Apakah Kampung Halamanmu Akan Semuram dan Sedepresi Doel?

Doel adalah nama sebuah kota kecil di Belgia, Eropa, yang mungkin nyaris dilupakan orang. Ingatan akan kota kecil yang nyaris musnah ini diselamatkan oleh seorang anak muda. Ia kemudian mengabadikannya dalam sebuah film dokumenter berjudul “Doel”. Beruntung saya menonton film ini bulan November tahun 2020 lalu di Festival Film Dokumenter, Jogja. Saya pikir, semangat narasi Doel ini relevan untuk kita bawa dalam konteks kita di sini.

Film yang disutradarai oleh Frederik Sølberg ini dirilis tahun 2018, berdurasi sekitar 67 menit. Meskipun waktu tayangnya cukup lama untuk film dokumenter, sebagai penonton, saya merasa jauh dari bosan. Alih-alih bosan, saya malah merasa terharu menonton film ini karena bisa mengungkit banyak pertanyaan yang muncul di kepala.

Apakah “kampung halaman” masih dianggap penting? Mungkin mayoritas orang menjawab “ya.” Rumah beserta kampung halaman merupakan tempat untuk menyimpan dan merawat kenangan bagi para penghuninya. Apalagi kalau ia lahir dan menghabiskan banyak waktu di sana bersama dengan orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Terlepas dari bagaimana bentuk ekspresi cinta tersebut.

Semua artefak dan ingatan tertoreh di pohon, selokan, sungai, pematang sawah, jalanan menuju sekolah SD, warung penjual jajanan, dan seterusnya, adalah kenangan yang berharga. Apalagi ketika orang harus menjadikan rumah dan kampung halaman sebagai benteng terakhir hidup survival-nya.

Persoalan yang muncul pada sebuah kota sebagai sebuah space menjadi semakin penting dan genting manakala ada ancaman. Sebuah ancaman dari sekelompok pemilik modal atau perusahaan besar yang mengincar dan berupaya mencaplok space tersebut. Mungkin banyak yang menyerah, namun pasti akan muncul sekelompok orang yang tidak rela, dan mati-matian bertahan.

Narasi orang-orang yang berjuang untuk bertahan inilah yang disajikan oleh sang sutradara dalam film “Doel”. Lambat laun, kota menjadi semakin sunyi, ditinggalkan oleh penghuninya. Namun kota ‘hantu’ ini menolak untuk menyerah. Sudah sejak tahun 1960-an, penduduk Doel berjuang. Tak hanya itu. Muncul anomali lain, sekelompok anak muda datang dari kota atau negara lain. Siang dan malam hari, tanpa peduli berpesta-pesta ‘merayakan’ kekosongan kota ini dan melakukan vandalisme.

Potret kota yang terseok-seok hampir mati inilah yang disematkan oleh sutradara film Frederik Sølberg. Ada serangkaian kegiatan sehari-hari yang dilalui pasangan suami istri yang sudah sepuh. Ada dua anak muda mengendarai sepeda motor di jalanan sunyi, pun ada orang-orang dari kota atau negara lain yang menyerbu ke kota hantu itu, untuk berpesta-pesta dan berperilaku vandal. Ada juga turis yang terheran-heran melihat bekas pertokoan dan bangunan yang sudah semakin lapuk. Itulah potret kehidupan yang masih tersisa dari kota kecil Doel, yang tergencet oleh globalisasi ekonomi dan teknologi, serta absurditas perilaku manusia yang sama sekali tidak peduli terhadap penduduk Doel.

Kota ini terletak dekat dengan Pelabuhan Antwerp. Doel dulunya permai, dengan 24 coffee shop, supermarket, tempat pemotongan hewan, dan sebagainya. Kini, Doel telah menjadi kampung kecil yang terjepit, megap-megap, di antara Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) besar dan luas serta pelabuhan kontainer raksasa, Antwerp.

Sisa-sisa pertokoan, rumah-rumah penduduk, bangunan-bangunan yang ada di kota kecil ini menjadi saksi “kejayaannya” di masa lampau. Tinggal beberapa keluarga yang tetap bertahan. Total 24 orang yang berjuang untuk tetap memeluk kampung halamannya yang telah menjadi kota mati. Sunyi menyergap segelintir orang dan onggokan bangunan-bangunan tak bertuan.

Bagaimana rasanya tinggal dan bertahan dalam kesendirian di situ? Memang, mereka tidak benar-benar sendiri. Mereka dikelilingi oleh PLTN besar dan luas serta pelabuhan kontainer raksasa yang akan diperluas areanya dengan mencaplok wilayah kota kecil Doel.

Pada siang hari di akhir pekan, anak-anak muda dari kota lain datang memanfaatkan kota sunyi itu sebagai ajang balapan mobil liar. Di sore dan malam hari, rombongan anak-anak muda dari kota lain datang untuk berpesta-pesta dan mabuk-mabukan di beberapa sudut kota itu, sekaligus iseng dengan perilaku vandalismenya.

