oleh hutan Khetengan, Wonosalam atau Bengkorok yang berada di timurnya. Dari namanya, hutan ini memiliki arti menanjak, entah kebetulan atau tidak, struktur tanahnya memang tinggi dan miring. Selain strukturnya tinggi, panas matahari lumayan menyengat. Sangat cocok ditanami berbagai macam pohon, termasuk pohon cengkih yang membutuhkan panas yang tinggi. Kebetulan, hutan punya bapak saya, miring ke timur, sehingga asupan sinar matahari sangat pas baik di pagi hari maupun siang hari.
Di sisi lain, masyarakat selatan Watulimo ini dahulu juga menjadikan perbatasan Tumpak Lawang dan Tumpak Laban sebagai jalur menuju Kecamatan Bandung. Mereka belum memiliki jalur khusus untuk menuju kecamatan tetangga, hingga mereka menerobos ereng-ereng hutan gledhekan di sebelah utara Tumpak Walang ini. Hutan Tumpak Walang satu garis dengan Tumpak Laban yang orang dahulu dijadikan satu-satunya medan dan jalan bagi masyarakat saat ingin ke Kecamatan Bandung, Besuki, atau di wilayah Tulungagung bagian selatan.
Saat saya berada di ujung di puncak hutan Tumpak Walang dan menghadap ke selatan, saya mampu melihat view pelabuhan Prigi beserta laut dan Gunung Kumbokarno, jalan(an), bentangan sawah menghijau atau menguning yang mulai berkurang oleh bangunan nampak terkotak-kotak. Sementara saya berada di punggung bagian barat, saya bisa melihat pemandangan Gunung Geger Tengu, dan gunung-gunung di barat Tumpak Walang ini hingga bukit sangsewu yang berada di perbatasan dengan Dusun Sumber Desa Prigi.
Kini, hutan (di Tumpak Walang) mulai sepi. Banyak warga tak banyak yang melakukan aktivitas tandur dengan tanaman jangka pendek seperti padi, jagung atau yang lainnya. Hutan banyak ditanami pohon seperti pohon cengkih dan pohon durian. Bisa jadi, hutan di tempat kami hanya ramai saat akan merayakan panen (raya) atas tanaman bernama latin Syzygium aromaticum. Kita telah mahfum, meriahnya hutan Tumpak Walang dan hutan-hutan lain dikarenakan tanaman itu mulai berbuah. Terlebih mayoritas alas di tempat kami, oleh masyarakat ditanami pohon cengkih.
Pohon cengkih merupakan salah satu varietas unggulan dibanding tumbuhan lain. Cengkih di Trenggalek diperkenalkan Bupati Soetran di tahun 1970-an. Namun dampaknya secara ekonomi sangat terasa hingga hari ini. Oleh karena itu, banyak hutan-hutan di sekitar pegunungan dan perbukitan di pesisir selatan ini beralih dan ditanami pohon cengkih secara massal. Sebagian besar lahan di perbukitan di Tumpak Walang dan hutan-hutan sekitar tumbuh subur dengan cengkih. Sehingga masyarakat Watulimo lebih memilih tanaman musiman seperti cengkih ini dan sebagian pohon durian.
Tumpak Walang merupakan salah satu lahan yang diperkirakan akan panen cengkih. Pohon cengkih telah melewati peradaban panjang yang mampu meningkatkan ekonomi dan mampu memutar roda kehidupan masyarakat. Meski begitu, mengolah dan menanami hutan harus memiliki pengetahuan agar hutan tidak rusak dan gundul, yang bisa berefek tanah longsor. Lahan-lahan, baik milik sendiri maupun milik perhutani ditumbuhi berbagai pohon yang mampu menahan banjir dan longsor. Pohon cengkih juga harus diselang-selingi oleh pohon yang mampu menahan air.
Sekitar bulan Juni nanti, cengkih musim panen, semoga harga cengkih stabil sehingga mampu menjadi sandaran ekonomi masyarakat petani. Dunia pertanian mengalami krisis pekerjanya. Jika dahulu cerminan desa yang guyub, makmur, bergairah dan sentosa terletak pada rutinitas; roda kehidupan bermasyarakat; gotong-royong; serta aktivitas agraris; tandur atau panen di sawah, ladang maupun hutan. Namun beberapa tahun ke belakang, volume orang yang memiliki jiwa senang bertani mulai berkurang. Meski begitu, semoga petani-petani di desa tidak cepat punah!