Penasehat raja berbaring lemah. Sudah hampir sebulan ia sakit parah. Sebagai penasehat raja—jabatan tertinggi di bawah raja—tentu hal ini membuat prihatin semua: lingkungan istana dan rakyat, juga sang raja sendiri. Mendung duka menggelayut di istana, tempat sang penasehat dirawat, yaitu di salah satu balkon kompleks istana.
Hari itu sudah menjelang siang. Raja diiringi para pembesar menjenguk sang penasehat. Kondisinya bertambah lemah saja. Namun ketika raja dan rombongan datang, ia masih bisa menyambut dengan selayaknya, meski hanya anggukan dan gerakan-gerakan tangan yang lemah. Sejenak kemudian raja mendekat di pembaringan dan menyorongkan muka mendekatkan telinga ke penasehat raja. Ada sesuatu yang nampaknya ingin disampaikan oleh sang penasehat. Para pembesar dan tabib-tabib kerajaan hanya menyaksikan dari jauh, mengitari pembaringan. Nampaknya penasehat raja sudah merasakan ajalnya semakin dekat. Ia ingin menyampaikan sesuatu kepada raja.
“Hati-hati dengan Gezza Mott paduka. Dia pejabat yang berbahaya. Dia rakus dan ambisius, ” kata penasehat raja. Suaranya lirih, tak terdengar yang lain, kecuali raja sendiri. Gezza Mott adalah menteri utama kerajaan. Dialah yang memiliki kewenangan besar atas jalannya pemerintahan sehari-hari, termasuk memungut pajak dan mengumpulkan upeti. Mendengar bisik sang penasehat itu, raja manggut-manggut dan tersenyum. “Itu saran yang sangat bagus Bapa. Tapi, bukankah pejabat rakus dan ambisius itu menguntungkan kita, penguasa..,” kata raja lirih dan kemudian meninggalkan tempat. Sebentar kemudian sang penasehat wafat.
Adegan di atas adalah penggalan (scene) film Last Knights yang dibintangi oleh, antara lain, Morgan Freeman, Clive Owen, Cliff Curtis dan bintang jelita Korea Park Si-yeon. Film yang diperkirakan mengambil setting masa pemerintahan Raja Arthur yang hidup sekitar abad 4 atau 5 Masehi itu selain enak ditonton juga mengandung pesan moral yang tinggi. Dan yang paling mengusik adalah kenyataan bahwa jual beli jabatan adalah praktik yang sudah terjadi di jaman itu.
Praktik kuno ini nyatanya sampai sekarang masih terjadi, bahkan tumbuh subur di jaman yang katanya sudah semakin modern dan beradab ini. Dalam film itu digambarkan bagaimana tokoh Geza Mott yang nyata-nyata adalah pejabat kerajaan yang suka memeras dan menyengsarakan rakyat, justru adalah orang yang sangat dekat raja dengan kewenangan yang demikian luas.
Rentetan OTT terkait jual beli jabatan sektor publik terus terjadi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam rilisnya, sepanjang 2018 yang lalu, misalnya, KPK telah mengungkap 4 kasus suap terkait jual beli jabatan, semuanya melibatkan kepala daerah. Terakhir, tertangkapnya Ir. H. M. Romahurmuziy, Ketua Umum PPP dalam OTT KPK di Surabaya terkait suap di lingkungan Kementerian Agama. Praktik kotor yang umumnya hanya melibatkan pejabat pembina kepegawaian di pemerintahan, ternyata sekarang berkembang dengan melibatkan pihak di luar birokrasi, khususnya partai politik, kata Sofian Effendi, Ketua Komisi ASN.
Sebagaimana pernyataannya yang dimuat harian Kompas (Senin, 18 Maret 2019), Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Effendi, juga menyampaikan bahwa selama kurun 2018, KASN menerima 13 laporan jual beli jabatan di kementerian dan pemerintah daerah dan saat ini masih didalami dan akan dilaporkan ke KPK karena keterbatasan kewenangan KASN.
