Sampah Medis yang Luput dari Perhatian

Saat ini yang menjadi fokus perhatian masyarakat dan pemerintah adalah masalah Covid-19 (virus Corona). Tidak dapat dipungkiri masyarakat dan pemerintah dibuat kelimpungan oleh virus ini. Virus tersebut membuat banyak sektor lumpuh dan terseok-seok, khususnya sektor ekonomi, sosial dan kesehatan. Selain itu, perubahan sosial dalam masyarakat berlangsung sangat cepat membuat masyarakat mengalami culture shock.

Masyarakat dipaksa melakukan kegiatan dengan standar protokol kesehatan, seperti melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker di setiap kegiatan, tidak boleh jabat tangan, berkerumun dengan banyak orang. Di situ sensitivitas kita meningkat kepada orang lain yang habis bepergian. Bukan-kah sebagian besar kegiatan tersebut bukan culture masyarakat kita? Mungkin ada sebagian yang melakukan kegiatan tersebut sebelumnya. Tapi yang luput dari perbincangan kita adalah “sudah siap-kah kita mengelola limbah medis hasil dari kegiatan masyarakat sesuai protokol kesehatan tersebut?” Lalu siapa yang peduli dan memperbincangkannya?

Dikutip dari hasil survey yang dilakukan oleh Gentha dan Benedicta—team work data Laboratorium Terpadu Ilmu Sosial (Big Data Science) FISIP UB selama 8 hari. Cerita tentang masalah medis dan perbincangan netizen di media sosial membicarakan seputar:

  1. Bahaya dari virus
  2. Bahaya masker sekali pakai yang dibuang sembarangan
  3. Penggunaan sarung tangan sekali pakai
  4. Tempat pembuangan akhir dari sampah-sampah medis

Yang menggelitik bagi saya limbah medis selalu dikaitkan dengan rumah sakit, klinik, laboratorium, dan puskesmas, dan selalu diperbincangkan seperti itu.Saat ini, yang menjadi luput dari perbincangan adalah sampah medis di level keluarga yang semakin meningkat, seiring meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat akibat adanya Covid-19. Untuk bertemu orang lain saja kita seperti bertemu dengan hantu.

Kita tahu saat ini sampah medis juga disumbang dari rumah tangga, meski sebelumnya juga sudah disumbang dari rumah tangga, tetapi tidak sebanyak saat masa Covid ini. Kalau di Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium, klinik dan lembaga lainnya sudah dikelola dengan baik, meskipun masih ada keteledoran oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Seperti beberapa waktu lalu di Surabaya Alat Perlindungan Diri (APD) berserakan di beberapa tempat pemakaman korban Covid-19. Anggap saja pengelolaan di lembaga-lembaga tersebut sudah lebih baik daripada di rumah tangga.

Yang menjadi penting untuk dilihat adalah bagaimana masyarakat mengelola sampah medisnya? Saat ini dari pengamatan saya di lingkungan tempat saya tinggal, masyarakat mengelola sampah medisnya secara otodidak. Mungkin dari pemerintah, NGO dan lembaga-lembaga lain sudah menyediakan poster tentang pengelolaan sampah medis. Namun bagi saya pribadi masih belum cukup. Yang penting bagi saya “kira-kira bagaimana menyebar poster atau panduan hingga pengetahuan tersebut bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat?”

Dalam perbincangan di media sosial isu limbah medis tidak menjadi isu yang penting dan seksi untuk diperbincangkan, karena masyarakat dan pemerintah kita lebih banyak berbicara ketakutan-ketakutan ekonomi; resesi, pertumbuhan ekonomi, penanaman modal asing saat mereka bicara Covid-19 ini. Perbincangan ketakutan ekonomi pun masih kalah dengan isu klepon tidak islami, yang secara subtansi bagi saya tidak penting untuk dijadikan perbincangan di ruang publik. Dalam benak saya sebegitu tidak perdulikah masyarakat terhadap sampah medis yang dihasilkannya? Atau mereka tidak tahu kalau mereka menghasilkan sampah medis?

Sebelumnya saya mohon maaf jika data ini salah, data Jumlah penduduk Kabupaten Trenggalek bulan Desemberi 2019 dikutip dari dukcapil.trenggalekkab.go.id dan saya kombinasikan dengan sampah medis sekali pakai saja, berikut perhitungannya:

Jumlah Penduduk Kabupaten Trenggalek 267.837 jiwa dan berat masker sekali pakai 162 gram.

Jika dikalikan 267.837 x 162 = 43.389.594 gram/hari atau 43,4 ton/hari.

Dari data tersebut hasil 43,4 ton per/hari, saya mengganggap tidak ada anak kecil di dalamnya.

Saya sendiri ternyata salah dalam mengelola sampah medis berupa masker medis. Saya tahunya hanya digunting dan dimasukkan ke dalam kresek dan dibuang ke tempat sampah. Di mana seharusnya dilakukan sterilisasi terlebih dahulu setelah digunting. Begitu pula cara pencucian masker kain sebelum mencuci bersama kain yang lain seharusnya dilakukan seterilisasi terlebih dahulu. Mungkin itu juga dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat. Ternyata pengelolaan limbah medis sekala rumah tangga tidak sebagus yang ada di Puskesmas, Rumah sakit dan klinik.