Pada siang hari, terkadang ada serombongan turis yang berwisata dan melihat sisa-sisa kota itu dari dalam bus. Jangan bayangkan wisata itu seperti kita datang ke Gua Lowo, Pantai Prigi, Pantai Cengkrong atau Karanggonggso di mana kita bisa menikmati pantai dan berinteraksi dengan penduduk setempat, menikmati makanan dan minuman, atau membeli cendera mata. Para wisatawan yang berkeliling di Doel ini hanya duduk di atas bus dan melihat sisa-sisa kota dari jendela, sambil mendengarkan tour guide mengoceh tentang kota itu.

Mereka seakan hanya melintasi reruntuhan kota mati, mungkin penduduk kota Doel dianggap sudah tidak ada. Tak ada cendera mata untuk dibeli. Pemandangan coretan-coretan tidak jelas di dinding bangunan mempertegas ‘kekosongan’ kota itu. Mereka menyebutnya kota hantu. Itulah cendera mata yang sesungguhnya.

Frederik Sølberg memulai proyek ini dengan berkenalan dan berkawan dengan penduduk yang masih bertahan di Doel. Sekitar dua tahun dia mengenal dan mengakrabi Doel, sehingga muncul ‘chemistry’ dengan kota hantu itu. Saking akrabnya, ketika beberapa orang di Kota Doel itu diajak terlibat dalam pembuatan film, mereka tidak terlalu merasa sedang melakukan ’shooting.’ Mereka berakting sangat natural di rumah, di sungai, atau di sekitar tempat tinggal mereka.

Ada beberapa adegan seorang ibu yang sudah sepuh, duduk di ruang keluarga yang mempunyai jendela kaca sangat lebar, sehingga segala aktivitas di jalan bisa dilihat olehnya. Anak-anak muda yang seenaknya corat-coret atau berjalan sempoyongan melintas jendela kacanya seperti tayangan televisi. Film ini kemudian mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya mendapatkan penghargaan sebagai Best Feature Film di DokuBaku, Azerbaijan, 2018.

Frederik bukan seorang wartawan dan dia juga bukan orang Belgia. Oleh karenanya, dia lebih tertarik mengangkat Doel dari sisi “human interest”, menarasikan makna tempat yang disebut rumah. Frederick berhasil memotret secara dekat aktivitas enam orang dari 24 orang yang masih tinggal di sana. Kehidupan sehari-hari mereka di kota itu tertangkap secara baik dengan bidikan close-up yang menangkap ekspresi mereka dari dekat. Serta bidikan long-shot untuk melihat betapa dekatnya kota itu terhimpit oleh PLTN dan pelabuhan kontainer dengan tumpukan peti kemas diangkat oleh fork lift atau gantry crane raksasa yang membayangi kepunahan kota Doel setiap saat.

Kamera juga berhasil menangkap dengan baik, para anak muda dan petualang dari kota lain yang berdatangan untuk berpesta-pesta, mabuk dan melakukan vandalisme. Selain itu, kamera juga berhasil menangkap orang-orang yang seenaknya sendiri menggeber mobil untuk balapan liar, tak peduli sama sekali terhadap penghuni Doel yang masih bertahan di sana.

Menariknya, film dokumenter ini bukan hanya menampilkan kemuraman. Sisa-sisa kota ini menampilkan dinding-dinding yang sudah mulai rapuh dan penuh corat coret. Anehnya, di zaman post-truth ini, kota kosong dengan puing-puing yang tersisa ini justru dianggap cukup artistik untuk menjadi latar foto-foto pre-wedding, menjadi latar bagi politisi yang membuat video pidato, atau tokoh agama yang membuat video ceramah.

Penduduk lokal yang muncul di film ini pun bukan yang orang yang tampil marah atau depresi sebagaimana stereotip yang muncul pada orang-orang kalah. Meskipun mereka telah melakukan perlawanan bertahun-tahun dengan tetap bertahan di kampung itu, mereka nampak woles saja dan menjalani hidup yang mungkin dianggap semakin aneh bagi orang lain. Inilah sisi puitik film ini. Penonton diajak memahami dan menikmati sisa-sisa kehidupan sebuah kota yang telah tergulung oleh kekuatan kapitalis raksasa, maupun serbuan kelompok orang nggak jelas yang melakukan vandalisme. Bagaimana, kampung halamanmu masih baik-baik saja kah?

Referensi:

  • Frederik Sølberg, 2018. Doel. Belgium,Denmark. Documentary 67 minutes.
  • https://www.thestateofthearts.co.uk/features/frederik-solberg-following-belgian-town-facing-demolition-documentary-doel/
  • https://www.frederiksoelberg.dk/DOEL

Artikel Baru

Artikel Terkait