Dusun adalah struktur administrasi wilayah pemerintahan di bawah desa. Dusun membawahi beberapa RW (Rukun Warga) dan RT (Rukun Tetangga). Embrio yang menjadi cikal bakal terbentuknya suatu desa bermula dari sekelompok masyarakat sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan kepentingan bersama untuk menghindari ancaman bahaya dari luar. Kelompok masyarakat tersebut lalu membentuk permukiman yang menempati area wilayah tertentu yang disebut dusun.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, tidak disebutkan mengenai definisi mengenai dusun. Istilah dusun hanya disinggung pada pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Desa bahwa: “Dalam wilayah desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain, yang disesuaikan dengan asal–usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa.” Definisi dusun justru ditemukan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada pasal 1 huruf c Undang-Undang Pemerintahan Desa mendefinisikan bawa:“Dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat digarisbawahi bahwa dusun merupakan wilayah suatu desa yang dipimpin oleh kepala dusun dari seorang perangkat desa untuk melaksanakan tugas kerja pemerintahan desa sebagai pelaksana kewilayahan. Seperti halnya desa, dusun memiliki tipologi yang ditentukan berdasarkan letak geografis, lokasi dusun terhadap hutan, peruntukan lahan, dan pola nafkah. Dalam tata kelola akselerasi pembangunan desa harus memahami karakteristik setiap dusun yang akan menjadi ujung tombak pemerintahan desa.
Tulisan ini bermaksud melakukan eksplorasi dan elaborasi Dusun Ketro, Desa Dukuh, Watulimo, yang selama ini distigmatisasi oleh masyarakat desa sekitar sebagai sebuah wilayah yang “ndesit”, “nggunung” atau ekstrim-nya ter-marjinal-kan secara ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Marjinalisasi ini di samping efek letak geografis dan topografinya yang berada di perbukitan dikepung kawasan hutan dan akses infrastruktur jalannya yang sulit, juga akibat dari kebijakan alokasi sumber daya pembangunan yang lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan dan tidak berpihak pada dusun.
Di antara penulis dan Dusun Ketro terdapat ikatan emosional yang tidak pernah akan kering. Di dusun ini penulis dilahirkan dan mulai meniti jenjang pendidikan dasar untuk belajar membaca, menulis, berhitung, mengaji, dan menggergaji tonggak sejarah (milestone) bagi kehidupan sampai saat ini. Peradaban Dusun Ketro pada zaman dahulu, kini dan esok, memberikan kesan istimewa dalam diri penulis. Lahirnya tulisan ini merupakan bentuk refleksi kritis atas kerinduan penulis terhadap dusun tumpah darah: tempat kelahiran dan penulis dibesarkan. Begitu cintanya pada tanah dusun kelahiran, maka penulis katakan bahwa Indonesia adalah bagian dari dusun saya. Indonesia ada karena memiliki Dusun Ketro.
Letak Geografis dan Topografis Dusun Ketro
Tidak diketemukan data pasti, sejak kapan dan siapa founding father yang melakukan babat awal permukiman yang kemudian diberi nama Dusun Ketro ini. Sampai tulisan ini diturunkan, penulis belum mendapatkan data untuk memperkuat proses sejarah serta jejak-jejak peninggalan perbuatan masa lalu terkait asal-usul terbentuknya Dusun Ketro. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sebutan Ketro berasal dari “Ketara” (Kelihatan). Sebutan ini di samping terkait dengan posisi Dusun Ketro yang secara dhohir bisa dilihat dari empat penjuru mata angin, jika dilihat menggunakan mata batin, Ketro adalah suatu tempat yang kelihatan aman untuk dijadikan tempat bermukim. Masyarakat memahaminya sebagai sebuah potret akar historis yang menjadi pilar penyangga Desa Dukuh.
