Ia suka kota itu pada sore hari ketimbang pagi harinya. Namun ia tak bisa memastikan alasan kesukaannya. Barangkali di satu sore tertentu pada sebuah hari, terkandung kepingan suasana berbeda. Seperti bahwa pada sore hari kota itu serasa menjadi lebih baik ketimbang pada pagi harinya: suasana jalanan protokolnya, pedestrian-pedestrian, gang-gang kecil yang jarang dilewati orang maupun kendaraan, lalu bau udaranya yang menyelusup. Dan sekian gerakan-gerakan yang hadir dalam kesempatan-kesempatan di sore tersebut.
Di kota ini volume kendaraan memang tak seberapa, atau nyaris lengang. Jalanan-jalanannya bisa dengan mudah dihafal karena sempit lagi tak begitu rumit. Menjadi penghubung rumah-rumah, kantor, toko, pasar, sawah: sekadar dipanjangkan dengan kelokan dan cabang-cabang yang tak seberapa. Dengan tikungan yang amat biasa dan begitu gampang dikelilingi.
Namun ia juga suka kota ini dengan sejumlah alasan lain.
**
Dari pusat kotanya, jajaran gunung di sebelah utara sepertinya lebih dekat dijangkau daripada di sebelah selatan: baik oleh mata atau ketika benar-benar didekati. Jajaran gunung di sebelah timur dan barat lebih mudah lagi dijangkau, ketika dipandang dari tengah kota. Batas utara kota adalah kaki gunung yang menghampar jauh ke utara, sementara di selatannya adalah beberapa kaki bukit. Pada bagian lain, di sebelah timur, berturut-turut tercenung Gunung Tumpak Petung, Gunung Condrogeni, Gunung Tumpak Watu Pecah, Gunung Rajek Wesi.
Apa yang cukup tampak menandai kota kecil ini, baginya, sulit dicari. Tak ada monumen menjulang tinggi, hanya tugu mirip candi. Dulu ada papan nama kota yang huruf awalnya, menyalahi konvensi tata bahasa. Serta, baru-baru ini, sebuah tugu atau monumen pertanian (technopark).
Tak ada taman representatif untuk lokasi janjian, tak ada gedung teater, tak ada museum. Apalagi gedung-gedung tinggi menjulang. Bangunan-bangunan tua masa kolonial sudah tak berbekas—atau jangan-jangan memang tidak ada.
Ia juga tidak yakin kalau kota ini, betul-betul punya bangunan tua yang dibangun dari masa silam. Meski seorang bupati, pernah membangun kota pasca perang, melaksanakan pembangunan dengan spirit yang mengagumkan. Dari pembangunan yang pernah dilakukan bupati tersebut, seolah kota ini benar-benar baru didirikan untuk pertama kali dengan tata kota yang baru dirancang.
Ia tidak tahu pasti apakah kota ini pernah dibumihanguskan oleh penghuninya sendiri di masa perang kemerdekaan—sebagaimana pernah terjadi pada beberapa kota, di antaranya, seperti Bandung.
**
Di luar semua persoalan tadi, dipastikan semua penghuni dari beberapa generasi, masing-masing pernah punya kenangan terhadap sudut dan lekuk kota, yang mengaitkannya secara pribadi maupun kolektif, pada peristiwa dari berbagai tahun yang silih berganti. Tapi kenangan masing-masing orang dari berbagai usia mengenai ini kota, jelas tidak bisa dimiliki oleh semua orang: tak bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Kecuali, kota ini hendak menceritakan semua riwayat dan kenangannya, melalui mata dan mulut orang yang pernah hidup bersama sejarah dan peristiwa yang berlangsung kota ini. Termasuk mengenai orang-orang yang pernah menyinggahi, memukimi, hidup di dalamnya, sebelum mereka berdiaspora. Atau sebagian yang lain yang kini tua dimangsa waktu.
**
Pada jalanan depan perpustakaan, ke arah barat setelah jembatan yang kemudian menikung ke kiri, ada jalan lebih kecil lain mengarah ke utara, ke bukit hutan kota. Pada jalan yang menikung ke arah kiri, sebelum kembali mengarah ke barat, berjajar warung di tepi jalan. Satu di antaranya adalah warung kopi. Di pinggir sungai yang cukup ramai dari pagi hingga sore atau malam hari.
Sungai di bawah warung kopi tersebut saat hari sedang mendung hingga hujan turun, kerap berwarna coklat. Alran sungai membawa serta bersamanya lumpur-lumpur dari kaki-kaki bukit dan gunung. Sungai ini tak lain adalah sungai utama yang menjadi tulang punggung sejarah kota: yang mengingatkan kita pada seorang tokoh, yang namanya dirawat oleh masyarakat nyaris menjadi legenda.
