Pembina(sa)an Dewan Kesenian

Beberapa hari lalu saya melihat beberapa foto melintas di beberapa linimasa kawan di medsos: sekelompok orang berlatar belakang tulisan, ”Pembinaan Dewan Kesenian” disusul dengan, ”Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Trenggalek.” Ini sungguh merupakan kejutan.

Berdekat-dekat dengan lembaga yang biasanya (hanya) tampak seksi dari kejauhan itu sejak awal 2000-an, dengan menjadi pengurus harian Dewan Kesenian Jawa Timur (Komite Sastra) dan kemudian pernah pula menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek (selanjutnya saya singkat dengan: DK-Treng), baru kali ini saya mengetahui ada acara dengan nama ini: Pembinaan Dewan Kesenian. Ada yang luput dari perhatian saya sebelum ini? Boleh jadi. Tetapi, tetap saja saya menganggap ini sebagai sesuatu yang ganjil.

Sebenarnya, sangat dilematis bagi saya untuk me-nyuntak uneg-uneg ini. Persoalannya, saya pernah menjadi Ketum DK-Treng yang ibarat mati suri di era kepengurusan yang saya ketum-i. Tetapi, akhirnya saya sampai pada anggapan bahwa justru akan lebih berdosa-lah jika saya mendiamkan perkara kecil ini. Saya sebut sebagai perkara kecil karena bisa jadi ini hanya soal pilihan kata. Soal redaksional.

Pembinaan sering dilakukan untuk merawat sesuatu yang sering rusak/aus dan sebagainya (ingat: bina marga), atau menangani sesuatu yang cenderung menyimpang atau menyeleweng (pembinaan untuk anak-anak nakal). Maka, pada akhirnya kita akan sampai pada pertanyaan, ”Sudah benar-benar mendesak-kah pembinaan itu dilakukan untuk DK-Treng?”

Jawab: ”Ya, sudah mendesak!” Kalau jawabnya: ”Belum mendesak,” atau ”Tidak perlu,” bukankah kegiatan Pembinaan DK-Treng itu tidak akan terlaksana? Lah, kok malah jadi pertanyaan lagi!

Baiklah, kita anggap jawaban paling tepat ya itu tadi, ”Keadaan sudah mendesak untuk dilaksanakannya Pembinaan (terhadap) DK-Treng. Berarti, DK-Treng adalah semacam anak nakal, sehingga perlu dibina? Atau sudah rusak? Tentu, rusaknya sebuah lembaga, institusi, berbeda dengan rusaknya jalan raya. Mungkin sistemnya tidak berjalan dengan baik karena kurang pelumas, atau sekrup-sekrupnya banyak yang karatan atau malah mrotholi.

Kalau dikatakan dengan bahasa blakotang, DK-Treng itu sebenarnya memang cenderung mandeg karena menghadapi jalan dengan tanjakan yang tajam, sedangkan mesinnya masih berbahan bakar nasi pecel. Seperti sepeda onthel itu, lo! Bukan sepeda motor. Kalau sepeda motor kan jelas, punya mesin yang dijalankan dengan bahan bakar minyak, yang baru bisa mengalir secara lancar jika dicantolkan di APBD. Fakta selama ini? Boten wonten.

Itu dalam soal keuangan. Di sisi sarana, untuk keperluan rapat atau  diskusi, tempat selalu dipinjami. Tetapi, selama lebih dari lima tahun yang saya ketahui itu sebiji komputer pun tak pernah punya. Padahal, harusnya DK-Treng bekerja dengan modal data: seniman dan kesenian di Trenggalek. Pada awalnya memang tidak diperlukan komputer itu, la wong datanya juga belum punya. Lalu berupaya mengumpulkan data, dan karena tetap tidak diberi kesempatan untuk memiliki komputer, data itu disimpan di dalam komputer pribadi. Ini bisa berakibat fatal. Ketika dibutuhkan lagi, file data yang dikumpulkan dengan cucuran keringat dan uang itu bisa saja hilang tak tentu rimbanya.