Ketro bersama tiga dusun lainnya, yaitu Kajar, Ponggok, dan Krajan merupakan bagian penting bagi eksistensi pemerintahan Desa Dukuh, Watulimo, Trenggalek. Secara geografis, Dusun Ketro berada di bawah administrasi wilayah Desa Dukuh bagian selatan. Terletak di antara Gunung Trunowelang, Gunung Pegat dan Gunung Tranggulasi dengan ketinggian sekitar 500 mdpl (di atas permukaan air laut). Luas wilayah administratifnya mencakup RW. IV yang membawahi empat RT, yaitu RT 13, 14, 15 dan 16, dengan jumlah penduduk + 228 KK atau + 645 jiwa. Lokasi wilayahnya berada di dataran tinggi pegunungan yang dikepung lahan milik Perhutani. Sebelah barat dihimpit lahan perhutani berbatasan dengan Dusun Kajar; sebelah timur berbatasan hutan yang memisahkan dengan Desa Slawe. Sedang sebelah utara disekat kawasan hutan berbatasan dengan Dusun Ponggok. Adapun sebelah Selatannya dipagari kawasan hutan yang menjadi tapal batas dengan Desa Sawahan.
Letak geografis Dusun Ketro dilewati beberapa jalur aliran sungai yang bersih dan alami berasal dari delapan hulu Sungai. Pertama, sungai yang berasal dari bukit hutan Watu Pecah di bawah Gunung Tranggulasi, Desa Slawe. Dinamakan Watu Pecah, karena hulu yang menjadi sumber utama aliran sungai ini berasal dari bawah batu besar yang pecah. Batu besar tersebut pada sekitar tahun 1978 mengalami longsor yang begitu dahsyat, menimpa hampir sepanjang aliran sungai hingga memasuki kawasan sungai di Karangsono. Aliran Sungai Watu Pecah melintasi sebelah timur permukiman Karangsono hingga Sungai Lasep, lalu bertemu menjadi satu di sungai besar yang termasuk aliran Sungai Blimbing, berasal dari Sungai Tamban dan Banyu Nget.
Kedua, Sungai Pelus. Aliran sungai Pelus meluncur lewat kawasan pemukiman Sumurup di RT 15; Tanggung di RT 16; dan Duren di RT 15. Sesampai di permukiman Duren, sungai tersebut bertemu dan menyatu dengan tiga aliran sungai lainnya, yaitu sungai yang berhulu dari Sungai Plancuran, Sungai Watu Plethes dan Sungai Banaran. Sebutan Sungai Pelus diambil dari nama spesies berasal dari hulu yang menjadi sumber utama aliran sungai tersebut.
Ketiga, aliran sungai yang berasal dari Plancuran di sebelah lembah bukit Tumpak Siki. Jalur lintasan alirannya melewati RT 14 di Ketro dan langsung bertemu satu titik dengan aliran Sungai Pelus di permukiman Tanggung yang memisahkan RT. 15 dengan RT. 16. Adapun penamaan Sungai Plancuran dinisbahkan kepada sumber air yang menjadi hulu aliran sungai, berasal dari mata air jernih terpancar dari dalam tebing.
Keempat, Sungai Watu Plethes, yaitu sungai yang mengalir berasal dari hulu di lembah Tebing Plethes. Sebuah tebing batu di bawah hutan yang memisahkan Dusun Ketro dengan Dusun Ponggok. Lintasan alirannya melewati permukiman Ketro RT 14, permukiman Sawah Lho RT 16 dan permukiman Tanggung di RT. 16. Kemudian bertemu dan menyatu dengan tiga aliran sungai lainnya di RT 15 permukiman Duren, yaitu aliran Sungai Pelus, Sungai Watu Plethes dan Sungai Banaran.
Kelima adalah Sungai Banaran, yakni sungai yang mengalir dari hulu bekas punden di permukiman Banaran di RT 13. Punden adalah suatu tempat keramat yang diyakini masyarakat Jawa dipergunakan untuk tempat menetap danyangan (roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, sumber mata air, gunung pada suatu desa). Pada era sebelum tahun 1980, di Lembah Banaran terdapat sebuah pohon apak besar yang sangat rindang, di bawahnya mengalir sumber mata air jernih, dan di situ berkembang biak ikan sidat (anguilliformes) dengan ukuran besar. Saat itu aroma magis ditempat tersebut masih sangat terasa, terutama pada waktu malam hari. Punden Banaran dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan pernah menjadi tempat ritual sesaji yang dikendalikan di bawah otoritas seorang Juru Kunci bernama Somedjo. Nama Sungai Banaran diambil dari kata banar yang artinya cerah atau terang. Jadi, Sungai Banaran adalah sungai yang berada di posisi geografis yang cerah atau terang seterang langit.
