Pada Jumat, 5 April 2020, DKPP melaksanakan sidang dugaan pelanggaran kode etik atas anggota/salah satu komisioner KPU berinisial NS yang sebelumnya telah dilaporkan oleh warga berinisial AN. Proses persidangan DKPP ini dilakukan secara virtual melalui media Zoom Meeting dan merupakan kasus pertama di Trenggalek. Sebab, sebelumnya memang belum pernah ada kasus dugaan pelanggaran kode etik. Sampai di sini saya menyimpulkan bahwa proses persidangan ini setidaknya telah menyumbang angka indeks demokrasi di Trenggalek.
Seperti yang dijelaskan oleh DKPP di laman dkpp.go.id, bahwa pengadu (AN) melaporkan teradu (NS) karena diduga telah membocorkan nama AN, kepada MSA (yang dilaporkan AN ke KPUD Trenggalek) dengan menyebut nama dan alamat AN. Kemudian, AN melaporkan NS dengan tuduhan melakukan pelanggaran kode etik karena tidak bisa menjaga rahasia nama pelapor. Dan, DKPP pun menerima laporan AN dengan menjadwalkan sidang untuk keduanya.
Apa yang dilakukan AN sudah memenuhi standar yang diberlakukan DKPP, sebagai lembaga penegakan hukum yang ditunjuk negara dalam kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu/pilkada/pemilihan kepala daerah, buktinya DKPP mau menggelar sidang. Penulis rasa jika memang yang diadukan AN ini adalah perkara remeh, DKPP tidak akan menanggapi laporan tersebut lebih serius dan hingga akhirnya mau menjadwalkannya dalam sidang DKPP. Paling-paling ya diterima begitu saja lalu di-drop-out–kan (tidak dilanjutkan).
AN sudah memenuhi haknya sebagai masyarakat yang diberi wewenang untuk memberikan laporan ke DKPP jika menemukan dugaan pelanggaran oleh penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu. Sebagai masyarakat yang hidup di negara demokrasi dan mentaati hukum, sudah selayaknya kita menilai ini sebagai wujud dari proses demokrasi yang harus dihormati. Saya rasa apa yang dilakukan AN bukan hal aneh. Tapi untuk konteks Trenggalek, barangkali menjadi hal baru, dan semoga pihak-pihak yang pernah mengalami hal serupa menjadi termotivasi berani melaporkan.
Mengamati secara jujur perkara ini sebagai proses hukum yang sah jauh lebih baik ketimbang menilai ini sebagai bentuk luapan kebaperan. Karena toh dari berbagai komentar yang muncul di medsos, ada juga yang menilai kasus ini sebagai bentuk kebaperan dari si AN kepada NS lalu menghubung-hubungkan dengan hal yang tidak subtansial terhadap kasusnya sendiri.
Dalam sidang tersebut, teradu (NS) telah memberikan banyak sanggahan plus dalil-dalil hukum, yang hal tersebut memang sudah menjadi haknya. Teradu diberikan wewenang untuk membela atas tuduhan pengadu. Sampai di sini, saya menilai juga benar dan tepat. Bagi yang merasa tidak pada posisi sesuai yang dituduhkan pengadu, memang harus memberikan sanggahan di hadapan yang mulia. Tidak ada yang aneh dengan hal tersebut.
Polemik antara keduanya lantas diserahkan kepada DKPP sebagai lembaga yang berwenang menentukan benar dan salahnya secara lebih adil. Posisi DKPP adalah sebagai penengah atas persoalan kedua belah pihak, dan pihak yang berwenang menentukan apakah itu pelanggaran dan seberapa berat pelanggaran tersebut dari bukti-bukti yang dikumpulkan. Apakah tuduhan AN kepada NS dinyatakan benar atau NS dinyatakan benar atas delik yang diadukan, itu sepenuhnya wewenang DKPP. Sampai di sini juga menjadi hal yang wajar.
Justru yang menurut saya tidak wajar adalah mereka yang terlalu gegabah memandang persoalan antar-keduanya, sedang mereka sendiri tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk memberikan penilaian. Sekali lagi, kewenangan mutlak menentukan keputusan benar atau salah berada pada diri hakim DKPP. Yang bisa dilakukan warga masyarakat yang tidak terlibat adalah memberikan perkiraan semata, atau asumsi-asumsi, tidak sampai memberikan label buruk kepada keduanya.
Misalnya seorang komentator WAG (WA Group) mengatakan bahwa persidangan kemarin adalah sidang perasaan yang lebih didominasi oleh perasaan baper pengadu, lantas mengaitkan hubungan personal mereka sebagai teman dan menilai sekenanya. Justru hal demikian menambah preseden buruk bagi proses demokrasi kita. Yang mana jika di-gebyah uyah, hubungan masyarakat dengan pejabat publik ada aturannya dan hubungan antara teman dan teman juga ada aturannya.
Baik pengadu maupun teradu sudah memenuhi hak dan kewajiban hukum yang diberikan kepadanya, pun dengan DKPP sudah menjalankan amanat rakyat dengan baik. Mereka sudah berada pada posisi yang benar di mata hukum. Justru yang menjadi tidak indah datang dari para pemerhati kasus ini (sebagian besar netizen). Apakah kondisi semacam ini bisa dinyatakan sebagai kegagalan pendidikan demokrasi dan pendidikan politik di negeri ini? Tentu saja tidak.
Penggiringan opini kepada kedua belah pihak yang menjurus pada penilain subyektif (misal, menyatakan ini sebagai bentuk “kepaberan” pengadu atau melabeli teradu sebagai seorang yang tidak tahu etika) bisa dinilai sebagai tendesi melemahkan pribadi masing-masing. Jika hal ini dilakukan secara masif, bisa jadi benih-benih keberanian untuk memberikan laporan atas dugaan pelanggaran bisa mati total. Atau bisa jadi, para teradu yang secara gentle menghadapi persidangan bisa kendor lantas melakukan hal-hal di luar hukum. Kalau sudah begini, yang berlaku bisa hukum rimba. Misalnya, tidak melakukan proses hukum tapi melakukan tindak kekerasan.
Tapi jika dianalisa lebih mendalam, para komentator di media sosial maupun di platform pesan instan yang suka memberikan komentar sekenanya dan menjurus pada penilaian subyektif, ini juga dinilai benar. Kenapa bisa begitu? Karena biasanya setiap orang berpendapat sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Kalau mereka ber-opini dengan pengetahuan yang ada, ya tidak bisa disalahkan. Tahunya cuma segitu je…