Pendidikan Seksualitas dan Anak-Anak Kita

Selepas ramai terkait pro dan kontra ditayangkannya film Dua Garis Biru di bioskop tanah air, tepat pada 23 Juli memperingati Hari Anak Nasional (berdasar Kepres Nomor 44 Tahun 1984). Ada dua kata kunci di sini: anak-anak dan keluarga. Dua Garis Biru adalah film yang bercerita mengenai anak usia sekolah menengah atas yang menjalin relasi percintaan sampai melewati batas wajar anak-anak, hubungan intim, yang menyebabkan terjadinya kehamilan.

Tahun ini, Hari Anak Nasional mengangkat tema “Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak”, dengan tagline “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira”. Baik film maupun Hari Anak Nasional 2019, keduanya menekankan pentingnya peran keluarga dalam kerja-kerja pendampingan bagi tumbuh-kembang anak-anak dan pemenuhan hak-hak mereka di dalam keluarga.

Inilah momentum untuk melakukan refleksi, sejauh mana peran kita sebagai orang tua (keluarga, pendidik, pemerhati anak, pemerintah, media maupun orang dewasa di lingkungan) bagi anak-anak. Hal tersebut perlu kiranya disadari bahwa setiap individu mampu melakukan tugas dan perannya dalam memenuhi hak anak-anak dan melindunginya dari hal yang membahayakan masa depan mereka. Sekalipun begitu, dalam konteks pengasuhan dan perlindungan anak, tentu kita sepakat bahwa keluarga (baik orangtua kandung maupun orangtua asuh) memiliki peran paling sentral. Keluarga menjadi pondasi awal ditanamkannya pola pendidikan bagi anak-anak guna membentuk karakter, dan pengenalan peran-peran setiap anggota keluarga, meliputi ayah, ibu dan anak itu sendiri.

Persoalan hamil di luar nikah adalah salah satu kasus yang kerap kali dialami oleh anak-anak Indonesia dalam rentang usia sekolah dan menjadi kekhawatiran kita bersama sebagai pemerhati anak. Jiwa ingin tahu pada anak-anak dengan kurangnya pengetahuan dan rendahnya pengawasan pada pola hubungan pertemanan oleh orang tua kerap menjadi alasan tergelincirnya anak dalam relasi tidak sehat. Anak-anak yang sebelumnya tidak mengerti rentetan panjang kehidupan manusia berasal, hanya terpacu pada sisi-sisi kesenangan tapi terlepas dari sisi tanggung jawab yang melekat. Hal yang kerap tidak kita sadari sebagai orangtua adalah kurangnya perhatian kita terhadap anak pada usia pertumbuhan dan perkembangan mereka. Bahwa pendidikan seksual adalah hak yang harus diperoleh anak-anak kaitannya perkembangan jiwa mereka.

Pendidikan seksual bukan sesuatu yang tabu di mana yang kita bahas adalah gejolak jasmani seperti halnya relasi hubungan seksual secara kelamin, pendidikan seksual adalah urusan jiwa. Pendidikan ini hadir sebagai kajian manusia dan hal-hal umum dalam keseharian. Ia meliputi etika, moral, fisiologi, ekonomi, dan pengetahuan-pengetahuan lain yang dibutuhkan seseorang dalam memahami diri sendiri sebagai individu sexual serta kaitannya dengan hubungan intrapersonal yang baik. Dr. J.L.Ch Abineno menjelaskan bahwa tujuan pendidikan seks adalah menciptakan sikap yang sehat pada diri seseorang terhadap seks dan seksualitas. Bahkan saat mulai menyusui, anak sedang mengalami pendidikan berkaitan dengan peran ibu dan anatomi tubuh perempuan.

