Menjadi tua dengan usia lanjut adalah sebuah pilihan yang tak terhindarkan. Tak dipungkiri, banyak di antara kita yang cemas dan ketar-ketir menghadapi masa tua. Bahkan saat hari ulang tahun tiba, usia mereka bertambah—sebagian menganggap usianya berkurang—ada yang bahagia, namun tak sedikit yang merasa bahwa sebenarnya sedang menuju jenjang hidup kaku dan membosankan.
Menjadi tua bagi saya adalah melakoni kehidupan menuju fase kemunduran. Sudah tak leluasa bergerak dan ruang menjadi terbatas. Akhirnya banyak yang menganggap bahwa lansia adalah “makhluk yang tak berdaya”. Ia hanya bisa menikmati masa purna dengan duduk manis di lincak beranda rumah. Menyeduh wedang kopi dan kudapan. Sesekali dihibur oleh kicau burung liar di atas pohon. Di lain sisi, teman akrab mereka adalah minyak angin dan sebangsanya, dan menjaga atau momong putu.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa menjadi tua dengan usia lanjut, mereka lebih banyak berinteraksi bersama cucunya ketimbang bersama anak-anaknya. Bagi saya, hal tersebut seperti kembali pada sebuah fase, selain mendekati akhir hajat, juga mendekati dunia kekanak-kanakkan.
Meski demikian, lansia menjadi perhatian khusus dari bonus demografi. WHO sebagai induk organisasi kesehatan dunia mencatat angka harapan hidup bangsa Indonesia. Di tahun 2016, angka harapan hidup Indonesia mencapai rata-rata 69 tahun. Dengan rincian 71 tahun untuk usia wanita dan 67 tahun untuk pria. Sementara, Badan Pusat Statistik RI tahun 2018 menyebut bahwa angka harapan hidup negara Indonesia meningkat, yakni 71,2 tahun, di mana 73,19 untuk angka harapan wanita; 69,3 untuk angka harapan pria.
Masih menurut data BPS, di tahun 2018, provinsi Yogyakarta dengan kultur kebudayaan dan pedesaan yang istimewa memiliki angka harapan 74,84 tahun. Itu artinya 73,03 angka harapan hidup bagi pria dan 76,65 tahun bagi wanita. Sedangkan provinsi dengan angka harapan hidup rendah adalah Sulawesi Barat dengan angka harapan hidup 64,61 tahun (62,76 tahun bagi pria dan 66,47 tahun bagi wanita. Sementara Jawa Timur dengan populasi yang padat berada di posisi ketiga setelah Provinsi Jawa Tengah.
Di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Trenggalek yang memiliki basis pertanian dan lautan, di tahun 2018, Indeks Pembangunan Manusia mengalami peningkatan. Dari IPM tersebut, usia harapan hidup warga Kabupaten Trenggalek, menurut BPS mengalami peningkatan, yakni sebesar 73,35. Melihat data statistik tersebut, penduduk yang berusia lanjut bisa terus bertambah hingga tahun 2025.
Menyambut hal tersebut pemerintah Kabupaten Trenggalek tidak tinggal diam. Sejak 2016, pemerintah telah melaksanakan program ramah lansia secara bertahap. Merujuk laman https://trenggalekkab.go.id, (20/07/2018), program tersebut di antaranya adalah program Gelas Perak (Gerakan Lansia Sehat Perluas Akses Layanan), Gelas Timah (Gerakan Lansia Sehat Tinjau ke Rumah), Gelas Granit (Gerakan Lansia Sehat Gigi Bersih dan Rapi Kini hingga Nanti), Gelas Bezi (Gerakan Lansia Sehat Beri Layanan Gizi), Gelas Emas (Gerakan Lansia Sehat Energik, Mandiri, Aktif dan Semangat), Gelas Perunggu (Gerakan Lansia Sehat Persingkat Waktu Tunggu).
