Trenggalek, Benteng Alam Terakhir

Kedokan sawah baru saja ditanami. Beberapa ekor ayam mematuki pematang, mengais remah-remah makanan. Di kejauhan rombongan kuntul mondar-mandir di petak-petak sawah. Sebagian tampak berbaris rapi di galengan. Barangkali juga sedang antre menangkap katak dan ikan.

Beberapa minggu lalu petak-petak sawah baru saja panen, dan sekarang sudah ditanami kembali. Air cukup melimpah, karena hujan selalu turun dan disimpan baris pepohonan di dalam hutan. Sebagian dialirkan melalui sungai dan selokan-selokan kecil yang mengitari lahan persawahan. Jalanan menuju kampung sebelah timur rumahmu yang menyusuri tepi-tepi persawahan baru saja dirabat.

Genap setahun usia pandemi, para petani di kampung halamanmu masih bergeliat menjalani siklus mereka menanam dan memanen. Sebagaimana para nelayan di Pesisir Munjungan dan di Prigi, para petani di desa-desa Kecamatan Munjungan seperti tidak terlalu terdampak. Kampung-kampung di pesisir Trenggalek, yang mayoritas berisi petani dan nelayan ini, tangguh menghadapi tahun pandemi.

Justru yang saat ini terpukul secara ekonomi, adalah bapakmu sendiri, yang kesehariannya menjalankan konveksi. Di saat jadwal masuk sekolah, dan para siswa mestinya berganti seragam, bapakmu seharusnya juga mulai panen, melakoni siklusnya sebagai pedagang. Tapi selama pandemi, konveksi bapakmu lebih sering tutup.

Di tahun pandemi, pendidikan yang diselenggarakan secara daring, sering tidak membutuhkan seragam baru. Para sopir, pedagang serta banyak pekerja swasta lain, termasuk beberapa karyawan yang ikut bekerja di tempat bapakmu, adalah orang-orang yang paling terdampak, sebab tidak lagi bisa bebas bekerja. Andai tahun-tahun ke depan terus begini, mereka semua terancam tidak punya pekerjaan.

Munjungan adalah salah satu kecamatan di pesisir Trenggalek yang dianugerahi berkah laut dan persawahan. Jadi, orang seperti bapakmu yang biasanya sehari-hari mengurusi konveksi, kini lebih sering berada di sawah. Sementara para sopir dan para pekerja swasta, yang biasanya bergerak di jalanan, memilih ikut ngadim ke laut. Sawah dan laut memang menjadi dua sektor yang bertahan dari pagebluk. Meski para pedagang kecil, yang menjual kebutuhan pokoknya di pasar tetap bisa berjualan. Pasar di desa masih bergeliat dengan protokol ketat.

***

Beberapa hari lalu kamu membaca sebuah kabar melalui pranala esdm.go.id. Sebuah keputusan dituliskan di sana: bahwa tambang di kabupatenmu—yang bertahun-tahun lalu membuat resah banyak orang, dan katanya masih sebatas eksplorasi—kini mengantongi izin eksploitasi. Barangkali saja, dulu para pejabat di kabupatenmu (di antaranya bapak bupati), sebetulnya telah memberi izin masuk korporasi (?). Kamu saja yang tidak tahu.

Meski di lapangan (seperti tahun 2016, ketika bupati memberi sambutan di Panggul), pernah berjanji tidak akan memberi izin tambang, bila masyarakat tak menghendaki. “Karpet merah bagi investasi bukan yang utama dibanding menjaga lagi mempertahankan karakter dan identitas daerah,” celetuk bupati dalam sambutan tersebut. Tapi kini, sangat benderang, lewat informasi pranala di atas, kamu jadi tahu beberapa lokasi di sebagian besar kecamatan-kecamatan pegunungan, nyata dan resmi menjadi sasaran empuk korporasi.

Kamu lalu membayangkan sesuatu yang dulu ditakutkan banyak orang bakal terjadi. Soal perubahan lingkungan yang menghancurkan karakter topografi, yang sejauh ini telah banyak membentuk, secara kuat-kuat akar dan jati diri daerahmu. Wajah gunung dan alamnya yang dikitari pemandangan indah persawahan, dengan rumah-rumah penduduk yang berada di lereng perbukitan, jalinan sungai-sungainya tempat habitat ikan-ikan, besar kemungkinan akan terancam dan terdampak limbah tambang.

Trenggalek yang identik dengan bukit dan pegunungan, dengan lahan-lahan hutan (ladang) dan persawahan di lereng-lerengnya, itu semua secara keseluruhan telah menancap kuat dalam benak dan ingatan banyak orang desa. Ancaman tambang emas yang tak main-main, bisa membuat bopeng wajah alam daerahmu, mencemari sungai dan persawahan. Padahal di Trenggalek, mayoritas pendudukanya adalah petani, yang menyandarkan hidup pada anugerah alam pegunungan dan hijau lereng hutan dan sawahnya.