Nah, lebih kurang seperti itulah gambarannya. Maka, dengan kata lain, jika kita hendak memakai istilah ’rusak’ lembaga bernama DK-Treng itu ya memang sudah rusak sejak awalnya. Bukan rusak karena dijalankan dengan kapasitas beban yang berat dalam jangka waktu tertentu. Cekak-aos-nya begini:

Ada motor mogok. Tidak bisa dijalankan dengan sempurna. Lalu, dipanggillah juru-mekanik dari bengkel tepercaya. Proses service pun dilakukan, dari membersihkan karburator, nyetel rem, ngecek klakson, lampu sein (sign), lampu rem, lampu depan. Pokoke service komplit-lah! Selesai, juru mekaniknya tidak perlu njajal menghidupi mesinnya. Perlu diingat, sepeda motor ini tidak bisa diperlakukan begitu karena mereknya bukan Yamaha atau Honda, melainkan DK-Treng. Ladalah, arepa dikramasana banyu kembang (eh, ini nyambung enggak, ya?) lihat itu: tengkinya bukannya berisi bensin atau pertamax, melainkan beras kencur dan nasi pecel! Apa ya enjuh mlaku dengan sempurna? Kira-kira demikianlah yang terjadi.

***

Istilah ’pembinaan’ yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai hanya urusan kecil, sebetulnya bisa tampak sedemikian besar jika dipandang dari sudut tertentu. Dan dari sanalah saya memandangnya. Lebih jelasnya, pandangan saya begini: Dewan Kesenian adalah sebuah lembaga yang diinisiasi oleh Pemerintah, jika tidak salah atas dasar permendagri ketika saat itu menterinya bernama Rudini. Dewan Kesenian adalah lembaga yang mewakili para seniman di satu wilayah yang bekerja untuk, antara lain, menghasilkan buah pikiran yang kemudian disampaikan ke pihak pemerintah (dalam hal DK-Treng adalah: Pemkab Trenggalek c.q. dinas terkait). Buah pikiran itu bisa berbentuk rekomendasi, usulan, saran, kritik, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kesenian.

Yang terjadi beberapa waktu lalu di Hotel Hayam Wuruk itu adalah ini: DK-Treng yang tampaknya baru bisa mengisi tangki bahan-bakarnya dengan nasi pecel Mbah Suti itu dumadakan dibina (oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan?) Jika persis seperti itu, sekali lagi, jika persis seperti itu, loh kok cik nglamake Dinas Pariwisata itu? Kok gak sungkan ambek Mas Ketum-e, ya? Terasa makin ganjilnya di sini: di dalam foto yang saya lihat di linimasa itu, wajah-wajah kawan-kawan seniman, pengurus harian DK-Treng, tampak semua bahagia. Lho, lak remuk tenan, ta? Kok mereka seneng berada dalam posisi ter-subordinasi, terhegemoni, atau terkooptasi, atau manalah istilah yang lebih tepat.

Karena produk struktural-nya hanya berupa rekomendasi, usulan, saran, kritik, belum dibegitukan saja (baca: dibina) posisi lembaga yang membawa aspirasi para seniman itu sebenarnya sudah lemah. Maka, ketika sebuah rekomendasi atau usulan atau saran oleh DK dipandang penting tetapi kemudian tidak diindahkan oleh pemerintah (Dinas Pariwisata atau Dinas Pendidikan) biasanya yang keluar kemudian adalah kritik yang bisa meruncing menjadi demonstrasi. Wujud demonstrasinya bisa bermacam-macam, bisa berupa parade orasi, baca puisi, pementasan teater. Kini, ketika DK-Treng sudah dibegitukan itu, belum sempat kasih saran saja sudah dibina, kuwi mengko nek kelakon demo rak ya sida dibinasakan tenan?*

Artikel Baru

Artikel Terkait