Ibarat fenomena gunung es, praktik jual beli jabatan ini diduga masif. Dalam keterangannya, wakil ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan bahwa KPK telah membuat analisis yang menunjukkan ada potensi besar kegiatan transaksi jabatan terjadi di kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Dan transaksi ini tidak hanya terkait jabatan pimpinan tinggi, tetapi juga hingga tingkat yang lebih rendah. Merit system dan perekrutan calon pejabat tinggi harus dievaluasi secara menyeluruh, berikut pengetatan pemilihan anggota-anggota panitia seleksi rekrutmen calon pejabat, kata Sofian Effendi, melanjutkan.
Merit system dalam birokrasi
Sejatinya sistem merit adalah roh reformasi birokrasi. Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan kode perilaku ASN dibentuklah Komisi ASN (KASN).
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, disebutkan bahwa manajemen ASN didasarkan atas sistem merit. Rigiditas sistem itu terlihat misalnya terkait dengan pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama di instansi daerah kabupaten, yaitu jabatan setingkat sekretaris daerah/kepala badan/dinas. Mula-mula pejabat pembina kepegawaian, yaitu bupati di tingkat daerah kabupaten, terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih disampaikan kepada pejabat pembina kepegawaian melalui pejabat yang berwenang. Pejabat pembina kepegawaian kemudian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon tersebut untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama. Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin sekretariat daerah kabupaten, yaitu sekretaris daerah, sebelum ditetapkan oleh bupati dikoordinasikan lebih dahulu dengan gubernur.
Pun dalam membentuk panitia seleksi, bupati berkoordinasi dengan KASN. Panitia seleksi instansi pemerintah terdiri dari unsur internal maupun eksternal instansi pemerintah yang bersangkutan, dipilih dan diangkat oleh bupati berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kompetensi, rekam jejak, integritas moral, dan netralitas melalui proses yang terbuka. Panitia seleksi melakukan seleksi dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, integritas, dan penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian (assesment center) atau metode penilaian lainnya. Panitia seleksi menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi pengisian jabatan terbuka untuk masa tugas yang ditetapkan oleh bupati.
Hal ini sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang mulai dicanangkan sejak tahun 2004 dan diharapkan tuntas tahun 2025. Reformasi birokrasi sendiri adalah bagian dari feformasi total dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan reformasi birokrasi adalah mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat melalui penerapan prinsip-prinsip clean goverment dan good governance. Program utamanya adalah membangun aparatur negara dengan sasaran terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Ada 8 area perubahan dalam reformasi birokrasi, yaitu menyangkut organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik; dan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur.
Reformasi birokrasi diharapkan tuntas pada tahun 2025 melalui pelaksanakan road map reformasi birokrasi secara bertahap dan berkesinambungan. Keberhasilan reformasi birokrasi ini akan berdampak langsung dan positif terhadap masyarakat, ditandai dengan tidak adanya korupsi, tidak adanya pelanggaran, APBN dan APBD yang baik, semua program selesai dengan baik, semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat, komunikasi dengan publik baik, penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif, penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan dan hasil pembangunan yang nyata berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan.
Seperti disebutkan di atas, untuk mewujudkan manajemen ASN berbasis sistem merit tersebut dibentuk komisi ASN yang bertugas menjaga netralitas pegawai ASN, melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN dan melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan manajemen ASN kepada presiden. Dalam melakukan tugas dimaksud KASN dapat melakukan penelusuran data dan informasi terhadap pelaksanaan Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen ASN pada instansi pemerintah, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa, menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku pegawai ASN, melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku pegawai ASN, dan melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku pegawai ASN.
