Di awal diberlakukannya work from home dan social distance, menjaga jarak fisik antar-orang, harus dilakukan dengan serius. Untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Tidak secara otomatis orang bisa melakukan ‘jaga jarak’ seperti yang biasa kita lihat di tulisan pantat truk. Tidak mudah memang, apalagi kalau setiap hari ketemu orang bersalaman, atau bahkan cium tangan.
Kita adalah masyarakat yang sehari hari berinteraksi dan sering bertemu secara fisik. Kita terbiasa kumpul kumpul, makan-makan, cangkrukan, ngopi bareng, dan nggosip-nggosip. Maka, upaya menjaga jarak secara fisik itu perlu usaha-usaha ekstra.
Efek psiko-sosialnya, gara-gara Covid-19 ini, kita jadi mudah curiga, tidak mudah percaya terhadap orang lain, siapa pun itu: anak, adik, kakak, teman dekat. Tak ada yang menjamin bahwa orang terdekat kita, yang kita temui sehari-hari, tidak menggendong si virus yang tidak kasat mata ini. Jaminan minimal itu lalu ditumpukan pada hand-sanitizer, kalau punya. Karena si virus ini tidak kelihatan, maka pengawasan terhadap mobilitas virus ini dilihat dari mobilitas orang.
Setiap orang dilacak dan diawasi. Sistem surveillance ini memeriksa setiap orang dari mana, ngapain saja dan ketemu siapa. Kepercayaan terhadap orang lain pun ditimbang-timbang kembali, dalam dunia pandemi virus Covid-19 ini.

Ada ilustrasi menarik mengenai “rasa percaya” terhadap orang lain di masa pandemi Covid-19 ini, sebagaimana ditunjukkan oleh gambar meme di atas. Gambar ini ide dasarnya adalah adegan dari film animasi Aladdin (1992), ketika Aladdin mengulurkan tangan mengajak Putri Jasmine untuk naik ke karpet terbang. Muncul keraguan pada Puteri Jasmine selama beberapa detik, mau nggak ya, menyambut uluran tangan Aladdin dan ikut naik ke karpet terbang. Keraguan ini wajar, karena dia belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, dan belum yakin apakah dia nggak bakal terjungkal dari karpet terbang.
Membaca keraguan Sang Puteri, Aladdin bilang “do you trust me?” (Apakah kamu percaya padaku?). Kalimat ini beberapa kali dikatakan oleh Aladdin di film ini kepada Puteri Jasmine dalam beberapa peristiwa. Tentu saja si Aladdin tidak mengharapkan jawaban “no”. Kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut Aladdin itu tak lain untuk meyakinkan Puteri Jasmine, meskipun tanpa ada jaminan apa-apa. Pokoknya percaya. Di film itu, bisa ditebak, Puteri Jasmine menyambut uluran tangan Aladdin dengan mantra trust tadi.
Namun dalam situasi pandemi Covid-19 ini, Puteri Jasmine tidak begitu saja percaya dengan mantra “trust” yang diucapkan Aladdin. Puteri Jasmine menegosiasikan mantra tersebut dengan membawa hand sanitizer. Alih-alih langsung menyambut uluran tangan Aladdin, Puteri Jasmine langsung menyemprotkan cairan hand sanitizer ke tangan Aladdin dengan ekspresi yang skeptis manjah. Hal ini tak lain menunjukkan bahwa dia tidak secara sukarela percaya kepada Aladdin. Puteri Jasmine di sini menjadi lebih realistis, siapa tahu pada tangan Aladdin bersarang virus Covid-19. Jadi, tindakan pencegahan itu penting, mengalahkan trust.
Sejatinya di masa pandemi seperti ini, trust antara berbagai pihak sedang dipertaruhkan. Apalagi trust rakyat terhadap pemerintah. Kalau Aladdin yang punya mantra jitu saja bisa ditawar, nah apa mantra yang hendak disemburkan oleh para pengelola dan pejabat tinggi negara ini?
Alih-alih membangun mantra atau strategi untuk menghadapi Covid-19. Di awal, para menteri atau pejabat tinggi negara malah enak-enak cengengesan tentang virus corona. Masih ingat kan, di sepanjang bulan Februari, sekitar dua minggu sebelum Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama, bertebaran kelakar para pejabat tinggi negara seperti ini: “Corona adalah komunitas rondo mempesona, “Corona mobil?”, ”Corona tidak masuk ke Indonesia karena ijinnya susah,” “Kita kebal Corona karena doyan nasi kucing,” “Indonesia terhindar dari virus Corona karena berkah doa qunut.”
Memang bukan sekadar kelakar sih. Pernyataan itu sesungguhnya menunjukkan isi kepalanya, mindset-nya memang cukup sampai segitu doang. Sekali lagi kelakar yang menganggap enteng si Covid-19 ini berlangsung hanya selang dua minggu sebelum realitas mengguncang penyebaran Covid-19 di Indonesia. Menyebar cepat dalam senyap.
Kalau yang berkelakar itu masyarakat biasa, mungkin tidak ngaruh, ya kan. Lha ini, pejabat yang harusnya sibuk menyusun strategi dan skenario memerangi Covid-19. Musuh sudah di depan mata, kok masih cengengesan, sok kebal. Nah, begitu sudah pada kena virus, terlihat mbingungi. Giliran datang alat untuk mendiagnosis Covid-19, eh… rebutan terdepan minta dites; sekeluarganya; seanak cucu cicitnya. Bagaimana mau membangun trust?
Baiklah, itu sudah berlalu. Terus apa? Kembali ke perkara trust. Momentum pandemi Covid-19 ini mestinya menjadi pelajaran, yang harus diambil hikmahnya (kan paling enak, mengambil hikmahnya), terutama oleh para pejabat. Bukan karena gabut, bukan. Mestinya para pejabat dan penyelenggara negara ini belajar menggunakan momentum pandemi ini untuk membangun trust bagi rakyatnya, konstituen-nya, pemilihnya.
Mumpung banyak yang membutuhkan pertolongan, kenapa tidak bekerja dan beraksi lebih cepat dan sat-set untuk mengatasi masalah? Otoritas sebagai pejabat akan kokoh manakala orang percaya dengan apa yang dikerjakan, tanggap cepat terhadap kondisi darurat yang diramalkan masih akan berlangsung dalam beberapa bulan mendatang. Jadi, masa pandemi Covid-19 adalah masa di mana doa-doa Anda akan diijabah ketika Anda mampu bergerak beramal nyata.