Komentar Buku Sebelum Trenggalek Kini

Sebuah karya buku yang indah dari Misbahus Surur.

Saya hanya menyukai sejarah jika dibaca menggunakan “ketapel”, semakin kita tarik ke belakang semakin kita melesat ke depan. Bahkan hingga ke batas yang akal sejarawan dan sejarah sendiri tak mampu menjangkau. Memikirkan “museum” sejarah lampau sekaligus “visiun” kini dan nanti melalui tekad, kerja, serta kepercayaan diri.

Belum banyak yang saya baca, setidaknya dalam 1 jam singkat, saya sudah menghabiskan 75 halaman. Dengan beberapa pertanyaan pada penulis, dan pembaca sekalian:

  1. Ketika “wanua” menjadi “thani” pada masa Kadiri, yang mana kultur agraris sebagai modal sosial. Apakah tani yang kita kenal sekarang mengalami penyempitan makna? Dari struktur sosial menjadi sekadar status pekerjaan?
  2. Mungkinkah tani yang kita kenal sekarang kita angkat lagi kelasnya—sebagai struktur sosial seperti masa lampau, dengan mempertimbangkan IoT, bioteknologi, dsb!—mungkinkah tani tidak lagi menjadi keterpaksaan karena tidak ada pilihan? Mereka memiliki kedaulatan akan produksi hulu-hilir, tidak egois memikirkan petak-petak kecil mereka, melainkan melakukan konsolidasi lahan, konsolidasi data, konsolidasi sumber daya dan sumber dana?

    Bertemu partner bukan hanya off-taker (pembeli), bukan dipungut pajak melainkan kesadaran berbagi hasil? (Karena ini imajinasi thani masa depan versi saya terinspirasi bukumu).

  1. Jika kemudian sejarah kekuasaan di barat digeser ke timur dengan meletakkan era baru kerajaan di Jawa Timur pada Mpu Sindok, Jawa Timur sudah menjadi pintu perdagangan Nusantara bagian timur saat ini. Setiap raja membawa “political will” membentuk nilai strategis “kerajaan” barunya. Apa yang bisa kita perbuat dengan Trenggalek? Mungkinkah peradaban maju itu episentrumnya bisa terjadi di Trenggalek? Apa yang bisa kita lakukan agar orang menjadi butuh berinteraksi dengan Trenggalek?
  2. Jika barat Yogyakarta, utara Solo (Surakarta), dan timur Kadiri serta Majapahit, apakah perdikan selanjutnya adalah wilayah selatan? Apakah kemajuan baru itu akan dimulai di sana? Kepada raja siapa kita akan mendapatkan manfaat? Atau kitalah kerajaan di selatan itu?
  3. Imajinasi saya akan tanah perdikan masa depan, saya ingin menempatkan mereka yang dahulu di hutan memburuh saat ini tidak hanya menjadi “stakeholder” melainkan “shareholder”. Tidak hanya mengelola hutannya, tapi punya saham di dalamnya: mampu membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain, tidak dikenakan pajak tapi berkontribusi bagi pembangunan komunitasnya dan komunitas lebih luas. Apa saya berlebihan terinspirasi dari sejarah kita dan tulisanmu?
  4. Jika memang kita sudah ratusan bahkan ribuan tahun, apa legacy ribuan tahun lalu terhadap peradaban saat ini? Apakah kita di masa keemasan itu?

Selamat berdiskusi tentang masa lalu dan di saat yang sama, membangun masa depan.
Salam,
MNA

Artikel Baru

Artikel Terkait