Dalam Prasasti Surodakan yang dikeluarkan oleh Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya (bergelar Widjajapara-kramawardana) pernah diresmikan sebuah perdikan dharma Rajasakusumapura di Waringin Pitu. Prasasti berisi perintah pengukuhan status tanah sebagai perdikan kerajaan (radja-dharma) ini juga diiringi perintah 14 orang raja-daerah, dan di-tadah oleh 3 orang Rakrian Katrini atau tiga orang menteri penting: Ino, Sirikan dan Alu.
Perdikan ini ditetapkan dengan suatu piagam kerajaan yang berisi penetapan kedudukan “perdikan-darma” (di) Waringin Pitu menjadi ”perdikan kerajaan” dengan nama Radjasa-kusuma-pura, yang dibubuhi cap lencana Kertawijaya (Raja Majapahit ke-7).
Jadi, meski lempengannya ditemukan di Desa Surodakan, Trenggalek, isi Prasasti Waringin Pitu sebetulnya sama sekali tidak berkaitan dengan Kabupaten Trenggalek. Tidak seperti Prasasti Kampak ataupun Prasasti Kamulan yang dikukuhkan—berturut-turut oleh Mpu Sindok dan Raja Dandang Gendhis—untuk meresmikan sebuah perdikan di wilayah Trenggalek. Dan prasasti ini ditemukan di Trenggalek dalam wujud lempengan tembaga, bukan dalam wujud prasasti batu. Atau barangkali Prasasti Surodakan memang dalam wujud lempengan tembaga saja tanpa prasasti batu?
Menurut kajian keprasastian (epigrafi), elemen prasasti umumnya terdiri dari unsur batu, lempengan, juga ada semacam yang tertulis di lontar (ripta). Kalau dua benda yang disebut terakhir bisa dipindah-tempatkan, elemen prasasti yang berupa batu biasanya dilarang atau sulit untuk dipindah-tempatkan (in situ).
Orang-orang zaman dulu membawa serta prasasti, baik lempengan maupun wujud yang tertulis di lontar/kertas, kemungkinan diakibatkan oleh beberapa hal, seperti sedang berkecamuk perang, atau karena tengah terjadi bencana alam seperti gunung meletus dan sejenisnya. Lalu, di manakah lokasi Waringin Pitu yang disebut dalam Prasasti Surodakan?
Dalam sebuah berita lawas berbahasa Belanda di situs www.delpher.nl, disebutkan bahwa Waringin Pitu berada di dekat Tulungagung. Benarkah? Tentu saja harus diuji dengan banyak referensi dan kroscek data. Meski sebetulnya, dalam Prasasti Surodakan, letak Waringin Pitu telah disebut batas-batasnya dengan jelas, hanya saja nama-nama lokasi (desa/tempat kuno) yang menjadi batas wilayah perdikan yang disebut dalam prasasti sulit untuk diidentifikasi. Nama-nama yang disebut termasuk nama-nama desa atau wilayah yang kini bisa jadi hilang atau telah berganti.
Menurut Boechari, zaman dulu sekurangnya terdapat dua jenis prasasti: pertama disebut Jayapattra atau Jayasong. Ini adalah prasasti jenis keputusan pengadilan (hakim) terhadap suatu peristiwa sengketa tanah serta mengenai lunasnya seorang dari jerat hutang. Sementara jenis kedua disebut Jayastambha. Jenis prasasti kedua ini berisi peresmian suatu desa yang dibebaskan dari pajak tanah, dan kadang berisi peringatan mengenai pendirian tanda kemenangan seorang raja terhadap musuh-musuhnya.
Adapun mengenai benda-benda yang kerap digunakan sebagai tempat atau bahan-bahan prasasti, di antaranya adalah batu (lingopala), tembaga (tamra), dan emas atau perak (swarna). Sementara berdasarkan abjad yang digunakan, sebagian ditulis dengan aksara Pallawa, Jawa Kuno (biasanya prasasti zaman Jawa Tengah dan Jawa Timur), Bali Kuno dan sebagian juga ditulis menggunakan aksara Melayu kuno (biasanya di Sumatra dan Kalimantan) juga Sunda Kuno (Jawa Barat).
Dokumen yang paling umum sebagai media untuk menyampaikan pesan dari pihak penguasa memang adalah prasasti. Meski sebagian terbuat dari batu dan logam, namun secara umum terbuat dari bahan tembaga. Penggunaan batu sebagai bahan untuk menulis, kata Supratikno Rahardjo, mungkin disebabkan oleh tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar diketahui khalayak, sehingga diperlukan sarana yang tidak dapat dengan mudah dipindah-pindahkan ke berbagai tempat.
Sementara jenis-jenis prasasti dari logam, umumnya berupa lempengan-lempengan pipih. Mungkin dimaksudkan untuk keperluan individu dalam jumlah terbatas sehingga memerlukan bahan yang dapat disimpan secara khusus dan mudah dipindah, agar sewaktu-waktu dapat diperlihatkan bila diperlukan sebagai barang bukti.