Dalam studi numerologi nama Banaran adalah suatu sosok yang mempunyai kepribadian bertanggung jawab, melindungi, merawat, bermasyarakat, seimbang dan simpatik. Sesuai nama dan tempatnya yang dijadikan punden, maka Sungai Banaran diyakini oleh masyarakat sebagai sungai yang bisa melindungi atau mencederai masyarakat sekitar. Sungai Banaran mengalir dari wilayah permukiman Ketro yang memisahkan RT 13 dan 14 melewati permukiman Ngembak di RT. 16 dan menyatu di permukiman Duren RT 15 bersama tiga aliran suangai lainnya, yakni aliran Sungai Pelus, Sungai Planthuran dan Sungai Watu Plethes.
Keenam, Sungai Kuning yang berasal hulu di bukit Kali Kuning. Lokasi wilayah alirannya berada di sebelah barat RT 13 dan menjadi tapal dengan kawasan Perhutani yang memisahkan Dusun Kajar. Dinamakan Kali Kuning, karena landasan dasar dan tepian yang berada di samping kanan-kiri aliran sungai adalah batu bobos (sandstones) berwarna kuning. Demikian halnya tanah di sekitar Kali Kuning merupakan tanah litosol, yaitu jenis tanah yang terbentuk dari proses pelapukan batuan beku dan sedimen yang ciri khasnya berbentuk butiran kasar berupa kerikil bercampur tanah liat yang berwarna kuning. Jenis tanah ini miskin unsur hara, dan tidak cocok untuk pertanian, hanya cocok untuk tanaman pohon besar hutan. Aliran sungai kuning tidak melawati permukiman, tetapi hanya melintasi kawasan Perhutani yang kemudian menyatu dengan dua sungai lainnya, yaitu sungai Gede dan Sungai Gondang.
Ketujuh, Sungai Gede merupakan salah satu sungai tebesar yang berasal dari hulu di bukit Gedangan. Sebagaimana karakter sungai di pegunungan yang kaya akan berbagai bebatuan besar, ia memiliki aliran yang sangat deras. Aliran Sungai Gede menyatu dengan dua aliran sungai, yaitu Sungai Kuning dan Sungai Gondang. Bersatunya tiga aliran sungai menjadi satu sungai besar yang tidak melintasi kawasan permukiman, menjadikan jalur sungai tersebut membentuk banyak lubuk (kedung), yang dijadikan tempat berenang anak-anak dusun. Di antara lubuk yang terkenal di sepanjang aliran sungai ini adalah: Kedung Miri, Kedung Song Batu, Kedung Druwo, Kedung Lengo, Kedung Kosar-Kosar, Kedung Jembar, dan kemudian menyatu dengan aliran sungai pada air terjun Kedung Urang Kambu dan terus ke bawah memasuki wisata Sungai Banyu Anget.
Kedelapan adalah Sungai Keping, yaitu sungai besar yang berasal dari dua aliran sungai yaitu Sungai Podonolo dan sungai air terjun Jurug Nanas. Sungai Podonolo berasal dari dua aliran sungai yang berhulu di Dusun Kajar. Sedang Sungai Jurug Nanas merupakan salah satu destinasi wisata air terjun yang berasal dari pertemuan tiga aliran sungai, yaitu sungai yang berhulu di bawah Bukit Pathuk. Aliran sungai berasal dari hulu di bawah bukit Torang, dan aliran Sungai Suren yang berhulu dari kawasan permukiman Karang Tengah. Pada jalur aliran Sungai Keping sebelum memasuki kawasan air terjun Urang Kambu terdapat lubuk yang familiar untuk mandi dan berenang, yaitu Kedung Ngarit.
Keseluruhan aliran sungai yang penulis paparkan di atas sesampainya di Banyu Nget menyatu menjadi satu aliran sungai. Banyu Nget adalah mata air hangat alami yang memancar dari perut bumi di tengah-tengah sungai. Akhir-akhir ini Banyu Nget menjadi salah satu destinasi wista alternatif yang tersembunyi di balik 650 hektar hutan durian. Lokasi wisata seluas 7 hektar ini menawarkan spot-spot andalan, yaitu: air hangat, air terjun Urang Kambu, jembatan gantung di atas sungai berbatu, sepeda udara, dan hammock (ayunan tempat tidur gantung).
Bersambung…