Anak-anak sejatinya adalah dunia yang memiliki sekat panjang guna menikmati dunia bermain dan tangga panjat dalam menggali potensi yang dimiliki. Namun, karena kejadian seperti halnya kehamilan di usia sekolah, kerap kali harapan akan masa depan cerah anak-anak  dipangkas (terlebih bagi si calon ibu). Selain belum matangnya fisik calon ibu dari segi kesehatan, belum matangnya sisi emosial dari pasangan tersebut, tekanan psikologi dari masyarakat, juga kurang persiapannya pasangan dalam menjalani kehidupan pascapernikahan, baik sisi pembiayaan maupun sisi pendidikan anak yang lahir. Anak-anak sendiri secara luas dapat dimaknai sebagai usia yang masih dalam taraf perkembangan, mencangkup usia dari baru lahir sampai menginjak usia dewasa.

Heyster seorang ahli pengetahuan jiwa anak, membagi masa anak menjadi tiga stadium  berdasarkan ciri-ciri khas anak-anak. Pertama, Stadium Realis Fantasis (4-8 tahun) yaitu kondisi di mana anak sudah mulai melepaskan diri dari lingkungan keluarga dan mengenal orang lain. Dalam rentang usia ini, anak anak menggunakan permainan dan fantasinya dalam menangkap dan menceritakan ulang suatu kenyataan.

Kedua, Stadium Realisme Naif (8-10 Tahun) Anak-anak dalam rentang usia ini sudah memiliki pengetahuan yang semakin melebar sekalipun dangkal dan bersifat naïf. Dengan pengetahuan yang masih terpisah-pisah ini, anak-anak senang menyelidiki dan memproduksi tanggapan atas realitas yang ditemukan.

Ketiga, Stadium Realisme Reflektif( 10-12 Tahun) adalah kondisi di mana anak mulai berfikir terhadap realita dan reaksinya secara kritis dan berdasarkan pertimbangan. Hal tersebut juga mengindikasi adanya perkembangan dalam memahami hal-hal yang abstrak seperti halnya hal-hal yang tidak dapat oleh panca indera.

Selain fase perkembangan, dalam dunia anak kita memahami istilah pertumbuhan. Di mana dua fase tersebut beriringan sebagai proses yang berlangsung secara interdepensi atau bergantung. Dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan merupakan perubahan secara fisiologis sebagai akibat dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat pada siklus waktu tertentu. Sedangkan untuk fase perkembangan adalah suatu perubahan-perubahan psikofisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi psikis dan fisik  pada anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan serta proses belajar dalam siklus waktu tertentu. Perkembangan juga berarti proses transmisi dari konstitusi psikofisiknya herediten, yang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya secara terus-menerus. Maka dalam setiap fase, keterlibatan keluarga menjadi demikian penting, orang tua harus mampu menjembatani anak dengan pengenalan tubuh dan peran dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, baikpenjelasan berkaitan pematangan seksualitas, keadaan maupun hal-hal yang memiliki resiko bagi kehidupannya.

Keluarga (utamanya orangtua inti) harus mampu menangkap pertumbuhan seksual anak sehingga mampu dengan baik mengenal anatomi tubuh, kesehatan reproduksi, dan menjaga bagian tubuh mana yang boleh dilihat dan tidak oleh orang lain. Dengan penjelasan ini anak memiliki arah logis atas konsekuensi-konsekuensi yang keterkaitan dengan orang lain. Pun dengan cara ini anak mampu menangkal hal-hal yang mengindikasi adanya perilaku-perilaku pelecehan seksual baik fisik maupun psikis oleh orang asing maupun orang dekat. Selain memberi perlindungan dan pemenuhan hak, dengan pola asuh yang tepat; anak tersebut menjadi memiliki rasa percaya pada keluarga untuk selalu berbagi dan mendiskusikan temuannya. Keluarga menjadi media sharing yang memberi rasa aman dan nyaman. Dalam konteks ini, orang tua tidak hanya bisa menjadi pribadi yang memposisikan sebagai orang tua tapi jugamenjadikan anak sebagai relasi berkehidupan dan teman diskusi dalam segala hal.

