Yang Mula dan Yang Kini: Unboxing Kronik Pedalaman Karya Misbahus Surur

Awal mula saya mengenal nama Misbahus Surur, saya dikenalkan, lebih tepatnya diberitahu oleh beberapa adik tingkat saya, tentang adanya dosen baru yang unik. Katanya, setiap pagi dosen tersebut ngopi di dekat kos sambil menenteng buku di tangan dan mengajak berbincang tentang topik-topik kiwari, terutama ihwal sastra. Ini mungkin poin penting bagi dosen-dosen yang kurang bergaul dengan mahasiswa, sebaiknya seperti Misbahus Surur, yaitu dapat membaur dan mengakrabi mahasiswa di luar bangku kuliah. Sayangnya karena saya sudah keluar dari kampus, jadi otomatis tak bertemu. Beberapa tahun setelah itu saya melihat namanya terpampang pada buku Kartograf (kumpulan puisi penyair Jawa Timur) 2016. Dari situ saya kemudian lebih mengenalnya, sebagai penyair.

Anehnya, beberapa tahun belakangan Misbahus Surur mendadak balik badan, memunggungi masa kini dan menggumuli yang lampau. Ada apa gerangan.

Beberapa hari yang lalu buku Kronik Pedalaman mendarat di rumah saya. Saat buku tiba langsung saya baca, namun tak segera saya selesaikan. Saya baca lagi di tempat yang lain, di warung kopi.

Setelah membaca buku Kronik Pedalaman, saya menjadi iri kepada penulisnya, karena “kenggalekannya” semakin menjadi-jadi, wawasan lokalitasnya semakin mumpuni. Sebelumnya ia juga telah menerbitkan dua buku yang senafas jalan tentang Trenggalek: Trenggalek Pada Suatu Pagi dan Sebelum Trenggalek Kini. Kerja penulisan ini saya rasa tidaklah mudah, penulis sepertinya harus terus mempertebal ketekunan dan ketulusan dalam pengerjaannya.

Melihat Buku dari Luar

Buku Kronik Pedalaman ini diterbitkan oleh  Penerbit Interlude Yogyakarta, pada bulan November 2020. Sebelum saya membuka paket buku tersebut, saya mencoba mengangkatnya, terasa ringan, saya menebak bahwa kertas yang dipakai adalah bookpaper. Ketika saya buka plastik pembungkus mulailah tercium aroma khas buku dari pangkal setiap halaman yang bersampul biru-tosca itu.

Buku ini dicetak dengan ukuran 14 x 21 cm, memiliki ketebalan 222 halaman isi dan 14 halaman romawi sebagai pembuka. Kertas yang digunakan untuk bagian dalam, tepat seperti tebakan saya, yaitu bookpaper, dengan gramatur kemungkinan 72 gsm, sedangkan kertas bagian sampul adalah art carton laminasi doff dengan gramatur sekitar 210 gsm. Buku ini memakai ilustrasi sampul dari Alim Bakhtiar dan didesain oleh Mangun_Art. Ilustrasi pada sampul memperlihatkan pada saya tentang suasana pagi di sebuah desa pada lereng gunung yang dilalui oleh barisan pedati. Bagi yang memiliki latar belakang daerah pedesaan pasti segera sanggup menangkap pesan visual tersebut. Menurut saya pilihan desain itu tentunya menguatkan kesan lanskap pedesaan pada tampilan buku ini.

Melihat Buku dari Dalam

Saat ini kebanyakan tema yang ditulis adalah tema-tema yang melangit. Namun enggan berpijak pada tempat di mana kita berdiri. Tema besar hari ini misalkan saja Covid 19, tiba-tiba gerakan penulisan tentangnya bejibun, mulai dari tema ketakutan wabah, sampai pada dampak ekonomi. Padahal kenyataan di bawah, di desa-desa, mereka tak takut wabah, melainkan takut pada kelaparan yang tidak mengenakkan itu; apakah orang desa dianggap bersalah? Atau tentang tema-tema lain yang berturut padan dengan isu yang mutakhir berkembang.  Namun Misbahus Surur kukuh pada jalan yang telah disulamnya, yaitu mengorek Trenggalek sampek elek.

