Memerangi Karbondioksida dengan Merawat Pohon dan Bersepeda Ontel

Bayangkan jika di suatu desa. Ada sebuah komitmen di mana setiap warganya dengan usia minimal tertentu diwajibkan menanam pohon dengan kapasitas tertentu. Pohon ini harus dirawat dengan penuh tanggung jawab oleh orang tersebut. Setiap orang mempunyai surat kepemilikan pohon yang dipandang setara dengan SIM, STNK bahkan KTP. Secara rutin harus ada pemantauan terhadap pohon tersebut, layaknya sepeda motor yang harus diregistrasi setiap tahun. Apabila terjadi kelalaian yang menyebabkan pohon rusak, maka orang tersebut harus membayar denda yang tidak sepele.”

Sungguh sudah biasa bagi kita, warga Trenggalek, melihat bahkan menjadi bagian dari bagaimana ganasnya kendaraan bermotor berlomba-lomba merundungi jalan di pagi hari dan pada jam-jam pulang kerja. Meng-emisi-kan asap yang membubung tinggi ke atmosfer. Mayoritas, satu sepeda motor hanya dinaiki oleh satu pengemudi, mulai dari pekerja swasta, ASN, hingga murid SMP/SMA.

Sepeda motor memang memberi banyak kemudahan bagi manusia sebagai alat transportasi praktis dan anti macet. Namun yang menjadi masalah adalah muculnya sifat malas manusia, karena kemudahan tersebut. Contohnya, pemandangan siswa-siswi SD dengan jarak rumah ke sekolah yang hanya beberapa ratus meter saja, yang seharusnya bisa ditempuh dengan jalan kaki, di zaman sekarang sudah tidak  terlihat lagi. Digantikan dengan ibu-ibu yang membonceng anaknya ke sekolah dengan sepeda motor.

Fakta lain juga terjadi pada pelajar dan orang dewasa yang jarak rumah ke sekolah atau tempat kerja hanya 3 sampai 7 kilometer. Dengan mengatasnamakan efisiensi waktu, mereka seakan tidak mau kalah memacu gas sepeda motornya. Padahal jarak tersebut bisa ditempuh dengan bersepeda ontel tanpa kepayahan selama kurang lebih 15 menit untuk 7 km. Andai saja kita bisa 15 menit lebih siap dari kebiasaan selama ini.

Seperti yang telah disinggung di muka, sepeda motor memang praktis, cepat dan anti capek. Tapi perlu kita ketahui bahwa satu unit sepeda motor dapat mengemisikan gas-gas rumah kaca sebanyak 3.200 g setiap satu kilometer jarak tempuh. Jumlah tersebut adalah nilai rata-rata yang mengacu pada data salah satu buku paket IPA SMP. Gas rumah kaca adalah senyawa dalam wujud gas yang terakumulasi di atmosfer. Penyebab efek rumah kaca, terdiri dari karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), senyawa nitrogen (NOX ), senyawa timbal (PM10), belerang dioksida (SO2) dan sebagainya.

Efek rumah kaca adalah peristiwa terperangkapnya suhu panas dari matahari di dalam bumi. Efek rumah kaca pada dasarnya dibutuhkan bumi demi menjaga suhunya tetap hangat dan stabil sehingga dapat ditinggali makhluk hidup. Namun jika semakin banyak gas rumah kaca di atmosfer, dampaknya adalah peningkatan suhu rata-rata bumi, kenaikan permukaan air laut, cuaca yang tidak menentu. Atau yang telah kita kenal dengan istilah pemanasan global. Coba renungkan: bahwa asap kendaraan yang dihasilkan di sebuah kota kecil, di daerah khatulistiwa, telah turut andil bagi terancamnya ekosistem di daerah kutub.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Trenggalek. Jumlah kendaraan bermotor di seluruh Kabupaten Trenggalek tahun 2015 adalah 229.857 unit, dari 157.074 unit di tahun 2011. Dari peningkatan jumlah sepeda motor pada data tersebut, kita ambil perhitungan kasar, sehingga untuk tahun 2019 jumlah sepeda motor adalah 300.000 unit. Berdasarkan data dari Srikandi (2008), untuk satu unit sepeda motor, gas-gas rumah kaca yang diemisikan per  km adalah sebagai berikut: karbon monoksida (CO)  14 g/km, karbon dioksida (CO2)  3180 g/km, senyawa nitrogen (NOX) 0,29 g/km, senyawa timbal (PM10)  0,24 g/km, dan belerang dioksida (SO2) 0,008 g/km.