Di hulunya, pernah dibangun sebuah dan lawas yang membendung sungai. Menjadikannya bercabang dua: satu cabang mengalir ke timur, mengairi sawah-sawah di timur kota. Sementara aliran utamanya mengarah ke selatan. Sebelum berbelok ke timur, aliran itu akan bergabung dengan badan sungai lain yang mengalir dari barat. Sungai ini kemudian menyatu dengan sungai yang disebut terakhir. Menjadi sungai dengan arus lebih besar, dengan nama lebih unik, menandai sejarah kota ini lebih jauh lagi.
**
Kota ini seperti daerah yang menyelip di kaki pegunungan-perbukitan yang luas. Ia menjadi kota yang tanpa kelebihan, andai tak punya pantai di arah selatannya; bila tak ada tanah-tanah (ladang dan kebun) yang ditanami cengkih, durian, manggis, pisang, ketela pohon.
Kota ini tak memiliki transportasi umum, yang menyediakan banyak pilihan bagi para pendatang. Ini barangkali karena faktor, di antaranya, dulu jarang dikunjungi orang. Karenanya hal tersebut tidak perlu jadi pertimbangan. Sebab, transportasi antar-kecamatan yang memang penting, tersebab harus melintasi daerah lereng bukit dan gunung, kini sudah jarang didapatkan. Pilihan moda di dalam kota hanya becak, atau satu-dua dokar, sementara antar-kecamatan adalah colt (angkutan desa), yang bisa mengantarkan kita pada tujuan-tujuan yang dimaksudkan.
**
Yang sebetulnya cukup bernilai dan menantang untuk dijelajahi, justru adalah jalan-jalan perdesaannya: yang menggurati daerah-daerah kecamatan di punggung pegunungan dan perbukitan, yang mengepung pusat kota.
Tentu saja, kota ini menjadi hidup oleh keberadaan desa-desa yang secara mayor bertebaran di kaki-kaki bukit atau di lembah-lembah pegunungan itu. Tanpa desa-desa ini, niscaya kota kecil ini tidak menyakinkan adanya. Desa-desa tersebut seolah sumbu-sumbu yang menyalakan cahaya kota.
Desa-desa tumbuh di hamparan bukit, dikerubungi pohon-pohon, hutan-hutan hijau dengan semak belukar dan alang-alang. Di desa-desa tersebut segalanya, katakan saja, adalah yang terbaik: manusia, alam, hewan-hewan ternaknya, segala yang ditanam pada petak-petak serta pematang-pematang sawah dan kebun-kebunnya. Lelaki dan wanitanya adalah tipikal manusia berkualitas.
Hanya di desalah tersedia tempat yang nyaman dan aman. Air dan makanan melimpah: apa yang ditanam, ketela dan umbi-umbian menjadi makanan dengan kadar kesehatan yang bagus, kecuali pada masa kekeringan. Di desalah, tempat dan suasananya menjadi seperti hamparan yang suka-suka ditiduri sepanjang malam tanpa harus takut kehilangan, atau dibelenggu rasa khawatir, saat tiba pagi hari. Bahkan kawanan ternak seolah tahu jalan pulang: antara ladang rumput dan kandang.
Selain pohon dan semak, desa-desa itu ditumbuhi batu dengan dengan berbagai bentuk dan ukuran: ada yang sebesar rumah dan gajah, dan ada yang ukurannya di bawah itu. Berwarna hitam legam. Batu-batu dalam ukuran jumbo itu seolah berguling ke bawah dari atas gunung-gunung yang menjulang. Batu-batu besar itu memenuhi kaki bukit dan sungai-sungai yang membelah lembah-lembah di bawah gunung di desa-desa.
***
Ia dulu sering duduk-duduk di sebuah warung kopi di pojok kota, dari sore hingga memasuki malam hari. Di sana, ia bertemu dan berbincang dengan berbagai orang. Mencermati isi obrolannya yang memang perlu didengar atau sekadar diceritakan hanya untuk dibagi. Sembari menyaksikan orang berlalu-lalang dan mengamati langit cerah disergap malam hari. Lalu pulang pada saat pohon-pohon kehilangan siluet, demikian pula bangunan-bangunan dan rumah yang berdiri kokoh di pinggir-pinggir jalan mulai kehilangan bayangan.
Mayoritas masyarakat di sini hidup sebagai petani, sisanya adalah nelayan dan pegawai. Pekerjaan yang disebut terakhir, kata orang, pekerjaan favorit orang se-kabupaten. Tapi yang pergi mbabu ke luar negeri juga tak kalah banyak.
Seorang pejabat yang hobi membaca, pernah menyebut kota ini dengan metafora Turangga Yaksa. Kota Trenggalek adalah buto yang butuh orang-orang yang tepat dan terampil mengelola.
To be continued…