Dalam suatu upacara selamatan di saat panen atau saat tanam padi misalnya, masyarakat di sekitar persawahan sering menggelar tumpengan. Dalam gelaran tersebut, ada nasi yang dibentuk gunungan. Itu asal-usul kata tumpeng. Bahwa eksistensi pegunungan penting bagi siklus hidup pertanian. Di gunung-gunung tersebut, terdapat pohonan yang menyimpan air untuk pertanian dan kebutuhan pokok sehari-hari penduduknya. Sementara nasi putih adalah simbol bumi. Dalam hajat selametan di sawah, ada harapan yang disematkan oleh penduduk di desa-desa agraria, yakni pemohonan keselamatan terhadap gunung dan buminya. Sementara lauk, berupa ayam, adalah simbol tolak bala: menolak semua jenis mara bahaya, termasuk pula bahaya tambang.

Dalam hajat selametan tersebut, terselip permohonan selamet manungsane, wit-witane, lan tandurane (keselamatan bagi manusia, pohonan, juga tanaman padinya). Dalam wawasan kosmologi Jawa, bumi merupakan tempat tinggal manusia, sawah adalah tempat menanam tetumbuhan, dan air adalah habitat ikan-ikan; sementara angkasa tempat hewan-hewan yang bisa terbang, dan gunung sebagai penguat bumi. Adapun manusianya sebagai pengatur jagat raya. Semua elemen ini satu sama lain saling terhubung menguatkan.

Dengan kehadiran tambang emas, yang melubangi bumi di gunung-gunung dan bukit-bukit, pondasi bumi akan terguncang. Dengan menggunakan zat perusak seperti mercuri, maka air tempat ikan berkembang jadi tercemari; udara tempat burung terbang akan terpolusi. Begitu pula tanah tempat hidup pohonan, dan segala jenis tanaman konsumsi manusia juga sawah-sawah dan ladang-ladangnya, akan teracuni.

Lebih-lebih kalau semua yang ditanam, dan yang berada di air, di tanah, menyerap merkuri beserta segala jenis zat jahat yang digunakan dalam pertambangan, maka manusia yang mengonsumsi akan terdampak banyak penyakit berbahaya. Bagi manusia, tambang bukan hanya memberi ancamam tempat tinggal dan sumber daya alam, tapi juga ancaman kesehatan: tersebab faktor limbah-limbah “beracun”-nya.

Kamu merasa, di Indonesia sebelum hari kiamat datang, orang-orang di desa sering dikiamatkan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Mereka (para pengusaha tambang dan penguasa) sering bersahabat dan bersama-sama merompak kandungan alam, pada mulanya dengan mengesahkan undang-undang. Tak peduli bahwa desa-desa itu sudah mengalami kemakmuran tanpa tambang. Perusahaan tambang juga para pejabat, cenderung abai akan keanekaragaman hayati, potensi pegunungan untuk kehidupan desa dan kampung halamanmu. Buktinya, di mana-mana pejabat-pejabat daerah itu selalu saja kalah dengan korporasi.

Kehidupan manusia ditentukan oleh keberlanjutan alam. Jika alam robek, sumber-sumber pokok bagi keberlanjutan manusia akan ikut rusak. Trenggalek adalah salah satu kantung dan benteng pertanian terakhir di Pulau Jawa. Sementara di mana-mana penambangan adalah musuh terbesar pertanian dan manusia di desa. Ke mana lagi raga manusia di desa dihidupi, jika alam sudah dihabisi?

***

Kamu ingat ayat-ayat kitab suci, mengenai pentingnya memelihara dan jahatnya mengeksploitasi. Juga tentang pentingnya menjaga dan mengambil sesuai kebutuhan, dan bahayanya menguras sumber-sumber kehidupan. Di antara ayat itu berbunyi:

قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّـهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (٦٠)

…. Sungguh tiap-tiap manusia telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan….” (QS. Al Baqarah : 60)

 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ ………(الروم: ٤١)

 Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…. (QS. Ar Rum: 41).

Kini di mana-mana sering terjadi bencana. Banjir mengepung Indonesia. Tak cukupkah itu semua menjadi peringatan! Trenggalek adalah salah satu wilayah yang juga kerap dihajar bencana banjir dan tanah longsor, setidaknya, itu juga disumbangkan oleh degradasi lingkungan dan perusakan hutan. Bukankah itu sudah bisa menjadi peringataan. Lalu bagaimana ceritanya tambang emas bisa turut antre akan memperpanjang catatan bencana lingkungan di daerahmu?

Padahal, ribuan orang di desa-desa masih bergantung sepenuhnya pada alam yang tak dirusak tambang, guna menjalani siklus menanam dan memanennya. Sebagaimana pemandangan yang tergurat di paragraf pembuka tulisan ini.

Artikel Baru

Artikel Terkait