Tulisan ini dibuat untuk menjadi bahan renungan bagi penulis sendiri. Apabila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung itu adalah murni karena kesengajaan.
Kita jaga alam, alam jaga kita. Entah kapan dan di mana saya mendengar pertama kali slogan itu. Saya benar-benar lupa. Kata-kata tersebut tidak memiliki arti bagi saya, karena saya merasa tidak tinggal di pegunungan. Saya juga bukan orang yang hidup di pesisir pantai. Saya tinggal di daerah yang kata orang perkotaan. Jadi, saya tidak menganggap kalau slogan itu berhubungan dengan saya.
Entah karena polos atau bodoh, saya tidak menganggap kota saya tinggal sebagai alam. Seperti halnya waktu SD, saat guru memberikan tugas untuk menggambar alam, saya pasti akan menggambar gunung dan sawah. Saya tidak pernah menggambar sebuah kota.
Suatu ketika saya bertemu dengan kawan dari Suku Baduy di Provinsi Banten. Dia bercerita bagaimana kehidupan mereka di pedalaman dan di akhir pembicaraan, dia mengatakan hal yang sama. Kita jaga alam, alam jaga kita. Lagi-lagi meskipun saya terkagum-kagum dengan cerita bagaimana masyarakat Baduy hidup, slogan itu tidak berarti apa-apa untuk saya. Saya berpikir pada saat itu: iya pasti orang Baduy begitu, itu-kan karena mereka tinggal di pedalaman bukan tinggal di perkotaan.
Pada suatu acara lokakarya yang pernah saya hadiri, seorang pembicara dari pemerintahan dan akademisi sangat menggebu-gebu ketika berbicara tentang environmental sustainability, atau dalam terjemahan kasar bisa diartikan sebagai lingkungan yang berkelanjutan. Environmental sustainability ini ditekankan untuk meningkatkan daya saing dalam sektor pariwisata di Indonesia. Pada momen itu, saya kembali teringat dengan slogan “kita jaga alam, alam jaga kita”. Sayangnya, saya hanya mengingat tapi tidak memberikan arti apa-apa. Ya, tidak berarti karena saya tidak tinggal di daerah pariwisata dan saya bukan pengelola wisata. Jadi bahasan tentang Environmental Sustainability tidak menggetarkan hati saya.
Saya menduga ada banyak orang yang seperti saya. Bahkan mungkin sebagian besar orang-orang yang duduk di pemerintahan mengalami hal yang sama dengan saya. Ketika mendengar slogan “kita jaga alam, alam jaga kita”, itu hanya slogan. Tidak berarti apa-apa.
Banyak orang yang mengatakan kalau saat ini alam kita sudah rusak. Sebagian kita menyadari betul bagaimana kita memiliki ikatan yang kuat dengan alam. Saya yakin kesadaran ini tertanam dalam diri semua orang. Ramainya tempat wisata yang menawarkan pemandangan alam merupakan bukti kalau kita sebagai pribadi memiliki ikatan yang kuat dengan alam.
Sayangnya ikatan ini seringkali terputus karena alasan ekonomi. Penebangan pohon yang dilakukan secara sporadis, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, sawah yang menjadi permukiman, gunung-gunung tempat hidup pohon digali untuk diambil batuannya. Semuanya dilakukan dengan alasan ekonomi.
Alam memiliki ekosistem yang merupakan mekanisme untuk menjamin kelangsungan eksistensinya. Semua makhluk hidup yang ada di atas dan di dalam tanah merupakan bagian dari ekosistem yang saling menjaga satu sama lain. Termasuk manusia. Saya yakin semua orang sudah paham dengan pengetahuan ini, karena sudah kita pelajari sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Semua makhluk hidup memiliki perannya masing-masing. Tanah bertugas untuk menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup, pohon bertugas menyediakan oksigen, cacing dan kawan-kawannya bertugas menggemburkan tanah, pungi bertugas menghancurkan batuan agar pohon bisa hidup, bahkan mikro organisme yang paling kecil sekalipun memiliki tugas untuk menghancurkan daun agar menjadi pupuk. Dan ada banyak tugas lain yang didesain dengan sangat sempurna. Lalu apa tugas manusia?
Sebagai makhluk yang diberi kecerdasan, seharusnya manusia memiliki tugas dan tanggung jawab lebih dibanding makhluk lain. Sebagaimana umat Muslim meyakini bahwa manusia diciptakan sebagai pemimpin/khilafah di muka bumi. Sebagai pemimpin tentunya kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan ekosistem yang ada pada alam berjalan sebagaimana mestinya.
Sialnya selain memiliki kecerdasan manusia juga memiliki nafsu. Nafsu yang tidak pernah terpuaskan. Nafsu yang paling merusak dan tidak pernah terpuaskan bernama keserakahan. Keserakahan ini ada pada setiap manusia. Tidak peduli dia kaya atau miskin, tua atau muda, hitam atau putih. Karena keserakahan itulah manusia lupa akan tugasnya. Lupa bahwa dirinya adalah bagian dari ekosistem. Parahnya lagi, manusia mengklaim dirinya sebagai penguasa ekosistem. Karena merasa sebagai penguasa ekosistem manusia secara arogan merekayasa ekosistem agar menghasilkan lebih banyak untuk memuaskan keserakahannya. Keserakahan ini dibungkus secara indah dengan frasa “pertumbuhan ekonomi”.
Sujiwo Tejo pernah mengatakan, kalau kita mengacu pada kata pertumbuhan, maka akan terus terjadi eksploitasi. Bahkan eksploitasi terjadi bukan hanya pada tanah, tumbuhan maupun binatang yang tidak memiliki kecerdasan. Eksploitasi juga terjadi pada sesama manusia. Bukan untuk bertahan hidup, namun lebih banyak untuk memuaskan keserakahan.
Alam mengingatkan kita akan kesalahan yang sudah dilakukan oleh manusia. Kejadian bencana yang terjadi di mana-di mana. Banjir saat musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau selalu kita rasakan tiap tahun. Ini menunjukkan bahwa ekosistem alam sudah tidak baik-baik saja. Ekosistem ini sudah tidak berjalan sebagai mana mestinya. Tapi, apakah ini membuat kita melakukan perbaikan terhadap ekosistem. Tidak. Karena itu tidak memuaskan bagi keserakahan.
Satu hal lagi kesalahan kita. Karena kita merasa sebagai penguasa ekosistem, mengaku sebagai pemilik alam. Padahal alam adalah warisan. Warisan yang harus terus diwariskan. Jika hari ini kita terus mengeksploitasi alam, apa yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Sebab, padi tentu tidak akan tumbuh di atas batu dan beton.
Kita jaga alam, alam jaga kita. Salam adil dan lestari.