Ya, pandemi tengah terjadi. Dan tanpa jaminan yang pasti akan akhir dari masa kelam ini, seseorang hanya bisa berharap. Namun seiring waktu harapan terus tergerus oleh rasa gelisah dan pesimisme dari dalam diri. Dan tulisan ini muncul; bukan untuk menggarami lautan, alih-alih menawarkannya.
Tapi untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami lebih dulu.
Bisa dikatakan mustahil untuk mengumpulkan perwakilan negara-negara di dunia untuk membahas sebuah wacana yang tidak bersifat ekonomis dan politis, karena masing-masing negara punya konflik dan kepentingannya. Tapi pertemuan itu memang pernah ada, lima tahun yang lalu. Para perwakilan dari 195 negara berhasil duduk melingkar di Kota Paris guna membangun sebuah pemahaman bersama: bahwa masyarakat dunia akan dihadapkan pada bencana besar yang mungkin akan membuat manusia punah.
Tidak, bukan virus maupun pandemi yang jadi soal, tapi jauh lebih bahaya daripada itu. Sebab pandemi bisa dipulihkan, sementara bahaya yang mengancam ini tidak. Bahaya ini akan muncul sebagai fenomena lingkungan yang kini sering disebut sebagai perubahan iklim atau krisis iklim. Karenanya, terbentuklah kesepakatan bersama yang sekarang kita kenal bersama sebagai Paris Agreement, alias Persetujuan Paris.
Sebentar, sepertinya kita tidak pernah mendengarnya sebelum ini.
Memang. Selama ini kita hampir tidak pernah mendengar di media-media Indonesia, bahwa keadaan alam makin buruk, kecuali menyoal banjir, kebakaran lahan maupun bencana yang lain. Tapi berita semacam ini gampang menguap begitu bencana selesai, atau setelah ditemukan kambing hitamnya. Ingatkah bagaimana kelanjutan kasus bencana asap lahan gambut tahun lalu, juga kasus banjir tahun baru di ibu kota? Semua berujung pada politik dan ditunjuklah beberapa kriminal yang seolah jadi penanggung jawab seluruh persoalan itu.
Lalu, selesai dengan perdebatan tak kunjung usai di dunia maya. Kita tak pernah benar-benar mendiskusikan persoalan yang mendasarinya: bagaimana iklim berubah dan menjadi sumber bagi banyak bencana alam? Maka tak ayal, jika sebuah survei yang dilakukan pada 2019 menobatkan kita sebagai bangsa yang paling tak percaya bahwa iklim tengah berubah, dan itu semua ulah manusia.
Mari kita kembali ke pokok bahasan kita yang pertama.
Tujuan umum dari kesepakatan yang ditandatangani di Paris itu adalah mempertahankan suhu bumi untuk tidak lagi naik hingga 2 derajat celsius (kini ambang batas itu direvisi menjadi 1,5 derajat). Jika tidak, iklim akan mengalami perubahan abnormal yang akan merusak ekosistem yang ada. Ambang batas ini menunjukkan batas toleransi di mana kita bisa memulihkan keadaan tersebut. Artinya, lepas dari 2 derajat celsius perubahan iklim tak lagi bisa dipulihkan. Bahkan semakin menjadi. Itu adalah gerbang yang nyata menuju kiamat, kepunahan umat manusia.
Maka kontrol khusus, terutama dengan mengurangi emisi karbon yang berada di atmosfer. Mengapa? Sebab emisi inilah yang menjadi biang keladi perubahan iklim itu terjadi. Dan dengan adanya Paris Agreement, negara-negara peserta diharapkan melakukan pelbagai kebijakan guna menekan emisi karbon hingga separuh dari dari jumlah emisi karbon saat ini. Emisi karbon di sini adalah sisa dari pembakaran bahan bakar fosil yang kaya dengan karbon karena berasal dari biota yang hidup di masa lalu. Penyumbang terbesar emisi karbon paling banyak berasal dari limbah industri, pertanian, transportasi, dan pembangunan.
Tanpa kontrol khusus itu, maka kehidupan modern yang berlangsung sekarang, bumi akan mengalami kenaikan suhu tiga kali lipat dalam seratus tahun ke depan. Jika sekarang bumi sudah lebih panas 1,3 derajat dari suhu normal bumi (dicatat pada awal revolusi industri 1800), kemungkinan 100 tahun lagi suhu meningkat 4 derajat. Padahal pada ambang 2 derajat kita akan mengalami perubahan iklim yang ekstrem sehingga membuat kita susah beradaptasi. Perekonomian ambruk, pandemi mungkin akan berulang, dan jutaan jiwa akan melayang.
Tahun demi tahun berbagai upaya pengurangan emisi karbon dijalankan. Namun ternyata hasil evaluasi yang dilakukan pada akhir 2019 menunjukkan bahwa kita tidak melakukan upaya itu dengan benar. Rupa-rupanya banyak agenda yang sudah disiapkan sejak 2016 demi perbaikan itu terganjal di tengah jalan. Penyebabnya macam-macam. Tiongkok yang punya ambisi besar di bidang infrastruktur ternyata memberi perpanjangan waktu bagi pabrik-pabrik untuk bisa menyesuaikan diri pada standar yang baru. Perancis mengalami penolakan besar-besaran dari masyarakat karena pajak bahan bakar yang sedianya digunakan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil itu ditentang. Kekacauan pun terjadi di sepanjang 2019, hingga majalah TIME menyebut tahun 2019 sebagai tahun protes massa. Sementara pemerintah Amerika Serikat terang-terangan membatalkan partisipasinya dalam Paris Agreement.