Menurut saya masalah dasar dalam pengelolaan sampah medis skala rumah tangga adalah pengetahuan pengelolaan sampah medis yang kurang memadai. Sampah medis rumah tangga berisiko tinggi tidak disterilkan oleh masyarakat karena pengetahuan tentang pengelolaan sampah medis skala mikro tidak tersosialisasikan dengan baik. Lagi masyarakat kurang memahami pengelolaan sampah medis yang dihasilkannya. Hal tersebut bukan tanpa sebab, coba kita bayangkan berapa banyak anggota masyarakat yang paham teknologi. Bagaimana dengan generasi usia 45 ke atas seperti nenek dan kakek, ibu dan bapak saya, yang kurang memahami teknologi informasi khususnya penggunaan internet.

Yang saya khawatirkan dari adanya sampah medis rumah tangga tanpa pengelolaan yang benar adalah risikonya bagi diri kita dan orang lain. Tidak usah berbicara risiko skala makro (tingkat masyarakat) dulu, mari kita berbicara dalam skala mikro (tingkat keluarga). Misalnya kita memiliki keluarga yang berstatus orang tanpa gejala (OTG) dan anggota keluarga yang berlalu lalang setiap harinya, saking sibuknya kita tidak pernah berbincang, tadi bertemu dengan siapa? Habis dari mana? Secara tidak kita sadari bukanya hal tersebut membahayakan anggota keluarga lain, terlepas dari masyarakat secara umum?

Jika kita tarik dalam skala luas, bagaimana pengelolaan limbah oleh orang yang berstatus ODP, PDP, dan lain- lainnya yang dikarantina di rumah? Bukanya berisiko membahayakan keluarga anggota masyarakat lain seperti tetangga, pemulung, tukang sampah dan penghuni sekitar tempat pembuangan akhir (TPA). Meskipun di sisi lain sudah ada anggota masyarakat yang sudah sadar dengan kesehatan sudah melakukan pemilahan, bisa jadi saat sampah diangkut tetap dijadikan satu gerobak dan dicampur dengan sampah lain.

Sebenarnya yang perlu kita libatkan dalam menangani masalah ini adalah kita semua, tidak usah menyalahkan pemerintah. Biasanya masyarakat kita jika ada gejala atau masalah selalu menyalahkan pemerintah. Mari kita kurangi berbicara “siapa kawal siapa?” mari kita ganti “siapa sumbang dan bantu siapa?” Pemerintah meningkatkan kepedulian pada sampah medis dengan mengunakan kebijakan atau kekuasaannya dan anggarannya, seperti melakukan sosialisasi masif dan serius terkait pengelolaan dan bahaya sampah medis terutama masker sekali pakai, masker kain dan pengelolaannya.

Di mana sebelumnya, logika yang dipakai dalam sosialisasi/imbaunnya adalah logika ekonomi karena harga masker medis mahal dan sulit didapat, maka masyarakat dianjurkan memakai masker kain, sepengetahuan saya begitu awalnya. Selain itu, dalam materi sosialisasi yang perlu ditekankan “kenapa masyarakat biasa tidak boleh mengunakan maker medis dan dianjurkan menggunakan masker kain, beserta risiko dan cara pengelolaannya. Sehingga nanti pengetahuan tentang pengelolaan limbah medis tidak dikuasai oleh beberapa pihak saja. Bukannya jika pengetahuan tersebar dengan luas ke seluruh lapisan masyarakat akan memudahkan pengetahuan penanganan pandemi Covid-19.

Stakeholder selain pemerintah, akademisi yang memiliki hasil penelitian tentang pengelolaan sampah medisuntuk dapatdiimplementasikan saat Covid-19 ini. Supaya tidakhanya indah dalam tulisan jurnal dan dunia tulis menulis, tetapi harus didorong untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini. Bukan-kah sebaiknya begitu?

Yang selanjutnya perlu dilibatkan adalah NGO, lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan kita semua. Pelibatan dan kesadaran kita semua dapat mempermudah sosialisasi dan penanganan Covid-19. Kita dapat memulai dari lingkup keluarga, lingkungan sekitar kita dan lingkungan yang lebih luas nantinya. Apalagi saat ini kita sudah new normal atau kebiasaan baru, saatnya kita saling bantu dan saling dukung. Supaya yang mau menikah dapat segera menikah dan mengundang banyak orang, tukang sound, tukang rias dapat cari makan kembali, buruh dapat bekerja kembali, petani dapat meningkatkan nilai jual hasil taninya. Saatnya “Kita sumbang apa?”

Jika ada pihak yang tersinggung dengan tulisan ini, mungkin ada kesalahan data dan analisis, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, tidak usah bawa pentungan apalagi kurungan. Kita berbeda dalam tulisan dan argumentasi saja, tapi jangan dalam hubungan.

Artikel Baru

Artikel Terkait