Jauh panggang dari api
Dalam berbagai kesempatan, termasuk di tingkat nasional, undang-undang tersebut sering dikritik karena menempatkan pejabat pembina kepegawaian yang notabene pejabat politik yang memiliki kewewenangan sangat besar. Dalam pengisian jabatan pimpinan tinggi, misalnya, pejabat pembina kepegawaian memiliki kewenangan menunjuk dan menetapkan panitia seleksi, baik dari unsur internal dan eksternal. Termasuk penunjukkan lembaga assesment centre yang sebenarnya sebagai lembaga independen, diharapkan akan bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. Pejabat pembina kepegawaian juga harus berkoordinasi dengan KASN dalam proses pengisian jabatan tersebut.
Pada kenyataannya, sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat pembina kepegawaian memiliki kesempatan yang cukup dalam merancang panitia seleksi untuk memuluskan keinginannya, termasuk target-target pribadinya. Sebagai lembaga tingkat nasional, KASN terlalu jauh menjangkau, mengawal dan melakukan supervisi atas proses seleksi atau lelang jabatan, mengingat KASN adalah lembaga nasional yang tidak memiliki kepanjangan tangan di daerah. Span of control –nya terlalu jauh. Pun, KASN memiliki kewenangan sebatas memberikan rekomendasi kepada pejabat pembina kepegawaian yang dalam pelaksanaannya tidak memiliki daya ikat yang kuat.
Pada tahap selanjutnya, proses seleksi oleh panitia maupun lembaga assesment centre yang dibentuk pejabat pembina kepegawaian dalam menjalankan tugasnya ibarat black box, kotak hitamyang tidak bisa diikuti dan dikontrol secara transparan oleh publik. Nilai-nilai setiap materi ujian seleksi atau lelang jabatan pada assesment centre, misalnya, tidak bisa diakses secara luas oleh publik, bahkan calon yang bersangkutan sekalipun. Seluruh tugas dan hasil panitia seleksi hanya dilaporkan dan menjadi konsumsi pejabat pembina kepegawaian. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam proses lelang jabatan, selalu diiringi rumor adanya “calon jadi” dan “calon pendamping”. Rumor ini sangatlah beralasan, mengingat banyak penetapan pejabat tinggi pratama yang pada akhirnya tidak memenuhi harapan publik. Panitia seleksi menghasilkan 3 kandidat untuk lowongan 1 jabatan pimpinan tinggi.
Tahapan berikutnya, 3 kandidat tersebut disodorkan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk dipilih dan ditetapkan salah satu dan tidak harus kandidat peringkat 1. Adalah hak prerogatif pejabat pembina kepegawaian untuk memilih satu calon dengan berbagai alasan yang sering mengada-ada dan lebih bersifat subyektif. Dalam setiap proses lelang jabatan, selalu didengung-dengungkan bahwa yang utama bagi pejabat pembina kepegawaian adalah bahwa calon tersebut akan menjadi teamwork yang harmonis, baik dengan pimpinan maupun koleganya. “Pejabat tidak harus pintar, tetapi yang penting ngerti dan harus loyal kepada pimpinan dan harmonis dengan anggota tim yang lain”, demikian ungkapan yang sering kita dengar. Ini adalah pernyataan yang menjerumuskan dan mengelabuhi masyarakat, karena di dalamnya sarat dengan kepentingan pribadi. Proses yang seharusnya didekati secara ilmiah, obyektif dan transparan akhirnya menjadi abu-abu lagi dan sangat subyektif.
Dalam suatu proses seleksi yang juga melibatkan lembaga berintegritas seperti assesment centre, tentu semua aspek personal dari peserta lelang telah diuji secara profesional melalui metode-metode kuantitatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mulai dari aspek intelegensia, aspek sosial, kepemimpinan, kerjasama, ketahanan diri menghadapi tekanan dan sebagainya. Karena itu hasil seleksi tersebut akan menggambarkan sosok pejabat yang bersangkutan secara utuh, termasuk kemampuan yang bersangkutan untuk “ngerti” misalnya, tentu dalam konotasi yang benar. Hal ini sering menjadi dalih pejabat pembina kepegawaian untuk memilih calon secara subyektif dan siap menjalankan kepentingan pribadeinya. Ini sekaligus juga menjadi penjelasan mengapa sering terjadi penunjukkan pemenang lelang jabatan yang tidak memenuhi harapan publik. “Selera” pimpinan sering berbeda dengan “selera” umum.
