Program Keluarga Harapan (PKH) bukanlah program yang dilaksanakan kemarin sore. Sejak 2007 silam, PKH ditetapkan Pemerintah melalui Kementerian Sosial/Kemensos telah digadang-gadang sebagai salah satu program percepatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
PKH merupakan program impor (adopsi), dalam dunia internasional dikenal dengan istilah CCT (Conditional Cash Transfer). Ada 70 negara yang sudah menerapkan program serupa, salah satu yang paling berhasil adalah Brazil. Program ini dipandang bagus karena diklaim telah terbukti dapat menurunkan kemiskinan. Program impor bukan cuma PKH, konon kabarnya Program PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat) yang menjadi kebanggaan perhutani itu, juga merupakan program adopsi.
Di Trenggalek sendiri, ada banyak keluarga penerima manfaat (untuk tidak menyebut keluarga miskin). Penerimaan ini berdasarkan data BDT (Basis Data Terpadu) yang jauh-jauh hari sudah disiapkan oleh pemerintah plus agen-agennya, baik oleh pemerintah tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Ujungnya, data inilah yang dijadikan database sebagai acuan Kemensos untuk menggelontorkan dana loan.
Benar, dana bantuan sosial yang dibagito (bagi rata) dalam program PKH merupakan dana pinjaman Bank Dunia. Tahun 2017, Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyetujui pendanaan sebesar US$ 200 juta guna mendukung upaya perluasan program bantuan sosial pemerintah Indonesia. Bukan tanpa alasan, gelontoran dana utang ini disetujui karena diklaim memiliki dampak dalam menurunkan angka kemiskinan. Tak tanggung-tanggung, di tahun 2015 program ini menjangkau 3.5 juta penduduk. Dan di akhir 2020 nanti, program ini direncanakan menyentuh 10 juta penduduk Indonesia. Kira-kira 15% dari seluruh penduduk Indonesia.
Gonjang-Ganjing PKH di Masyarakat Perdesaan
Dana PKH terbilang cukup banyak, jika dihitung secara agregat, namun saat sudah dibagito (dibagi rata), akhirnya menjadi sedikit. Misalnya, setiap keluarga penerima manfaat mendapatkan bantuan sebesar Rp.600.000,- /triwulan (tergantung komponen yang dimiliki kelurga penerima bantuan sosial). Jadi sebulan mendapatkan bantuan 200 ribu. Namun seberapa pun besar bantuan, ia tetaplah bantuan. Dan memang selalu akan diikuti suka cita penerimanya.
Persoalan datang bagi mereka yang tidak mendapatkannya, yakni orang-orang yang memandang bahwa banyak penerima bantuan PKH bukanlah orang yang tepat. Pandangan semacam ini tidak bisa langsung dikatakan sebagai sifat iri dan dengki, tapi justru harus disikapi dengan bijak. Karena isu “betapa tidak adilnya eksekusi bantuan PKH” sudah masif terdengar dari orang-orang desa yang ada di Trenggalek. Saya sendiri sudah berulang kali mendengarkan curhatan penduduk desa saat hadir dalam forum-forum masyarakat. Padahal secara kontekstual, forum tersebut tidak membahas masalah penerima bantuan sosial.
Kenapa persoalan semacam itu muncul?
Saya hanya menduga, karena PKH sudah berjalan lama, dan yang mendapatkan bantuan bukan orang-orang yang sebenarnya membutuhkan (lebih mudah dikatakan sudah kecukupan), maka menjadi perhatian bagi masyarakat yang lain untuk menyuarakan. Dan sepertinya, suara-suara ini sudah lama muncul, namun belum juga mendapatkan solusi. Warga desa memandang ini sebagai kesalahan sistem. Namun bagi pembuat sistem, ini sudah tepat dilakukan karena mereka yang mendapatkan bantuan, adalah orang-orang yang datanya muncul di sistem.
Lalu masalahnya di mana?
Anggapan Masyarakat Perdesaan Mengenai PKH
Sewaktu mengisi materi Sekolah Politik Anggaran Desa (Sepola dan Sekar Desa) di beberapa desa seperti Gemaharjo, Watulimo, Tanggaran, Jombok, Karanganyar, Dukuh, Sawahan (Watulimo), Sawahan (Panggul), Tangkil, Banjar. Narasi salah bantuan PKH selalu dimunculkan oleh peserta, bahkan tanpa diminta (karena materinya lain).
