Banyak Cara untuk Belajar Mencintai Indonesia

Alun-alun depan Pendapa Kabupaten Trenggalek. Pukul 19.30. Waktu setempat. Angin mendesis. Ini malam keramat. Sebab besok adalah peringatan Hari Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia. Negara tercinta. Yang dicintai warganya dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya, dengan menggelar refleksi perjuangan atau yang serupa itu. Diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Trenggalek.

Sebenarnya, dari Cakul saya meluncur ke kota (Trenggalek) bukan untuk menyaksikan acara yang sangat bagus ini. Baru, setelah menghubungi St. Sri Em. Yani, saya dikirimi poster sambil mengabarkan bahwa ia sedang berada di tempat acara. Benar, inilah acara yang, menurut pendapat saya, sangat bagus. Dan paling bagus di antara acara-acara lain yang digelar dalam rangka peringatan hari kemerdekaan. Bahkan, andai saya siap berdebat, bisa jadi saya akan mengatakan bahwa acara ini lebih bagus, lebih bermakna, daripada sekadar tabur bunga di taman makam pahlawan. Sayangnya, saya tidak sedang bernafsu untuk berdebat.

Saya memasuki alun-alun. Udara bertiup semakin kencang. Sudah tolah-toleh ke segala penjuru, tetapi hanya memnemukan pemandangan: orang jualan kopi, lapak mewarnai gambar, dan pasangan-pasangan generasi milenial yang sedang indehoi. Eh, ada juga keluarga entah dari generasi mana, tampak sedang menikmati kebersamaan. Pohon beringin di tengah alun-alun yang dulu pernah dipagari keliling sehingga mirip dhanyangan itu pun sudah saya putari. Tanpa saya sadari berapa, dua atu tiga kali. Untuk menemukan jawaban: di mana acara yang sangat bagus itu digelar. Tetapi, tak juga ketemu! Lalu saya telepon St. Sri Em. Yani.

”Di mana acaranya?”

”Di sini. Di lapangan basket!”

”Uh!”

Ternyata ada kerumunan di dalam gelap. Ya, remang-remang lebih tepat. Perkiraan saya, jumlah mereka yang berkerumun, tak sampai seratus orang. Duduk melingkar di atas terpal plastik. Dan patut diduga, hampir semuanya berasal dari pihak penyelenggara. Ya, para pengurus dan anggota PMII Trenggalek, itu. Padahal, ini acara yang sangat bagus. Andai saya bupati, pasti sudah saya buatkan surat edarannya agar dihadiri: kepala dinas, camat, kepala desa, perwakilan dari guru, siswa, santri, pemuda desa, dari seluruh wilayah kabupaten. Saya sendiri pun tentu akan menghadirinya. Tetapi, saya kira bupati tidak tahu jika ada acara sebagus ini. Saking sibuk dan saking banyaknya rangkaian acara Agustusan.

Diundang sebagai narasumber di acara refleksi dengan judul, ”Jasmerah (Jangan Lupakan Sejarah)” itu ialah Sejarawan Trenggalek Ki Hamid Wilis dan lima orang dari Legiun Veteran Trenggalek, termasuk ketua, wakil ketua, dan sekretarisnya. Tetapi, seorang di antaranya memutuskan pulang sebelum acara di mulai. Kondisi kesehatannya dan ditambah faktor usia, dirasa tidak cukup kuat menahan terpaan angin dan udara dingin. Yang makin menggerus di malam itu.  

Ketika giliran berbicara, seorang narasumber dari Legiun Veteran mengingatkan bahwa ”Jasmerah” bukan akkronim dari ”Jangan Lupakan Sejarah” melainkan: ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Juga, untuk tahun-tahun mendatang, terutama jika mendatangkan narasumber dari tokoh-tokoh lanjut usia, jangan lagi menggelar acaranya di alam bebas seperti itu. ”Di kantor kami ada ruangan yang bisa dipakai,” katanya, menawarkan.

Mungkin, penyelenggara memang sengaja. Memilih ruang sangat terbuka, di lapangan basket itu, dan dengan suasana remang-remang pula. Untuk mendramatisasi suasana. Agar menyerupai situasi Zaman Perjuangan. Ketika para gerilyawan secara sembunyi-sembunyi mengadakan diskusi. Untuk mengatur strategi.

Giliran Ki Hamid Wilis berbicara. Mengenang betapa anak-anak bangsa menderita. Di Zaman Penjajahan. Hampir setiap hari ada orang mati kelaparan. Banyak orang menjadi herbivora. Karena terpaksa oleh keadaan. Hanya memakan daun-daunan. Seperti, daun singkong dan pepaya. Lalu menegaskan, bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan. Yang direbut dengan nyawa manusia yang tak terbilang jumlahnya. Bukan pemberian atau hadiah. Dari bangsa lain yang bosan menjajah. Dan begitu merdeka, ketika hasil pertanian dan harta kekayaan lainnya tidak dihisap bangsa penjajah, Indonesia bisa tampil sebagai negara penyumbang beras ketika bangsa lain (India) membutuhkannya.

Masyarakat Trenggalek adalah masyarakat pejuang. Kira-kira begitu salah satu simpulan yang bisa dipetik. Dari tuturan mengenang masa lalu yang sangat apik. Bukan hanya sejak Zaman Belanda. Pada tahun 900-an, ketika Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, kata Ki Hamid Wilis, sempat mampir di Trenggalek (Kampak) untuk menggalang kekuatan. Menambah pasukan.

Di kemudian hari, ketika terjadi Geger Pecinan (?) Raja Mataram (Kartasura) ke Trenggalek pula mengungsi dan memperkuat kembali pasukannya, sebelum kembali merebut kekuasaannya dan memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta.

Tak kalah menariknya adalah cerita mengenai masa-masa Perang Gerilya, ketika pasukan yang dipimpin langsung Panglima Besar jenderal Sudirman melewati Trenggalek dan sempat menginap di Pogalan, Dongko, Panggul. Tetapi, acara yang sangat bagus ini jadi terganggu oleh suara lantang dari kegiatan check-sound di Pendapa Kabupaten yang tak kunjung selesai. Jan, apes tenan!

Pendek kata, generasi sekarang ini terbilang masih sangat beruntung, dapat mendengar langsung kisah-kisah Zaman Perjuangan dari para pelaku dan saksi mata langsung. Bukan dari sumber kedua atau ketiga. Bukan hanya dari sumber-sumber tertulis atau multimedia. Sayangnya, Panitia Agustusan di Kabupaten Trenggalek tampaknya tidak memandang acara seperti ini sebagai acara yang (sangat) bagus. Sehingga, tidak mengagendakannya sebagai rangkaian acara Agustusan (?). Dan memilih arak-arakan dan membakar petasan (?).

Karnaval dan kemeriahan pasar malam tentu bukan acara yang buruk. Sebab, pasti banyak cara untuk belajar mencintai Indonesia. Untuk tahun ini, sepertinya Trenggalek sudah memilih caranya sendiri.*

Artikel Baru

Artikel Terkait