Suatu hari Misbahus Surur (tukang ngedit di portal nggalek.co) tiba-tiba muncul dari kolong meja di ruangan sebuah rumah di Jalan Patimura, sambil teriak (nggetak, dalam bahasa Jawa) dan mata melotot. Tampaknya ia sengaja melakukan itu untuk memberikan efek kejut pada saya yang lengah dan menganggap ruangan sepi dari manusia. Bedebah, sungguh tidak terduga. Itu bukan kebiasaannya selama ini. Aksi spontannya itu secara reflek berhasil membuat syaraf otot saya menjadi tegang tapi juga tampak kocak.
Karena jengkel, saya menghampirinya dengan sekonyong-konyong, lalu mengarahkan tangan saya pada pinggangnya. Bermaksud menggelitikinya untuk menghasilkan efek geli. Ia tidak menyerah begitu saja, lantas menghindari kejaran dengan berlari-lari mengitari meja yang ada di ruangan tersebut. Kami melakukanya sambil cekakakan.
Sebenarnya, ada 3 hal yang mengejutkan atas tindakan Surur tersebut. Pertama, terkejut karena kemunculannya yang tiba-tiba (sebab ia jarang di Trenggalek. Seingat saya saat itu ia baru saja datang dari Malang). Kedua, karena teriakannya yang tiba-tiba; dan yang ketiga, terkejut karena heran dengan niat seperti itu, saya tidak pernah memprediksi ia sekonyol itu.
Kok bisa-bisanya, bagi kita yang sudah setua ini (Surur tua secara usianya agak terpaut jauh dengan saya; saya tua karena beranak tiga) masih melakukan hal konyol yang lazimnya barangkali hanya dilakukan oleh anak-anak.
Hal ini menjadi lucu ketika saya membayangkan Surur melakukan di depan para mahasiswanya. Apakah mereka (para mahasiswa) menangkap ini menjadi sesuatu yang lucu atau malah sebaliknya, menganggapnya sebagai sesuatu yang tak pantas dilakukan oleh orang-orang dewasa. Tapi tak mungkin ia seberani itu melakukannya di depan mahasiswanya.
Faktanya, guder memang jarang ditemui pada orang-orang dewasa, bisa saja dimaknai sebagai hal tabu dan kurang pantas. Bisa dianggap hanya layak dilakukan oleh anak-anak kecil.
Oh ya, canda tawa yang sampai mengaktifkan sensor motorik, afektif dan psikomotorik oleh orang-orang kampung disebut dengan guder (e dibaca seperti melafalkan e pada kata selamat, bukan e pada kata enak).
Ketika hal ini saya tanyakan pada Mas Bonari (budayawan dan sesepuh nggalek.co), ia menyatakan kemungkinan guder dianggap tidak pantas bagi orang dewasa karena efek polah dan tawa terbahak-bahaknya bisa dinilai sebagai sesuatu yang lepas kendali. Meski tidak bisa dinyatakan sebagai tingkah terlarang.
Meski demikian, orang dewasa tidak bisa guder sekehendak hatinya tanpa memperhatikan prasyaratnya seperti, guder dilakukan dengan teman karib atau dilakukan antara bapak dengan anaknya yang masih kecil (tidak semua orangtua bisa guder dengan anaknya yang sudah dewasa). Dan tentu saja pada suasana dan situasi yang tepat.
Saya masih sering menjumpai beberapa orang tua (sudah punya cucu) guder sebelum acara yasinan dimulai, atau sebelum arisan. Tingkah jenaka mereka keluar secara spontan dengan saling menggelitik kaki secara bergantian atau mengungkapkan narasi konyol. Mungkin dulunya (saat masih muda) mereka adalah teman karib, sehingga tidak menganggap tabu guder di muka umum.
Bagi saya pribadi, guder dengan teman se-geng adalah hal biasa, namun menjadi tidak bergairah ketika membayangkan guder dengan Mas Bonari. Bukan karena kami tidak dekat, tapi karena saya menghormatinya sebagai sesepuh. Hormat di sini seperti “rasa hormat” sehingga menyebabkan rasa sungkan melakukan hal konyol di depannya.
Bukan hanya dengan Surur, semisal saya bertemu dengan Roin J. Fahrudin, Ahmad Najib, Ajar Shidiq, Gilang, Rifki dan kawan-kawan lain yang nota bene masih sebaya, saya tetap bisa guder tanpa beban. Namun untuk kawan saya, Androw Zulfikar (nama samarannya Abid) dan juga Rihanan, saya belum bisa guder dengan gembira. Mungkin karena mereka adalah kader NU dan sekarang sudah jadi guru agama ber-plat PNS. Apabila bergurau secara fisik dengan mereka, bisa-bisa saya dicap suul adab. Bagaimanapun mereka adalah guru agama. Guru agama bisa disebut kiai, guder dengan kiai? Ah sudahlah.