Publik umumnya juga sering dikelabui dengan opini bahwa “tugas di atas meja itu hampir semua orang bisa melakukan, sementara tugas di bawah meja hanya orang tertentu yang bisa melakukan dan ini yang tahu adalah pimpinan”. Ini tentu pernyataan yang membodohkan. Dalam kenyataan bisa kita saksikan, berapa banyak pejabat yang profesional di bidangnya. Menurut saya, tugas di atas meja itulah yang lebih berat, karena hal itu menggambarkan kapasitas dan kapabilitas pejabat serta komitmen untuk memberikan layanan yang prima kepada masyarakat. Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, ketika seorang pejabat hanya piawai “main di bawah meja” sementara tugas pokoknya terbengkalai. Ia hanya bermanfaat bagi penguasa. Apa susahnya bagi semua orang untuk “main kucing-kucingan” kalau mau. Hari gini, tentu itu perbuatan yang konyol. Justru tekad untuk membuat semuanya menjadi “terang benderang” adalah perjuangan yang harus terus diupayakan.
Saat ini undang-undang ASN terus dievaluasi oleh pemerintah berdasarkan masukan masyarakat dan pengalaman implementasinya. Isu lokus pejabat pembina kepegawaian salah satu yang dikaji, apakah tetap berada pada kepala daerah atau sekretaris daerah yang notabene merupakan pejabat karir, sehingga diharapkan lebih resisten terhadap intervensi pihak luar. Dalam evaluasi juga ada upaya penguatan KASN berupa pendirian perwakilan kantor di daerah.
Sambil menunggu hasil evaluasi menuju situasi yang kondusif bagi terwujudnya sistem merit tersebut, yang tidak kalah penting adalah keianginan dan upaya untuk mewujudkan transparansi dalam semua tahapan proses lelang jabatan, sehingga publik juga mendapat kesempatan untuk mengawal prosesnya. Misalnya, hasil atau nilai ujian pada setiap tahap seleksi bisa diakses publik. Syukur ada terobosan, berupa debat publik bagi setiap kandidat secara terbuka atas program kerja yang ditawarkan. Atau paling tidak, tes-tes wawancara dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Segala upaya tersebut tidak saja merupakan ikhtiar untuk mewujudkan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN, yaitu suatu proses yang bebas dari KKN, baik transaksi finansial/jual beli jabatan maupun pengangkatan atas dasar kroni dan keluarga (spoil system). Pengingkaran atas upaya ini pada akhirnya hanya menyengsarakan rakyat, karena masyarakat dilayani oleh pejabat-pejabat yang tidak kapabel. Banyak jalan menuju kekuasaan, tetapi yang pasti hanya ada satu jalan untuk menghasilkan pejabat-pejabat yang profesional, visioner dan akuntabel, yaitu lelang jabatan yang transparan dan akuntabel, dilaksanakan oleh pejabat dan lembaga yang berintegritas.
Semua pihak yang terlibat, khususnya peserta lelang juga menahan diri untuk berbuat curang dengan membeli jabatan. Apa gunanya jabatan kalau tidak amanah dan diperoleh secara curang? Lelang jabatan yang transparan dan akuntabel akan menghasilkan pejabat yang memenuhi harapan masyarakat, yaitu mereka yang mampu memberi layanan prima kepada masyarakat dan ahli di bidang masing-masing. Syukur-syukur lelang jabatan bisa menghasilkan pejabat sekaliber Pak Ndul, yang ahlinya ahli, intinya inti dan core of the core. Kwk….kwk…kwk. *)