Oleh karena itu, prasasti-prasasti yang memuat pengumuman tentang kedaulatan atau pujian terhadap seorang penguasa, biasanya terbuat dari batu. Sementara prasasti-prasasti yang memuat ketetapan sīma biasanya terbuat dari logam. Meski pola-pola semacam ini juga tidak selalu konsisten. Karena dijumpai juga beberapa prasasti batu yang tidak memuat pengumuman bernuansa politik, misalnya prasasti batu berisi doktrin keagamaan tertentu (Supratikno Rahardjo, 2011: hlm. 135).
Menurut Boechari, rupanya proses penulisan prasasti pada zaman dahulu memerlukan media yang ditulis di atas ripta. Dalam menentukan suatu keputusan, misalnya saja tentang peresmian suatu bangunan suci, pemberian anugerah kepada orang atau sekelompok orang yang berjasa kepada raja, atau pemberian anugerah sīma untuk suatu proyek demi kepentingan umum, dll., raja dengan segenap pejabat tinggi di tingkat pusat mengadakan suatu musyawarah. Setelah sampai kepada suatu keputusan, maka rumusannya ditulis di atas ripta oleh seorang juru tulis (citralekha).
Rumusan yang ditulis di atas ripta itulah yang kemudian dibawa ke tempat peresmian bangunan suci, ke desa yang akan dijadikan sīma (perdikan) bagi orang atau sekelompok orang yang berjasa atau untuk pengelolaan suatu proyek demi kepentingan umum. Di desa itulah, pada suatu ketika, keputusan di atas ripta itu dipindahkan di atas batu atau perunggu.
Menurut keterangan Supratikno Rahardjo (2011: hlm. 25), bahwa dulu tradisi tulis di atas daun, seperti daun lontar dan seterusnya, kendati tak bertahan lama, telah dikenal lebih dahulu ketimbang tradisi tulis pada batu dan logam. Bahkan, kata de Casparis (1975), gaya penulisan huruf-huruf pada prasasti batu dan logam di Jawa, pada periode tertentu tidak meneruskan gaya penulisan prasasti batu dari masa sebelumnya, akan tetapi justru meniru gaya penulisan pada daun lontar.
Sebetulnya perdikan yang berdiri di Waringin Pitu ini adalah perdikan dharma yang batas-batasnya sangat jelas dideskripsikan di dalam lempengan prasasti, berikut jarak dan kelokan arah kanan-kiri-maju-mundur sekaligus jarak tempuhnya. Ukuran prasasti berdasarkan satuan dari masa lampau, yakni menggunakan satuan ”depa”, lagi luas perdikan tersebut sangat berkelok-kelok dengan satuan ukuran yang berbeda, belum lagi identifikasi nama-nama daerah kuno pada prasasti itu yang menyulitkan, serta bisa-bisa pembaca dibuat salah tafsir kalau tidak hati-hati.
Sederhananya, luas perdikan yang tertera dalam Prasati Suradakan, berdasarkan pengerucutan saya atas empat penjuru mata angin dari buku Yamin (Sapta parwa, Parwa II, 1962: hlm. 202-204), adalah sebagai berikut: sebelah timur berbatasan dengan ”Kamalagen”, sebelah tenggara berbatasan dengan ”Tumang” (di Prasasti nama Tumang ini kerap muncul alias sering disebut sebagai batas, karena itu nampaknya wilayah Tumang ini cukup luas). Dari Tumang menuju arah barat hingga Kali Musan. Ke arah Tenggara lagi sampai Klagen. Menuju arah barat daya sampai ke ”Biron”. Ke barat laut hingga Sarba. Menuju arah timur hingga Sadang. Ke arah timur lagi berbatasan dengan Asiran. Di sini juga disebut nama Bajalangu, batas Perdikan Waringin Pitu darinya berada 218 depa arah barat laut.
Itulah nama-nama batas dari Waringin Pitu. Kira-kira di mana lokasi lawas tersebut, saya tidak tahu. Barangkali saja di wilayah Tulungagung atau bahkan di wilayah timur Tulungagung. Karena ada nama Bajalangu (kini Boyolangu) disebut yang kini termasuk salah satu kecamatan di wilayah Tulungagung.
Di dalam prasasti ini juga dilengkapi dengan ancaman berupa sumpah kutuk bagi siapa saja yang merusak, menukar atau mengubah isi dari prasasti-raja tersebut. Tak peduli brahmana, ksatria, waisya ataupun sudra. Ancaman itu di antaranya tertera pada prasasti berbunyi (Yamin, Parwa II, 1962: hlm. 209): Selama bumi tegak berdiri—Mahameru gunung yang lain;–Selama itulah si dosa menderita—Karena merusak dharma-raja.