Mari kita ambil perkiraan kasar untuk massa gas buang terbesar yaitu karbondioksida (CO2). Jika semua unit  sepeda motor di Trenggalek digunakan untuk menempuh perjalanan rata-rata sejauh 15 km per hari, maka gas CO2  yang terlepas ke udara adalah 14.310.000 kg. Jumlah yang ternyata fantastis ini hanya untuk satu kabupaten. Perkiraan lain boleh-lah kita ambil, jika sepeda motor yang digunakan hanya separuh dari jumlah total. Hasil perhitungannya adalah 7.155.000 kg CO2 yang dilepas per harinya.

Angka di atas hanya untuk satu hari, belum satu bulan, bahkan satu tahun. Yang telah dihitung tersebut masih CO2, belum gas-gas rumah kaca lain yang pastinya berdampak buruk bagi kesehatan makhluk hidup dan bumi. Jumlah tersebut dihitung masih dari sepeda motor saja, belum kendaraan-kendaraan beroda 4 lainnya, asap industri, dan lain sebagainya.

Secara alami, karbondioksida sendiri sebenarnya telah ada di udara sebanyak 0,04 %. Senyawa ini berguna bagi tumbuhan hijau sebagai bahan utama dalam menyusun energi dengan oksigen sebagai gas buangnya. Sedangkan oksigen ini digunakan oleh manusia dan hewan untuk bernapas. Jumlah karbondioksida di udara adalah indikator yang biasa digunakan para peneliti untuk memeriksa kualitas udara. Jumlah karbondioksida yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan suhu bumi semakin panas.

Seperti yang dilansir dalam National Geographic Indonesia pada Agustus 2018. Peningkatan kadar karbondioksida dapat mengancam persedian pangan yang dampak jauh ke depannya bisa menimbulkan kasus kurang gizi di dunia, kandungan mineral pada hasil panen dapat berkurang seiring bertambahnya kadar karbondioksida.

Dalam menekan jumlah karbondioksida sendiri, sebenarnya sudah banyak program dari pemerintah  Indonesia. Salah satu contohnya adalah Nationally Determined Contribution (NDC) yang menyatakan bahwa Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon pada tahun 2030 sebesar 29-41%. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah daerah juga bisa memulai dari hal kecil.

Di Trenggalek, dengan adanya BUMDES diharapkan bagi para pemuda untuk menjadikannya wadah dalam membentuk komunitas-komunitas dalam menggalakkan aksi pelestarian lingkungan.  Salah satu program desa yang bisa dicontoh oleh desa lainnya adalah program donasi sampah untuk literasi yang ada di Desa Salamrejo, Karangan. Untuk desa lain seperti Buluagung yang mempunyai cabang usaha BUMDES berupa sablon dan desain kaos, sangat bisa memproduksi marchendise yang berisi ajakan untuk membangun jiwa cinta lingkungan.

Bayangkan jika di suatu desa, ada sebuah komitmen di mana setiap warga desa dengan usia minimal tertentu diwajibkan menanam pohon dengan kapasitas tertentu. Pohon ini harus dirawat dengan penuh tanggung jawab oleh orang tersebut. Setiap orang mempunyai surat kepemilikan pohon yang dipandang setara dengan SIM, STNK bahkan KTP. Secara rutin harus ada pemantaun terhadap pohon, layaknya sepeda motor yang harus diregistrasi setiap tahunnya. Apabila terjadi kelalaian yang menyebabkan pohon rusak, maka orang tersebut harus membayar denda yang tidak sepele.

Kesepakatan lain bisa jadi berlaku. Setiap berbelanja, masyarakat di desa tersebut wajib menggunakan tas reusable ramah lingkungan yang bisa diproduksi dengan memberdayakan BUMDES. Miris juga rasanya saat melihat orang berbelanja gorengan 4 biji, wadahnya adalah kantung plastik yang perlu waktu sangat lama untuk terurasi dan bisa menyebabkan pencemaran tanah yang pada akhirnya juga berdampak ke persoalan yang telah dibahas di atas.

Sebenarnya cara paling efektif yang bisa langsung kita lakukan dalam memerangi emisi karbondioksida adalah dengan mengurangi penggunaan sepeda motor. Apabila jarak yang kita tempuh setiap hari masih dalam angka wajar untuk bersepeda ontel, mengapa tidak kita mulai? Mengapa tidak kita coba mengumpulkan orang-orang untuk saling memberi dukungan dalam kemajuan yang lebih positif?

Esai ini adalah tulisan dari salah satu peserta workshop literasi berbasis komunitas baca yang diselenggarakan pada 23-24 Juni 2019 oleh nggalek.co bekerja sama dengan LP2M UIN Maliki, Malang

Artikel Baru

Artikel Terkait