Menarik untuk melihat lebih lanjut hubungan antara petani dan sistem kepemilikan tanah di perdesaan Jawa. Dalam banyak studi mengenai masalah agraria, beberapa pendapat umum menyatakan bahwa pertanian berkait erat dengan kepemilikan tanah. Masalah-masalah mengenai perubahan dalam pola penguasaan tanah memiliki implikasi langsung dengan perubahan struktur sosial perdesaan, peningkatan produksi dan perbaikan distribusi hasil pertanian. Menurut Sartono Kartodirdjo, distribusi tanah memiliki hubungan sebab akibat dengan kemiskinan dan pendapatan yang tidak merata.
Sebagian besar wilayah perdesaan Jawa memiliki homogenitas dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan bertumpunya pada sektor-sektor pertanian. Jawa (khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah) telah menjadi kawasan pertanian sejak berabad-abad silam. Pertanian dengan masyarakat petaninya yang homogen, stagnan, membagi kemiskinan bersama, berpola hidup subsisten serta tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Hal ini berlanjut hingga pasca kemerdekaan yang disebut Geertz sebagai involusi pertanian. Sebuah tesis yang mendapat banyak penyangkalan namun tetap menjadi rujukan.
Tonggak penting mengenai masalah pertanahan di Indonesia adalah ketika diundangkannya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit tahun 1870, yang kemudian berdampak pada penggunaan tanah secara efektif oleh perusahaan-perusahaan swasta. UU Agraria 1870 memisahkan antara tanah negara dan tanah milik penduduk. Inti dari UU ini adalah tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh penduduk sebagai tanah milik mereka dijadikan sebagai tanah negara.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada status kepemilikan tanah setelah tahun 1870 tidak cukup berarti sampai dirombaknya sistem kepemilikan tanah dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Mencangkup panca (lima) program, sebagai berikut: pembaharuan hukum agraria; penghapusan hak–hak asing dan konsesi–konsesi kolonial atas tanah; mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur–angsur; perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah; serta, perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia.
UUPA 1960 meletakkan dasar-dasar land reform, serta dasar-dasar untuk mengubah struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi yang berdasarkan perkembangan industri dan pertanian yang seimbang. Undang-undang ini yang nantinya diharapkan akan mengurangi wewenang yang berlebihan dari tuan tanah, menghapus sisa-sisa feodalisme, dan menghapus dominasi warisan hukum kolonial dengan mendasarkan rancangan UUPA pada hukum adat. Tujuan akhir UUPA adalah penitikberatan pada penguasaan sumber daya alam (salah satunya adalah tanah) untuk kesejahteraan rakyat (implementasi dari UUD 1945 pasal 33).
Kegoncangan politik pada pertengahan dekade 1960-an menyebabkan UUPA dipeti-eskan dan program land reform dihentikan. Penghentian ini sangat berkaitan dengan isu bahwa Partai Komunis Indonesia yang getol membawa isu land reform merupakan penyebab tunggal gerakan 30 September.
Revolusi berlanjut dengan program Swa Sembada Bahan Pangan (SSBM) pada dekade 1960-an yang mengawali terjadinya Revolusi Hijau. SSBM menitikberatkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tradisi masyarakat petani tradisional untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian mereka. Kondisi yang kemudian menjadi masalah di kemudian hari.
Program SSBM semakin ditingkatkan kadar penetrasinya dengan melakukan bimbingan massal (BIMAS) pada sektor pertanian yang direncanakan oleh sebuah badan bernama Departemen Perancangan Nasional. Departemen ini merumuskan program swasembada beras melalui, salah satunya, intensifikasi pertanian selama kurun tahun 1961-1969 dalam Rencana Pembangunan Semesta (insentif dikerjakan pada kurun tahun 1963-1964).
Produksi beras perkapita yang kurang dari 90 kg per tahun pada tahun 1961-1962 harus ditingkatkan di angka 93 kg-100 kg per kapita per tahun pada tahun-tahun sesudahnya. Kegagalan dimulai dari sini. Dalam skala global, intensifikasi dilakukan sekaligus diversifikasi (negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Asia tidak hanya meningkatkan beras tapi sekaligus juga gandum dan jagung), tapi tidak untuk Indonesia.
Pelaksanaan program SSBM yang tidak tepat sasaran membawa modernisasi teknologi pertanian ke arah yang tidak diharapkan. Ketidakmampuan petani untuk menerima teknologi baru menjadi sebuah alasan lain kenapa dalam beberapa hal, Revolusi Hijau mengalami kemandegan dan stagnasi. Petani desa tidak mampu beradaptasi dengan inovasi yang terjadi pada lingkungan perdesaan. Di lain pihak, tradisi petani penggarap dengan sistem upah bawon tidak lagi familiar. Meminjam istilah Donner, salah satu konsekuensi dari ekspansi tanah-tanah pertanian yaitu menghilangnya “tanah-tanah komunal yang digembalakan”.
Revolusi Hijau, pada akhirnya hanya menguntungkan petani -petani kaya. Petani subsisten dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar, apalagi petani tuna kisma yang hanya mengandalkan bagi hasil tani semacam derep dan bawon, makin tertindas. Kredit yang digelontorkan pemerintah pusat hanya bisa dinikmati petani dengan lahan luas. Bagi petani subsisten, mengambil kredit terlalu berisiko kehilangan lahan. Kredit juga mengakibatkan masuknya uang ke perekonomian desa semakin besar. Sistem bagi hasil sedikit demi sedikit tidak digunakan diganti dengan sistem pengupahan.
Modernisasi yang sarat dengan unsur “dipaksakan” dalam Revolusi Hijau berakibat baik dan buruk pada proses pelaksanaannya. Di satu sisi, rata-rata hasil padi meningkat, namun di sisi lain, konsekuensi muncul dengan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja dalam sektor pertanian, yang berdampak buruk pada urbanisasi masyarakat di perdesaan Jawa. Tekanan besar terjadi pada konsep solidaritas perdesaan Jawa dan mekanisme pertanian tradisional serta petani tanpa tanah yang jumlahnya lebih dari setengah dari jumlah penduduk perdesaan Jawa. Modernisasi selalu membawa dua bilah mata pisau atas-bawah sama tajam. Konsekuensi yang harus ditanggung atas peningkatan volume produksi memiliki implikasi yang sangat besar pada potensi rusaknya lingkungan alam.