Mendengar kata pasar pastinya yang tergambar di benak kita adalah tempat ramai penuh lautan manusia saling berdesak-desakan, tawar-menawar demi mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari. Karena hakikatnya pasar merupakan tempat yang menjadi mekanisme pertemuan antara penjual (produsen) dengan pembeli (konsumen).
Di situ, terjadi interaksi yang membentuk kesepakatan ekonomi. Para pedagang menawarkan produk berupa barang/jasa, sedang para pembeli mendapatkan barang/jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun kenyataannya, usai lebaran 2019 kali ini pasar-pasar terlihat sepi, padahal salah satu indikator pasar yang bagus, yakni ketika dipenuhi banyak penjual dan pembeli. Seperti misalnya Pasar Sebo, di Desa Slawe, Watulimo, Trenggalek, yang lokasinya dekat dengan rumah saya.
Situasi dan kondisi yang seperti itu sempat mengusik, bahkan mendorong saya untuk mencari penjelasan. Setelah saya amati, sebelum lebaran pasar dan toko-toko terlihat tidak begitu sepi pengunjung, pasalnya tuntutan kebutuhan pra lebaran sangat membeludak: ringkasnya segala macam yang berkaitan dengan lebaran (seperti baju lebaran, kue, dll) sedang dibutuhkan.
Mungkin jika kita memperhatikan kehidupan ekonomi masyarakat, pastinya akan tahu fenomena ini. Bukan hal yang mengagetkan, jika sekarang harga komoditi hasil bumi, palawija salah satunya seperti cengkih, mengalami penurunan drastis. Cengkih basah yang semula harganya sekitar Rp 32.000/kg menjadi Rp 21.000/kg, sedang cengkih kering sekitar Rp 90.000/kg menjadi sekitar Rp 65.000/kg.
Hal tersebut pastinya membuat para petani cengkih mengalami keresahan yang sangat mendalam. Bagaimana tidak, jika upah pemetik cengkih yang umumnya sekitar Rp 125 ribu sampai Rp 150 ribu dikorelasi dengan harga cengkih, bisa mendatangkan kerugian petani.
Ironisnya petani tak berdaya menghadapi situasi ini. Tetapi petani cengkih tetap menjual berapa pun harga yang ditawarkan pemborong. Mereka yang biasa menjual dalam keadaan kering sekarang dengan tega menjualnya dalam keadaan basah. Karena menurut mereka, tingkat peluang rugi cukup tinggi jika dijual dalam keadaan kering.
Bayangkan jika 3 kg cengkih basah menjadi 1 kg cengkih kering. “Mungkin ya agak balance kalau harganya menentu, kalau harganya fluktuatif bisa bangkrut petani cengkih,” sempat terdengar ocehan prihatin masyarakat yang secara tidak langsung diutarakan ke petani cengkih.
Tapi mau bagaimana lagi, dengan keadaan yang seperti itu mereka tetap pasrah dengan harga tawarannya. Pasalnya petani tidak memiliki sumber penghasilan, selain dari komoditas cengkih. Harga yang turun tersebut salah satunya dikarenakan melimpahnya pasokan cengkih di pabrik rokok.
Harapan stabilisasi harga ketika panen raya tiba sejatinya bukan semata dari petani, melainkan juga dari permainan harga pedagang. Yang biasa terjadi saat panen raya harga murah ketika di musim lain harga melonjak bahkan langka.
Sebetulnya petani menyimpan keresahan itu dalam harapan-harapan yang begitu besar kepada pemerintah, meski sampai saat ini pemerintah belum juga menemukan solusinya. Di sisi lain, pemerintah sendiri menyadari serta mencari berbagai cara dan formula yang tepat agar petani tetap sejahtera. Barangkali itulah salah satu faktor sepinya Pasar Sebo kali ini.
Esai di atas adalah tulisan dari salah satu peserta workshop literasi berbasis pesantren yang diselenggarakan pada 23-24 Juni 2019 oleh nggalek.co bekerja sama dengan LP2M UIN Maliki, Malang.