Menyehatkan Persendian Tangan dengan Menyumbat Kambil

Masyarakat desa selalu memiliki cara unik untuk setiap aktivitasnya. Aktivitas ini dilakukan secara turun temurun dari mbah-mbah buyut kita dahulu. Mbah-mbah buyut kitamemiliki kecerdasan lokal (local inteligence) di desa tempat mereka tinggal. Apalagi di Trenggalek, yang sebagian besar wilayah perdesaannya menempati wilayah perbukitan.

Sebagian besar Mbah-Mbah kita memang hidup menempati sebuah wilayah di perdesaan. Desa yang penduduknya bermata pencaharian pokok di bidang pertanian (bercocok tanam) dan nelayan.

Salah satu tradisi kecil yang lahir dari masyarakat agraris adalah cara mengupas kelapa alias nyumbat kambil. Berangkat dari kearifan lokal, tradisi itu mampu membantu kerja manusia hingga saat ini. Dengan peralatan sederhana dan seadanya, Mbah-Mbah kita tak menemui hambatan dalam melakoni hidup keseharian.

Sepuluh tahun ke depan mungkin kita tak bakal lagi menjumpai alat-alat tradisional untuk nyumbat kambil. Karena itu saya berupaya melakukan, mempraktikkan serta mendokumentasikan cara nyumbat kambil menggunakan alat tradisional berupa kayu dan linggis.

Berawal dari sebuah acara, yang kebetulan berada di rumah sendiri, saya tergerak untuk membantu orangtua dalam beberapa kegiatan. Salah satunya adalah nyumbat kambil. Proses untuk mendapatkan “intinya inti” buah kelapa, yakni buah yang berwarna putih untuk kebutuhan santan, minyak goreng (klentik) dengan menyisakan ampas yang disebut blondo. Dari semua itu, hal yang paling ribet adalah tahap pengupasan.

Kita tahu, pengupasan serabut (sabut) kelapa membutuhkan waktu dan tenaga lebih. Karena di bagian buah kelapa, sabut kelapa memiliki bagian yang relatif tebal. Ia mencapai 35 % dari berat keseluruhan buah. Selain, sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang setiap butir kelapa memiliki kandungan serat 535 gram (75 % dari sabut) dan gabus 175 gram (25 % dari sabut). Oleh karena itu, dibutuhkan waktu, gerak ritmis dan tenaga yang besar dalam mengupas kelapa dari seratnya, hingga tampak batok-nya.

Menyumbat Kambil

Nyumbat kambil merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat desa, khususnya masyarakat di perdesaan Jawa. Kebiasaan atau tradisi tersebut sering dilakukan saat kita akan memasak. Karena kita butuh santan untuk kelan (masak). Di acara hajatan (gawe) jumlah santan dan kebutuhan kelapa bisa dibilang sepuluh kali lipat dari jumlah sumbat-an di hari-hari biasa. Sebab, pengolahan makanan misalnya untuk membuatan jenang lan sak piturute membutuhkan buah kelapa dengan kuantitas ratusan.

Kebutuhan kelapa yang tidak sedikit tersebut, mengharuskan masyarakat desa mengupas kelapa dengan jumlah ratusan pula. Maka nyumbat kambil adalah satu-satunya jalan untuk memisahkan sabut kelapa dengan daging kelapa yang akan diambil santannya. Meski semakin ke sini, tradisi nyumbat kambil dan parut-parut klopo ini sudah mulai disisihkan dan digantikan mesin-mesin. Meski begitu, aktivitas nyumbat kambil dengan cara tradisional masih disukai masyarakat.

Meski banyak bermunculan mesin pengupas, menggunakan alat pengupas tradisional merupakan kesenangan tersendiri bagi saya. Sebab, nyumbat kambil juga memerlukan keahlian dan tenaga khusus. Apalagi alat yang digunakan adalah sebatang kayu sebesar tangan orang dewasa yang bagian atasnya runcing.

Alat konvensional tersebut biasa memanfaatkan kayu glugu atau kayu keras yang panjangnya se-pusar, dipasang secara vertikal supaya mudah dijangkau saat kita posisi sedikit jongkok. Atasnya runcing supaya saat kelapa ditancapkan dan ditekan ke samping bisa mengelupas. Untuk mempermudah kerja, sumbatmenyumbat ini, di bagian bawah ditancapkan ke tanah atau di-pantek di kayu yang lebih besar secara horisontal.

Entah apa yang ada di benak saya pada waktu itu, dalam keadaan masih bebet-an sarung, saya mengangkat kelapa yang masih utuh dan menancapkan di atas kayu yang disebut sumbat-an. Meski kayu tersebut mulai agak tumpul. Dengan kecermatan posisi kelapa bagian bawah agak ke samping dan mengenai posisi kayu sumbat-an, dengan tenaga yang lebih dan berulang-ulang, akhirnya sepet (nama serabut kelapa) terlepas dari batok kelapanya.

Saat melakukan aktivitas ini, saya penasaran. Sekonyong-konyong saya telusuri mesin pencari (google) dan mengetik cara mengupas kelapa dengan menggunakan alat tradisional. Berharap akan mendapat jawaban—minimal tulisan, akan tetapi rasa penasaran tersebut tak menemui jawaban. Rasa penasaran tersebut sedikit terpenuhi, saat beberapa akun dan channel Youtube merekam aktivitas nyumbat kambil yang tentunya tutorial dengan menggunakan linggis atau disebut klewang. Selain itu, adalah juga yang mengupas dengan menggunakan sebilah golok yang dibabat-kan untuk memisah sabut atau sepet tersebut dari batoknya.

Trenggalek merupakan salah satu wilayah penghasil kelapa terbanyak di Jawa Timur. Jika masyarakat di perdesaan memiliki pemikiran lain, misal tak punya lagi waktu untuk melakukan aktivitas nyumbat kambil, dan lebih memilih kerja yang efisien dan cepat alias memilih produk siap saji yang dijual di toko atau swalayan, beberapa tahun kemudian kemungkinan kita akan kehilangan aktivitas ritmis menggunakan alat konvensional. Meski mesin telah membantu manusia kerja cepat. Sejatinya kita telah meninggalkan kerja dan gerak ritmis yang dapat membantu manusia menyehatkan tangan dan persendian di sekitar tubuh.

Artikel Baru

Artikel Terkait