… masa kecil saya juga akrab dengan lagu-lagu Didi Kempot. Awalnya hanya selintas curi-dengar dari musik hajatan, radio di pasar hingga dalam bis antarkota dalam propinsi. Lalu sampailah saat tiba-tiba mulut merapal sendiri secara tidak sengaja ketika mendengarnya di suatu tempat. Lagu-lagunya seperti “Stasiun Balapan” atau “Prau Layar” jadi serpihan tembang masa kecil. Jadi, ketika beberapa waktu belakangan nama Didi Kempot melejit di pasar nasional, saya termasuk orang yang antusias dan turut menyambut baik.
Didi membawa campursari yang sebelumnya dicap ndesa dan “kedaerahan” menjadi konsumsi kalangan muda secara luas. Dan ini bukan hal mudah. Apalagi identitas lagunya yang selalu dilekatkan dengan kultur “kampungan” dan “jadul”. Seperti selalu tidak siap jika ditantang oleh, misalnya genre pop, rock, jazz, yang terkesan urban dan glamour. Tetapi Didi Kempot mematahkan itu semua. Dia menyingkap batas kelas, bahwa siapa pun dan di lapisan sosial mana pun kita, di hadapan patah hati kita sama. Sebab, luka selamanya akan selalu universal.
Lalu terciptalah trend sang pujangga ini dipuja, lagu-lagunya dicinta. Nada yang mengalun enak di telinga disertai lirik-lirik sederhana yang dekat dengan hidup sehari-hari menciptakan gelombang “die-hard fans” yang membawa-bawa namanya di keriuhan popularitas sosial media. Banyak sekali lagu-lagu Didi yang dicover oleh anak-anak muda, bahkan dibikin aransemen yang unik. Formula patah hati yang menghiasi hampir sebagian besar lagu-lagunya berhasil menobatkannya menjadi The Godfather of Broken Heart. Ajaran, mungkin juga ideologi ambyarisme-nya menyebar di segala lapisan masyarakat. Dalam konsernya, jutaan orang menyanyi bersama merayakan peliknya patah hati dengan khidmat.
Memang tidak ada yang lebih ambyar daripada orang patah hati. Lagu Didi Kempot adalah karib bagi pemuda yang ditinggal merantau oleh kekasih sampai bertahun-tahun tak bertemu lagi tak menentu, pengkhianatan kekasih yang dilakukan di depan mata, keresahan seorang yang dilanda demam rindu. Lirik-liriknya dengan lembut merambati kamar-kamar kumuh perantauan, losmen buruh, bis-bis kusam antarkota, warung-warung kopi, mengalun menemani jeda istirahat dari hidup yang nyaris sureal. Lagu-lagu Didi adalah obat luka, suara pengaduan dan peng-aduh-an, saksi bagi banyak kehilangan hingga pertemuan.
Pemakluman akan kesedihan barangkali tidak hanya terhenti pada lirik-liriknya. Dalam konser Lord Didi kita tentu pernah melihat seorang lelaki setengah mabuk (?) yang menangis tersedu lalu dengan setabah-tabahnya berteriak “bajingan” entah ditujukan untuk siapa. Setelah itu pun muncul video-video ambyar lain yang tidak sengaja tertangkap kamera yang juga diperankan oleh laki-laki.
Saya jadi berpikir bahwa derita dalam liriknya sungguh memiliki kekuatan yang mampu meruntuhkan tembok maskulinitas. Dalam masyarakat kita, pria menangis cenderung dicap cengeng, tidak berwibawa, kemayu bahkan hingga ada yang diolok sebagai Bapak Air Mata Nasional. Laki-laki harus selalu kuat. Otot-ototnya harus terus mencengkram, pandangannya harus melulu tajam.
Laki-laki menangis berarti lemah dan identik dengan perempuan. Dalam tanggung jawabnya yang besar seharusnya laki-laki juga jadi makhluk yang sangat rentan ambyar. Jadi sudah seharusnya laki-laki bisa menangis sepuasnya tanpa merasa dipermalukan. Tangisan fans-fans Lord Didi barangkali adalah akumulasi kesedihan yang tertimbun lama yang mungkin saja tidak hanya disebabkan oleh percintaan, tapi bisa juga oleh kisah-kisah bajingan yang tak dapat ia suarakan dalam banyak kata.
Sebetulnya lagu-lagu Didi tidak hanya melulu patah hati. Ada yang berkisah tentang jatuh cinta, keluarga, wisata. Semuanya dikemas dalam lirik puitis, kreatif di rima, kaya idiom dan menarik di frase. Saya jamin generasi saya pasti banyak belajar variasi kosa-kata Jawa, salah satunya, dari lagu Lord Didi. Lagunya disetel di warung kopi tempat ngopi buruh bangunan hingga kafe-kafe tongkrongan anak muda perkotaan. Lagu yang mampu menembus sekat menciptakan gelombang ingatan bersama, yang tidak eksklusif dinikmati oleh segmen masyarakat tertentu. Oleh karena meninggalnya Didi Kempot kemarin adalah sebenar-benarnya kehilangan kolosal.
Saya ingat Didi pernah berpesan bahwa patah hati tak perlu ditangisi, justru harus dijogeti. Dari caranya menjamah fans dengan lagu-lagu ambyar sekaligus tetap menyemangati mereka lewat pesan-pesan riang, saya jadi tahu bahwa memang begitulah siklus manusiawi melawan luka. Maklumi saja hidup tak selamanya baik-baik saja. Manusia kapan pun bisa jatuh, berlarat-larat, menangisi kepiluan seperti bayi kecil.
Tetapi tak selamanya mereka akan di sana. Mereka akan pulih, berdiri lagi di kaki seperti biasa, membiarkan lukanya membeku dan jadi potongan kecil kenangan dari hidup yang panjang. Namun sebelum itu, ia harus melewati masa sulit dengan penghiburan yang ia dapat dari ratusan perjalanan, renungan, lagu hingga bacaan. Didi Kempot ada di sana memberi warna dalam kenangan banyak manusia, membuat namanya hidup lama dalam memori kita.
Sugeng tindak, Lord Didi. Sugeng mbabat dalan anyar ning langit swargo.