Tidak terasa sudah 4 bulan lamanya pandemi Covid-19 mewabah. Dan segala aktivitas mengumpulkan banyak orang, termasuk hajatan perkawinan, dihentikan sementara. Pemberhentian sementara aktivitas tersebut semata-mata untuk memutuskan penyebaran Covid 19. Sejak Maret 2020, tingginya pasien positif Covid 19 di Indonesia mengharuskan pemerintah bertindak tegas dalam mengambil keputusan. Surat edaran mulai disebarkan hingga ke tingkat kabupaten dan desa-desa.
Memasuki babak baru atau new normal, pemerintah mengimbau masyarakat mulai membiasakan diri di dalam keseharian untuk selalu cuci tangan, menggunakan masker, dan jaga jarak. Lebih jelasnya, membiasakan diri hidup berdampingan dengan Covid 19. Hal ini mengharuskan masyarakat mulai memberlakukan hidup sehat.
Mungkin yang biasanya jarang cuci tangan pakai sabun, jadi sering cuci tangan. Yang dulunya mau keluar atau ke mana-mana tidak pakai masker, jadi menggunakan masker. Kalau jaga jarak bisa menyesuaikan situasi dan kondisi. Cuma di desa ibu-ibu pengajian atau arisan kelihatannya belum bisa jaga jarak, begitu pula jamaah yasinan malam Jumat. Umumnya orang desa, apalagi di Desa Bangun, Munjungan, Trenggalek, dengan rumah minimalis, mengingat topografi 90% pegunungan, jaga jarak belum bisa dikatakan berjalan seratus persen.
Belum lama ini Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, mengundang paguyuban sor terop yakni paguyuban berisi orang-orang yang memiliki usaha sewa terop, sewa kursi, sewa meja, sewa panggung, video shoting, eleckton, pembuatan undangan, souvenir, cetak foto, pegiat budaya dan seperangkat kebutuhan hajatan. Mereka diundang ke Pendopo Trenggalek untuk membahas dan melihat secara langsung simulasi hajatan perkawinan di era new normal. Harapannya, ada jalinan kesepakatan antara pemerintah dan paguyuban untuk kembali menghidupkan perekonomian para pelaku seni maupun perangkatnya. Sekaligus tetap menjalankan acara sakral pernikahan tanpa ada hambatan, alias harus hidup berdampingan dengan Covid 19.
Dalam pidato bupati, ada beberapa inti yang disampaikan, yakni pengisi acara dan vendor-vendor berasal dari lokal. Dilarang keras menyewa dari luar Trenggalek. Apalagi menyewa di tempat yang jumlah pasien postif lebih banyak. Intinya, diwajibkan untuk menggunakan produk lokal. Ini sekaligus menjadi gebrakan baru untuk lebih bangga menggunakan produk lokal. Menurut saya, gebrakan baru tersebut langkah yang baik untuk menggiring masyarakat menggunakan “usaha lokal”. Sekaligus, pelaku seni dan paguyubannya di desa-desa jadi punya pemasukan.
Sesuai surat edaran yang disampaikan ke desa dalam prosesi hajatan perkawinan maksimal tamu dalam ruangan sekitar 20% atau 30 orang. Jika semula tamu yang datang dalam acara makan di tempat diubah menjadi catering. Mengharuskan si punya hajatan untuk mempersiapkan catering agar tamu yang datang bisa siap untuk take away. Namun, 30 orang ini juga harus disesuaikan dengan kondisi ruangan atau terop.
Kemudian, ada pengaturan jaga jarak di dalam ruangan. Hal ini pula menjadikan banyak tanggapan dari para tetangga. Tak sedikit orang mengatakan “Lek wong desa digawe ngono nggak isa. Iku carane wong kutha beda karo ndesa (kalau orang desa dibuat kayak begitu tidak sanggup. Cara orang kota itu berbeda dengan orang desa). Jika diperhatikan lagi, anjuran bupati ini baik, sekaligus mengedukasi warga desa untuk lebih sabar memasuki tempat hajatan karena adanya batasan tamu di dalam ruangan.
Selain itu, wajib untuk pelaku usaha persewaan jika ada orderan, memberitahukan pada desa. Kepala desa dan perangkatnya bertanggung jawab untuk setiap bentuk keramaian di desa. Dalam pidatonya, Pak Bupati menegaskan, “Dalam satu desa, tidak lebih dari satu hajatan. Jangan di hari yang sama ada dua, tiga, atau empat hajatan. Nanti satgas tidak bisa memastikan adanya protokol kesehatan.” Harapannya, semoga tidak dipersulit sama desa, yang terkadang bagi warga, tidak terlalu percaya dan tidak mau banyak urusan dengan desa.
Warga desa diwajibkan menjadwal terlebih dahulu pada kepala desa untuk diatur bagaimana hajatan perkawinan dapat digelar. Menurut saya pribadi, sulit bagi orang desa, apalagi orang tua yang masih menggunakan pakem penanggalan Jawa, untuk mencari hari baik pernikahan anaknya. Proses pembauran dengan mencocokkan tanggal kelahiran masih lestari di desa-desa di Kecamatan Munjungan. Sehingga, dahulu sebelum Covid 19 ada, dalam satu hari bisa 4 atau lebih orang menggelar hajatan. Jika ini diberlakukan, mungkin masih terlalu sulit bagi orang tua jaman dulu untuk mengikuti. Tapi, mau tidak mau warga diimbau untuk lebih membiasakan diri dalam situasi baru.
Pada intinya apa yang dipaparkan Bupati Arifin memang sudah menyesuaikan aturan yang ada dengan kondisi saat ini. Warga hanya tinggal melaksanakan sesuai kebijakan. Sekaligus memutar otak memperbaiki dan menyesuaikan usaha yang ada, sesuai protokol kesehatan. Harapan ke depan semoga keadaan perekonomian menjadi lebih baik. Memulai kehidupan baru dengan tata laku kehidupan yang baru pula. Semoga aktivitas yang semula berhenti kembali berjalan.