Banyak pula persoalan yang dihadapi masing-masing negara peserta selama menjalankan kesepakatan Paris. Dan ini menjadikan kita semakin jauh dari target untuk menahan kenaikan suhu di 2050, batas akhir kesepakatan itu.
Pada titik ini banyak orang yang meragukan, mungkin kita takkan bisa memenuhi target tersebut. Menjaga bumi tak lebih panas dari dua derajat. Menjaga bumi untuk tak mengalami krisis iklim yang lebih buruk, tak terpulihkan, dan mematikan, memusnahkan manusia. Beberapa sudah berputus asa, tapi banyak yang tak peduli.
COVID-19, Angin Baru
Belum lagi persoalan tentang krisis iklim terselesaikan, kini mau tak mau perhatian kita dialihkan oleh persoalan yang akut, yakni pandemi virus baru dari keluarga SARS, yang sering disebut sebagai COVID-19. Tak lama semenjak kelahirannya, virus ini langsung viral dan mengacaukan tatanan pelbagai negeri di seluruh penjuru dunia. Sekalipun tak kasat mata dan tak begitu terasa hingga beberapa hari ke depan setelah pertama kali berinteraksi dengannya, COVID-19 nyatanya berhasil menumbangkan banyak korban jiwa.
Virus ini adalah seburuk-buruknya musuh, ibarat musuh dalam selimut, ia tak nampak di mata. Kekacauan pun terjadi, kegelisahan mulai menggelayuti, dan mungkin sebentar lagi akan banyak keputusasaan yang menjangkiti pikiran manusia.
Sejumlah kebijakan elit penguasa pun ditegakkan. Kebijakan yang paling terkenal adalah lockdown dengan segala variannya, termasuk PSBB. Orang-orang diimbau, semi-wajib, untuk tetap tinggal di rumahnya, atau setidak-tidaknya tidak berada di luar ruangan. Harapannya adalah angka penularan COVID-19 menjadi turun, atau setidaknya tidak membebani kapasitas rumah sakit yang mampu merawat pasien korona.
Perubahan terjadi, jalanan sepi, pusat keramaian sepi, bahkan harapan pun kian jadi sepi. Tak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu berita bahwa pandemi telah berakhir, dan ‘kurungan’ sudah selesai. Tapi kapankah waktu yang dinanti itu tiba, hanya Tuhan, dan peramal yang beruntung menebak, yang tahu.
Sementara COVID-19 kian menggelayuti pikiran dan kegelisahan merajalela, dan manusia terpaksa mengurung diri di dalam ruangan, kota-kota diinvasi oleh gerombolan asing.. Di Italia, kanal-kanal jalur kapal kini didatangi lumba-lumba dari tengah laut. Di Afrika Selatan, singa-singa datang ke jalanan dan berjemur di tengahnya, laiknya kucing yang bersantai setelah menandai wilayah kekuasaannya.
Begitu juga, pinguin-pinguin berjalan bebas di tengah kota yang lengang. Di lain tempat, gerombolan kapibara mengklaim lapangan golf sebagai tempat tinggalnya. Pun kambing-kambing liar dengan santainya berjalan-jalan di kota sambil memakan semua yang tampak hijau. Fenomena yang lucu terjadi ketika hewan-hewan ini berjumpa dengan manusia di balik jendela kaca. Situasi ini tak ubahnya kebun binatang, tapi dengan posisi yang dibalik. Manusia dalam kandang, dan hewan berjalan-jalan.
Tak cuma di daratan, anomali setelah dijalankannya program lockdown juga terjadi di langit berbagai belahan dunia. Polusi udara di Tiongkok berkurang 30 persen, menyisakan udara segar. Udara ibu kota Jakarta juga mengalami perbaikan: awalnya indeks kualitas udara (AQI) Jakarta pada 17 April lalu berada di angka 155, namun satu minggu setelahnya, pada 24 April, AQI Jakarta berada di angka 60. Adapun langit India yang selama beberapa dekade hanya diselimuti langit polos kegelapan oleh polusi, pada akhirnya menyingkap selubungnya dan menampakkan pegunungan Himalaya yang akbar itu.
Apa arti dari semua ini?
Agaknya anomali ini sedianya bukanlah anomali melainkan normalisasi bumi menuju kondisi alamiahnya. Barangkali negara-negara peserta Paris Agreement tidak bisa mengintervensi pengurangan emisi karbon di wilayahnya sesuai agenda karena pandemi ini. Namun secara tidak langsung penanganan pandemi ini sendiri malah membantu memenuhi target Paris Agreement. Sekali dayung dua pulau terlewati.
Kemudian jika kita pikir-pikir lagi, masuk akal rasanya jika kehadiran manusia lah yang menjadi parasit perusak di bumi, lalu muncullah virus ini sebagai antibodi yang mengurangi kerusakan yang ada. Maka timbul sebuah pertanyaan, apakah pandemi ini memang cara alami bumi untuk menunda kiamat kepunahan manusia?
Entahlah.