Dalam kesempatan lain UNICEF, WHO dan UNAIDS memiliki panduan pendidikan seksual bagi orang tua dan pendidik. Panduan tersebut dibagi menjadi empat level, dengan  level-level tersebut orangtua memiliki peran sesuai jenjang dan fase pertumbuhan dan stadium kejiwaan anak.

Level 1 (5-8 tahun) adalah penjelasan mengenai arti pernikahan, baik peran keluarga, ayah, ibu dan anak. Selain itu anak diajarkan untuk berteman dengan siapa saja  untuk mengenal keberagaman, perbedaan dan cara mengekspresiakan cinta kasih terhadap sesama.

Level 2 (9-12 tahun) adalah penjelasan mengenai peran dan tanggung jawab anggota keluarga, tentang bagaimana kehidupan dan menjadi orang tua. Selain itu anak dilibatkan dalam pengambil keputusan, mulai memberi penjelasan hal-hal membahayakan maupun relasi yang sehat dalam pertemanan.

Selanjutnya, level 3 (12-15 tahun), pada rentang usia ini umumnya anak mulai memasuki pubertas, mulai ada ketertarikan terhadap lawan jenis, mulai mampu kerja sama bahkan adanya konflik dalam relasi sosial. Orangtua dalam hal ini harus mampu menjelaskan dampak positif dan negatif dari hubungan sosial maupun hubungan percintaan. Dalam fase ini anak harus memahami bahwa pelecehan dan kekerasan dalam pertemanan bisa terjadi terjadi karena perbedaan gender dan labelisasi. Serta  pernikahan akan bahagia jika berdasarkan cinta, toleransi, menghargai dan tanggungjawab. Dalam fase ini orang tua ditekankan untuk menjelaskan secara detail soal anatomi tubuh, resiko terhadap reproduksi bahkan resiko berganti-ganti pasangan.

Level IV(15-18 tahun ke atas) dalam pendekatan ini orang tua harus memberi gambaran riil dan upaya memberi pemahaman tanpa memberi stigma atas orientasi tertentu. Peran keluarga bisa berubah ketika ada anggota keluarga yang hamil, menolak menikah, atau menunjukkan orientasi seksual tertentu. Selain itu orangtua mampu memberi pemahaman atas  aturan dan hukum terkait pelecehan dan kekerasan seksual. Selain itu pendekatan riil mampu memberi gambaran bahwa relasi intrapersonal yang mengakibatkan terjalinnya ikatan keluarga  adalah hal yang berharga dan penuh tantangan dalam menjalaninya.

Dengan pengarahan dan peran orangtua dalam pendidikan seksualitas tersebut, anak-anak memiliki pemahaman dasar dalam memutuskan langkah dan mempertimbangkan konsekuensi logis atas tindakannya.

Selain itu anak merasa memiliki ruang interaksi yang hangat dalam keluarga, mampu menangkap sosok idola dalam keluarga, mampu menyaring tayangan media yang dapat dipraktikkan atau terlebih dahulu disaring. Hal tersebut akan mampu tercapai, jika setiap keluarga mampu melebarkan pemahaman, bahwa anak-anak adalah proyeksi masa depan generasi berkelanjutan.

Karakter mereka terbentuk tidak hanya melalui pola pendidikan formal, melainkan peran orang tua dan sinergi kita bersama yang memiliki kepedulian. Karena sekalipun peran sentral bagi pendidikan dan pemenuhan hak anak adalah keluarga, setiap kita berkesempatan menjadi orang tua ideologis.

Apa yang kita sampaikan dan lakukan sangat mungkin dapat ditiru anak-anak yang masih mencari jati diri tersebut. Maka mengakhiri tulisan ini, mari bersama-sama kita refleksi dengan terus bertanya, ”Sudah sejauh mana peran kita dalam memenuhi hak anak-anak?”

Artikel Baru

Artikel Terkait