Narasi ini lebih umum berbunyi “Kenapa penerima PKH banyak yang tidak tepat sasaran. Yang jelas-jelas mampu malah menerima bantuan, dan yang jelas-jelas miskin malah tidak menerima bantuan. Apakah ini adil?” Saat narasi protes semacam ini terjadi di hampir seluruh desa di Kabupaten Trenggalek. Para pendamping PKH mungkin jauh lebih banyak mendengar protes ini.
Ada berbagai faktor kenapa protes ini bisa terjadi, saya tidak hendak menyebut apa saja penyebabnya karena bukan wilayah saya. Yang hendak ingin saya sampaikan adalah, masalah sosial di desa tidak hanya disebabkan oleh hubungan antarmasyarakat, melainkan juga bisa berasal dari luar desa. Dalam hal ini, yang menyebabkan timbulnya kecemburuan sosial bukan dari internal desa melainkan dari luar desa (supra desa). Namun pernyataan ini juga tidak bisa dikatakan sebagai tuduhan bahwa pelaksana program (Kementerian Sosial) dan pemberi dana (World Bank) menjadi penyebab rusaknya hubungan masyarakat desa. Karena sebenarnya bantuan itu juga bermanfaat.
Akar Kecemburuan Masyarakat Berasal Dari Mana?
Jawabannya tidak bisa parsial, karena bisa jadi ini adalah akumulasi dari berbagai persoalan yang sudah muncul di masyarakat yang tidak kunjung ada solusi. Baik pemerintah desa, pemerintah daerah, pemerintah pusat hingga para pendamping sosial PKH. Yang perlu kita ketahui bersama adalah, bahwa keluarga penerima bantuan sosial PKH meskipun dipandang masyarakat tidak layak mendapatkan (karena sudah mampu) jika dinilai dari sisi regulasi, memang sudah tepat. Tidak mungkin bantuan PKH dialamatkan kepada mereka yang tidak masuk dalam database BDT. Toh sebenarnya, dalam mekanisme alur pengusulan data ke BDT sudah barang tentu bagus, meski implementasinya masih belum bisa dipastikan. Bagaimanapun human eror masih sering menjangkiti kita semua, karena tidak ada manusia yang sempurna (ini bagus untuk alasan).
Pun juga bagi para pendamping sosial PKH yang dalam hal rekrutmennya harus memenuhi pra-syarat tertentu, setidaknya sudah menjamin bahwa semua yang lolos menjadi pendamping sosial PKH adalah orang-orang hebat yang memiliki kapasitas mumpuni yang sudah seharusnya mampu melakukan improvisasi gerakan terhadap masyarakat yang didampingi. Saya rasa mereka bukan sekadar voluntir penyalur dana bantuan jika melihat syarat-syarat bisa masuk menjadi pendamping sangat susah (tidak ada syarat untuk menjadi pendamping PKH harus mendapatkan rekomendasi dari pejabat). Meski pada akhirnya, secara kebijakan mereka bekerja sesuai SOP yang telah ditentukan. Jadi, mereka tidak bisa dilempari bola panas ini (baca: kecemburuan masyarakat atas PKH).
Butuh Solusi Tepat
Siapa yang tidak mau mendapatkan bantuan? Saya rasa semua orang mau. Dan siapa orang yang sudah mendapatkan bantuan lalu menolak karena merasa sudah mampu? Mungkin ada dan jumlahnya tidak banyak. Lantas misalnya pemerintah mengharapkan kepada masyarakat yang sudah mampu untuk berhenti mendapatkan bantuan PKH, ini juga sikap yang tidak tegas. Bahkan meski harus memakai stiker “Penerima Bantuan PKH” yang ditempelkan di rumah-rumah. Bagaimanapun, penerima bantuan PKH dari awalnya tidak mengusulkan diri (meski pernah dibuat mekanisme bahwa mereka mendaftarkan dirinya sendiri).
Justru yang seharusnya menertibkan masyarakat yang sudah mampu ini adalah pemerintah sendiri. Toh para pendamping sosial PKH memiliki tugas (dalam SOP) untuk melakukan pemutakhiran data. Jika dahulu ada data yang dipakai untuk memberi bantuan PKH, seharusnya ada pula data yang bisa dipakai untuk menghentikan bantuan PKH. Sehingga, tidak terjadi ketegangan dalam hubungan sosial masyarakat perdesaan.
Eman-eman kan kalau kecemburuan di masyarakat ini berlanjut?