Pelaksanaan program tersebut sangat penting. Apalagi Trenggalek memiliki banyak manula atau lansia di pelosok desa. Persebaran lansia tidak hanya di wilayah perkotaan, persebaran lansia sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Trenggalek dengan kontur wilayah pegunungan dan sebagian kecil dataran serta pesisir sangat besar persebaran lansianya. Karena itu, Kabupaten Trenggalek dengan wilayah seperti itu banyak persebaran lansia di pelosok-pelosok desa.
Di Jawa, khususnya di Kabupaten Trenggalek kita biasa melihat Mbah Kakung dan Mbah Wedok—sapaan akrab lansia laki-laki dan perempuan—masih giat bekerja tanpa tahu bahwa ia sudah berusia lanjut bahkan tak kenal lelah. Padahal, jika dilihat bahunya sudah ringkih. Otot dan tulangnya sudah kendur. Tenaga dan pikirannya sudah menurun. Tubuhnya sudah tak setegar dan napasnya sudah tak sepanjang dan setangguh dulu.
Tetapi semangatnya dalam bekerja tak pernah luntur. Mbah Lanang dan Mbah Wedok sangat telaten menggarap pekarangannya. Baik miliknya sendiri maupun buruh tandur milik orang lain. Berkebun atau sawah dan alas bahkan ada sebagian dari Mbah Kakung ikut mencari ikan di laut. Bahkan menuju tempat kerja, jamak kita temui berjalan kaki tanpa alas kaki. Adakah yang masih punya Mbah Kakung dan Mbah Wedok yang sulit disuruh istirahat saat tandang gawe?
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa karakter orang dahulu adalah pekerja keras. Sehingga di usia yang sudah lanjut pun, ia masih sregep, kuat dan mampu menanggung beban yang tidak sedikit. Kuat menggendong rumput pakan ternak, bersepeda dengan membawa hasil kebun, membawa beban di atas kepala dan mengindit sekumpul ranting kayu yang biasa digunakan kayu bakar.
Selain itu, ia juga disiplin waktu. Di mana, mereka sebelum azan subuh berkumandang sudah bangun. Mandi lalu sembahyang subuh. Selesai sembahyang, ia menyalakan api atau cethik geni di tungku atau pawonan yang berbahan bakar kayu kering. Setelah masakan sudah matang lalu sarapan, tak ia lewatkan begitu saja tanpa beraktivitas. Ia bergegas berkebun atau berjualan ke pasar dengan dagangan yang ia punya.
Bila berkebun, ia biasa membawa bekal atau bontrot untuk keperluan makan siangnya. Sementara berjualan, mereka menjajakan dagangan atau produknya sangat sederhana. Saya sering berjumpa dan mencoba untuk membeli produk yang dijual Mbah Lanang atau Mbah Wedok itu.
Saat proses transaksi atau tawar-menawar dengan cara memaksa. Mereka menawarkan dengan cara umum. Bila ada yang membeli hanya karena iba, saya meragukannya. Saya kira bahwa banyak orang membeli karena etos keramah-tamahannya dalam menawarkan produk tersebut. Selain etos ramah tamah, ia juga tidak diuber oleh profit atau berapa keuntungan yang didapat.
Bahkan yang tidak kalah penting dari keramah-tamahan saat melayani dagangannya, ia juga tidak akan lupa menyisipkan sebait dua bait harapan dan doa yang tulus dari hatinya. Bahwa dengan wajah yang sudah keriput, dan pelayanannya yang ramah, masih dapat doa yang banyak pula.
Saya juga sering melihat Mbah Kung dan Mbah Wedok dengan mesra berdua bersama-sama. Baik sedang berjualan maupun sedang berjalan menuju tempat lain. Aktivitas ini yang mendorong mereka untuk tetap bertahan hidup dan saling menguatkan secara spiritual. Meski tidak peduli seberapa hasil yang didapat dari berdagang, tetapi yang lebih penting dan prinsip utamanya adalah tetap bersyukur kepada Gusti Illahi.
Jika masih banyak yang beranggapan dan menyebut bahwa para lansia di desa maupun di perkotaan itu adalah makhluk yang tidak berdaya. Tolonglah bangun sebelum ayam berkokok sebelum subuh dan lihatlah apa yang oleh para Mbah Kung dan Mbah Wedok dilakukan.