Pemerintah Menangani Pagebluk

Sejak sebelum diumumkan masuk Indonesia, jauh-jauh hari saya dibikin parno membaca informasi persebaran Covid-19 di beberapa negara yang tampak masif dan cara penularannya yang kian eksplosif (bayangkan berapa lama kita betah/mampu menahan diri tak menyentuh benda-benda dan wajah kita sendiri?). Lebih parno, saat membaca tanggapan pemerintah yang sok kuat dan merasa Indonesia akan baik-baik saja.

Barangkali itu bahasa lain mengenai bagaimana di awal pemerintah menyepelekan epidemi ini. Alih-alih melakukan antisipasi dan persiapan matang menghadapi kemungkinan masuknya epidemi mengkhawatirkan tersebut. Pemerintah malah menggelontorkan dana pariwisata dan sengaja memanfaatkannya untuk tujuan berinvestasi.

Sebagaimana orang parno pada umumnya, ketika belum diumumkan masuk ke Indonesia, melihat lalu lintas penduduk dan orang dari luar negeri yang gampang, juga melihat kecenderungan pemerintah yang abai bahkan permisif terhadap kegiatan para wisatawan, dua bulan yang lalu saya juga berasumsi: jangan-jangan virus ini sudah beranak-pinak di Indonesia.

Asumsi saya nyatanya tak melenceng. Indonesia tak benar-benar kebal Corona sebagaimana dagelan Menteri Kesehatan, atau kelakar tak lucu beberapa penjabat negara lainnya. Pada kasus-kasus awal tersebut, pemerintah sepertinya malah menyembunyikan lagi tidak transparan, bahkan mungkin ceroboh, misalnya saja saat membaca kasus suspek di Cianjur, yang menimpa seorang pekerja telkom.

Setelah presiden mengumumkan (versi pemerintah) kasus pertama berjumlah dua orang di Depok, Jakarta, pada 6 Maret 2020, pelan tapi pasti jumlah penderita Corona dari hari ke hari makin naik signifikan. Saya aktif mencatatnya tiap hari: dari 2 menjadi 7, lalu 11, 19, 27, 34, 69, 96, 117, 134, 172, 227, 309, 369, 450, merangkak ke angka 514, 579, 686, 790, 893, dan tanggal 27 Maret 2020 kemarin sudah naik ke angka seribu: 1.046 (87 meninggal dan 46 sembuh). Dan, karena berbagai faktor yang tak kita tahu, karena kita awam, sangat jadi kasus Covid-19 tersebut lebih besar para penderitanya di luar sana, ketimbang yang tercatat dalam laporan reguler pemerintah yang tiap hari kita pelototi di televisi.

Untuk saat ini, di wilayah Asia saja, tingkat prosentase kematian di Indonesia adalah yang paling tinggi. Itu bisa dihitung secara manual dengan cara: jumlah yang meninggal dibagi jumlah penderita positif, lalu dikali seratus. Lalu coba saja bandingkan dengan prosentase kematian dari seluruh negara-negara di dunia.

Saat angka yang terjangkit, dan kematian makin naik, apa yang bisa kita pahami dari cara pemerintah menghadapi pageblug ini? Silakan dirunut sendiri. Menyepelekan, mungkin juga menutupi, bersikap memonopoli informasi, juga tidak transparan. Lagi pula ternyata pemerintah tidak punya persiapan matang. Terbukti, setelah kasus pertama dan kasus-kasus selanjutnya mencuat, gagap dan keteteran.

Kenapa negara seperti Arab Saudi langsung tanggap, dengan cara menutup kota suci, Makkah dan Madinah. Padahal para peziarah dari seluruh dunia yang mengunjungi dan beribadah di dua kota suci tersebut, adalah jalan mendatangkan pendapatan terbesar bagi negara? Tebak saya, karena Saudi pernah punya pengalaman menghadapi MERS. Mereka belajar dari kesalahan dan mungkin kesulitan menghadapi MERS, dan tak mau gegabah dan ceroboh.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negara kita belum punya banyak pengalaman menghadapi wabah mematikan abad modern. Semoga saja setelah ini, pemerintah kita bisa belajar dari pengalaman: tentu saja pengalaman menyepelekan. Patut diketahui, bahwa virus-virus yang memakan banyak korban di banyak negara, sebagian faktornya juga karena cerobohnya pemerintah menghadapi sesuatu yang membahayakan bangsa.

Sejak Desember 2019, untuk pertama kali virus dengan nama resmi SARS-Cov-2 (atau penyakitnya dikenal dengan nama Covid-19), dideteksi lewat kasus pneumonia aneh di Wuhan tersebut, hingga hari ini telah menginfeksi ratusan ribu orang di seluruh dunia: dan membunuh puluhan ribu orang di antaranya.

***

Manusia oleh virus ini leluasa diserang dan dijadikan inang. Manusia di hadapan virus Corona seperti makhluk tak berdaya. Saya jadi berpikir, betapa rentannya manusia menghadapi makhluk-makhluk kecil tak kelihatan mata. Bukan hanya oleh virus, saat bahaya mengancam dunia, manusia sesungguhnya adalah makhluk yang paling rentan karena ia tak bisa mendeteksi lebih awal.

Ia baru bisa mendeteksi, setelah memanfaatkan dan mengandalkan teknologi: menciptakan alat-alat pendeteksi dini tanda-tanda dan bahaya yang mengancamnya. Sementara makhluk-makhluk lain dari jenis binatang, mereka lebih tahu bahaya yang mengancam lewat naluri mereka sendiri. Jangan-jangan manusia memang pendatang di bumi ini? Buktinya ia tak punya perangkat fisikal untuk mendeteksi virus Corona.

Artikel Baru

Artikel Terkait