Mungkin banyak orang akan bertanya tentang keberadaan buku ini atau setelah membaca buku ini, “buku iki gae opo?”, atau mengatakan dengan sinis “terus lek wis ngerti, arep nyapo?”. Mungkin masih banyak yang abai, bahwa dari yang berkarat kita akan tahu mana yang awet dan mana yang telah lewat. Dari yang lawasan akan tersiar lipatan-lipatan peristiwa. Bukan tentang klangenan, melainkan tentang memaknai hakikat kehidupan; sejak mula hingga kini. Makna hidup yang asali (hidup untuk apa?)

Saya sendiri merasakan betapa saat memasuki buku ini seperti memasuki sebuah daerah yang berkabut. Lamat-lamat pernah melihat namun menunggu lama untuk dapat menyingkap batang gelap. Ketika saya mendengar istilah-istilah purba dalam kosa kata buku Kronik Pedalaman ini, pengalaman bahasawi saya memanggil citraan orang-orang tua yang namanya sudah tersemat dalam epitaf nisan kuburan. Namun dengan begitu, sejenak saya terbentak sehingga segera membuka lembaran-lembaran usang dari berbagai kisah yang menakjubkan; entah sebagai anak turun masyarakat padi, atau sisa-sisa kemegahan dari bangsa yang katanya maritim ini.

Isme-Isme yang Mengganggu Pertumbuhan Desa

Jargon politik yang selama ini dikabarkan dan dikibarkan, yaitu nasionalisme, rasa-rasanya, sepertinya kehendak yang mula-mula ditanamkan, setidaknya melalui pendidikan, kemudian disiarkan melalui media. Tampaknya nasionalisme itu yang menubuh dan berbagi ruang dengan isme-isme yang lain itu pun semakin tak karuan rimbanya. Sebermulanya kebesaran desa adalah sebuah kebanggaan bagi warga desanya, lalu desa atau yang disebut dalam buku tersebut sebagai wanua berkembang menjadi watak (tingkat di atasnya) dan seterusnya. Jika nasionalisme sanggup menampung desa-desa kuno dan aspek lokalitasnya, alangkah merdunya senandung pemersatu bangsa tersebut.

Menurut saya, isme-isme yang terus berdatangan dari kota dan menyerbu desa tak sebanding dengan semangat baik orang desa membayar pajak kepada orang kota (pemerintah). Belum lagi isme pemecah belah (misal: separatisme) yang dihembuskan dari kota ke daerah-daerah yang terus memperjuangkan dan menjaga identitas lokalitasnya. Pernahkah isme-isme itu muncul dari desa? Memang, desa telah menjadi lapangan bola politik dan medan laga para bohir kota.

Ketika agama dan isme bersatu, sebut saja Islam Trans-Nasional, lagi-lagi desa yang menjadi korban. Masjid-masjid direbut dan dikelola ala orang kota. Dengan dalil dan pandangan agama yang tak mengakomodir lokalitas desa. Tidak menunggu lama, desa akan lenyap dari permukaan, sirna ilang kertaning bumi. Desa berangsur-angsur ditinggalkan dan berubah nguto. Tengok saja nama-nama dusun yang sudah dilebur menjadi nama jalan atau desa yang berubah menjadi kelurahan. Di sinilah pentingnya buku Kronik Pedalaman, mengabarkan senyata-nyatanya bahwa semula pernah ada pada suatu masa, di mana kita memiliki sesuatu yang berharga.

Menanggalkan dan Meninggalkan

Melalui strategi penulisan yang sanggup menjebloskan pembaca ke tengah pemukiman desa-desa masa lalu, saya ingin menyampaikan selamat kepada Misbahus Surur, setidaknya telah menyesatkan saya ke masa lampau. Menanggalkan benda-benda padat produk industri masa kini di sekitar saya, meninggalkan Indonesia dan menjadi masyarakat di lorong waktu masa yang silam. Saya menjadi orang terbodoh saat menyelinap masuk di desa-desa kuno tersebut. Sumpah! Mendadak saya tak bisa berkomunikasi dengan mereka, seperti alien yang datang dari planet yang asing.

Setelah membaca buku Kronik Pedalaman, dalam kondisi Indonesia seperti sekarang ini, akhirnya saya menjadi manusia Indonesia yang bimbang. Seperti seorang yang sudah berada di pinggir jalan raya mau menyeberang, hujan tiba-tiba berjatuhan, bertubi-tubi tak berkesudahan. Pilihannya hanya dua: melanjutkan perjalanan dengan resiko basah kuyup tak terelakkan, atau pulang kembali ke rumah berteduh meskipun jaraknya jauh.

Artikel Baru

Artikel Terkait